Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
ADVERTISEMENT
Nyaris dua pekan Suyono, 41 tahun, istrinya Farida Wahyu Ningsih, 46 tahun, tak mendapatkan pelanggan satupun. Pasangan suami istri penyandang tuna netra yang membuka usaha panti pijat di rumah kontrakan di Gamping Tengah, Sleman, DIY ini benar-benar diterjang badai corona.
ADVERTISEMENT
“Gimana mau mijat, akses jalan utama menuju ke sini sudah ditutup nyaris dua bulan terakhir. Selain itu karena virus ini, pelanggan juga banyak yang takut untuk pijat karena kan ada kontak secara langsung,” kata Suyono di kontrakan sekaligus tempat usaha pijatnya, Selasa (28/4).
Sebelum adanya pandemi, Suyono yang baru pindah ke Gamping empat bulan ini selalu mendapatkan pelanggan, paling tidak satu atau dua orang sehari. Kini yang datang sudah sangat jarang, itupun hanya para tetangga atau saudara. Padahal, dari panti pijat itulah satu-satunya sumber penghidupan pasangan Suyono dan Farida
“Enggak ada kerjaan lain, karena bagi penyandang tuna netra kita fokusnya ke pijat. Kalau orang normal mungkin masih bisa dapat pekerjaan lain, tapi kalau kita kan ndak bisa, hanya menerima kenyataan,” lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Belum Dapat Bantuan
Sejak 11 tahun lamanya menekuni usaha panti pijat, Suyono merasa pandemi corona ini merupakan salah satu titik yang paling sulit. Dari beberapa bencana yang sempat dialaminya-Gunung Merapi meletus dan gempa bumi Bantul-pandemi inilah yang dampaknya paling parah baginya. Tak ada penghasilan, tabungan tak seberapa sementara dia (dan kita semua) tak pernah tahu kapan pandemi ini akan berakhir. Apalagi mereka masih harus menanggung kebutuhan sekolah sang anak yang masih duduk di bangku kelas 2 SD.
Meski situasinya begitu sulit, namun sampai saat ini Suyono dan keluarganya belum mendapatkan bantuan apa pun dari pemerintah. Entah itu bantuan dalam bentuk sembako, uang tunai, ataupun yang lainnya seperti yang sudah pemerintah janjikan selama ini. “Dari dulu memang enggak pernah dapat mas, PKH, KIP, enggak pernah dapat,” kata Suyono.
ADVERTISEMENT
Sejauh ini, Suyono dan istrinya hanya mendapatkan bantuan dari para relawan secara individu yang tergerak hatinya melihat situasi mereka. Beberapa kali, mereka juga mendapat bantuan berupa sembako dari masjid setempat. Tapi kebutuhan sehari-hari bukan hanya soal makan, ada kebutuhan lain juga seperti pulsa listrik, gas elpiji, dan berbagai kebutuhan lainnya. “Kalau ditanya apa yang paling dibutuhkan sekarang ya uang mas, kan kebutuhan selain makan juga banyak,” lanjutnya.
Sebenarnya ada juga bantuan dari organisasi-organisasi atau LSM untuk penyandang disabilitas, namun bantuan itu tak bisa menjangkau semuanya. Suyono juga menyayangkan bantuan-bantuan yang disalurkan melalui organisasi tertentu karena dianggapnya sarat kepentingan.
Misalnya ada sebuah organisasi yang sudah tiga kali melakukan pembagian bantuan kepada penyandang tuna netra, namun Suyono dan keluarganya selalu dilewati, tak pernah mendapatkan bagian. Karena itu, menurutnya bagi pihak yang ingin memberikan bantuan, akan lebih baik jika disampaikan langsung dari rumah ke rumah tanpa perantara organisasi atau lembaga tertentu. Kadang prosedurnya juga berbelit, belum kalau dipotong sana-sini. “Makanya saya pesan, (kalau mau kasih bantuan) jangan lewat organisasi. Karena itu dipolitisasi, maksudnya teman kita bisa makan temannya sendiri,” jelasnya.
ADVERTISEMENT
Kadang terpikir oleh Suyono dan sang istri untuk menuntut hak-haknya, namun saat ini dia sudah sampai pada titik, ‘dapat ya syukur, tidak ya tidak apa’. “Akhirnya kan kita cuman bisa menghibur diri, yang penting kita sekeluarga sehat,” kata Suyono.
Suyono dan Farida tak sendirian, masih banyak tukang pijat tuna netra yang bernasib serupa, salah satunya adalah Rohmat Tugiro, 48 tahun.
Tugiro membuka usaha pijat tuna netra di daerah Jalan Godean. Nasibnya memang lebih baik dari pasangan Suyono-Farida sebab tak ada penutupan akses jalan menuju kontrakannya. Dalam sebulan ini ia masih bisa memijat 30 pelanggan dari biasanya lebih dari 70 pelanggan sebulan.
Beberapa kali, Tugiro juga telah mendapatkan bantuan dari yayasan ataupun organisasi tertentu. “Tapi kalau dari pemerintah, untuk dampak ini (corona), sampai saat ini belum sama sekali,” ujar Tugiro.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya sang istri juga punya usaha warung makan kecil di depan rumah, tapi karena sepi, sudah beberapa pekan ini memilih untuk tutup sehingga pemasukan utama yang diandalkan saat ini adalah dari Tugiro memijat.
Penyandang Disabilitas Belum Dapat Perhatian
Komisioner Pemantauan dan Layanan Pengaduan Komite Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas DIY, Winarta, mengatakan sejauh ini penyandang disabilitas, termasuk tuna netra memang belum mendapat perhatian yang layak dari pemerintah.
Dia juga mengaku sudah mengomunikasikan persoalan adanya penyandang disabilitas yang terdampak pandemi ke Dinas Sosial DIY karena banyak dari mereka yang tidak dapat melakukan pekerjaannya. “Kami kira tuna netra akan terdampak lebih berat, kami akan coba gali datanya,” ujar Winarta ketika dihubungi melalui telefon kemarin. “Saya juga dapat banyak keluhan langsung dari penyandang disabilitas yang harus berhenti kerja dan tidak ada pemasukan padahal harus menanggung hidup sekeluarga.”
ADVERTISEMENT
Menurut Winarta, potensi para penyandang disabilitas yang terlewat dari bantuan pemerintah sangat besar. Terlebih menurutnya pendataan yang dilakukan pemerintah belum sepenuhnya menjangkau semuanya. “Kami akan terus mendorong pemerintah kabupaten/kota untuk lebih memperhatikan kelompok rentan ini,” tegasnya.
Bergotong Royong Membantu Tuna Netra
Dalam setiap kesulitan sekelompok orang selalu lahir kedermawanan dari kelompok lainnya, itulah berkah dari kuatnya solidaritas di Indonesia, khususnya di Yogyakarta.
Berawal dari melihat tukang pijat tuna netra langganannya yang tutup karena pandemi, seorang freelancer teknologi internet yang tinggal di Imogiri Bantul, Eko Suprapto Wibowo, menginisiasi penggalangan dana untuk membantu para tukang pijat tuna netra. Awalnya dia mengajak teman-temannya sendiri untuk ikut menyumbang, namun kemudian dia membuka donasi untuk umum di sebuah aplikasi fundraising.
ADVERTISEMENT
Melihat kondisi tukang pijat langganannya, Eko kemudian teringat dengan tukang pijat tuna netra lainnya yang tentu sedang mengalami nasib serupa. Melihat situasi pandemi yang melumpuhkan nyaris semua sektor kehidupan, membuat Eko merasa khawatir dengan nasib-nasib mereka.
“Tadi tukang pijat langganan saya menceritakan, bahwa ada sekitar 17 orang yang nasibnya mengkhawatirkan sekali,” kata Eko Suprapto. “Kita enggak usah nunggu bantuan dari pemerintah, karena itu jalurnya lama, dan mungkin potong sana potong sini nggak ngertilah urusan birokrasi,” lanjutnya.
Padahal, sebagian besar dari mereka adalah tulang punggung keluarga. Jika tidak segera ditangani, bisa-bisa mereka dan keluarganya mati kelaparan karena tak dapat pelanggan selama pandemi. Hingga pandemi ini selesai, menurut Eko setiap bulan para tukang pijat tuna netra ini harus tetap mendapat bantuan. “Saya juga sedang berusaha ngecek, berapa sebenarnya mereka butuh sebulan. Karena tadi saya tanya, mereka ndak mau menyebutkan nominalnya,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Pijat Protokol Corona
Menanti bantuan yang tak kunjung datang, pasangan pemijat tuna netra Suyono dan Farida berharap pelanggannya mau sesekali datang untuk menggunakan jasa mereka.
Keduanya menjanjikan bahwa mereka tahu benar masalah corona sehingga menerapkan protokol kesehatan untuk menekan risiko terpapar virus corona. Misalnya, ketika memijat pelanggan Suyono dan Farida selalu memakai masker, begitupun pelanggannya diwajibkan untuk memakai masker. Suyono juga meminta pelanggannya untuk mencuci tangan dan kakinya lebih dulu sebelum pemijatan dimulai, begitu juga dengan Suyono yang akan mencuci tangan dengan sabun. “Bantal, sprei, juga langsung diganti, langsung dicuci setelah dipakai,” lanjutnya.
Tak hanya itu, Suyono dan istri selalu menjemur kasur tempat untuk pijat bahkan sofa untuk duduk-duduk pelanggan menanti giliran. “Kami mematuhi anjuran pemerintah, tetangga dan saudara masih datang pijat. Harapannya pelanggan juga bisa datang sehingga tanpa bantuan kami bisa hidup melewati masa sulit ini,” kata Suyono. (Widi Erha Pradana / YK-1)
ADVERTISEMENT
Story ini merupakan bagian dari campaign kumparanDerma. Ayo berderma sekarang.
Untuk info, saran dan kritik mengenai kumparanDerma, sila kirim ke [email protected].