Sebelum 'Momen Paidi', Sejarah Panjang Porang Melintasi Zaman Jepang

Konten dari Pengguna
25 Januari 2021 20:12 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi porang. Foto: Kementan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi porang. Foto: Kementan
ADVERTISEMENT
Paidi adalah momen penting dalam kesadaran masyarakat Indonesia atas arti penting porang. Mantan pemulung di Madiun ini menginspirasi banyak orang setelah menjadi milyarder karena bertani porang. Tapi ada yang berlangsung jauh sebelum itu.
ADVERTISEMENT
Porang atau Amorphophallus muelleri telah melewati jalan panjang sebelum orang ramai-ramai menanam beberapa tahun terakhir. Guru besar Fakultas Teknologi Pertanian UGM, yang aktif meneliti porang, Eni Harmayani, mengatakan komoditas umbi-umbian ini sudah dikenal dan dimanfaatkan sejak zaman Jepang.
Saat itu, petani Indonesia di bawah kekuasaan Jepang dipekerjakan untuk menanam porang kemudian hasilnya dibawa ke negeri Sakura itu.“Jadi sudah panjang perjalanan porang itu, bukan hanya dua atau tiga tahun kemarin,” ujar Eni Harmayani ketika dihubungi, Jumat (22/1).
Di Jepang, porang dikenal dengan nama konjac, yang kemudian menjadi nama internasional. Puluhan tahun silam, porang sudah dimanfaatkan sebagai bahan baku makanan bergizi seperti konnyaku dan shirataki.
Sedangkan di Indonesia, porang belum bisa dimanfaatkan sebagai bahan pangan karena mengandung kalsium oksalat yang gatal. Sebelum bisa dikonsumsi, porang harus diolah lebih dulu menjadi glukomanan, dan Indonesia belum punya teknologinya. Sehingga, meski porang banyak tumbuh di hutan-hutan Indonesia, masyarakat belum bisa memanfaatkannya.
ADVERTISEMENT
Setelah merdeka, di bawah Perhutani porang kembali dikembangkan karena adanya permintaan dari pasar ekspor yang cukup besar. Selain sebagai bahan baku berbagai produk makanan, di dunia farmasi porang juga dimanfaatkan untuk bahan baku berbagai jenis obat.
Informasi terkait porang yang laku di pasar ekspor kemudian berkembang. Membuat masyarakat mulai mengembangkannya, terutama di daerah Madiun dan Kediri beberapa tahun lalu. Tapi informasi itu masih terbatas, hanya orang-orang tertentu saja yang punya akses.“Sampai akhirnya dua atau tiga tahun lalu booming ya, setelah ada petani porang yang mengklaim keuntungannya sampai sekian miliar,” ujarnya.
Petani itu adalah Paidi, yang membuat banyak orang berbondong-bondong menanam porang. Dia menjadi sosok penting dari perkembangan budidaya porang di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Porang di Indonesia Kini
Selain kisah Paidi yang menjadi batu loncatan pengembangan porang di Indonesia, tingginya permintaan porang di pasar ekspor juga menjadi faktor penting. Dua tahun lalu, ekspor porang Indonesia bahkan sudah mencapai angka 254 ton. Adapun pasar ekspor porang utama di antaranya adalah Jepang, China, dan Vietnam. Sayangnya, ekspor Indonesia baru dalam bentuk chips atau porang yang sudah dikeringkan.“Jadi masih dalam bentuk yang belum diolah,” ujar Eni..
Negara-negara pengimpor chips porang maupun tepung porang itu kemudian mengekstrak menjadi glukomanan. Setelah menjadi glukomanan itulah porang bisa dimanfaatkan sebagai bahan baku berbagai produk olahan siap pakai.“Misalkan untuk jelly, bakery, minuman, es krim, confectionery, saus, dan masih banyak lagi. Karena glukomanan ini bisa jadi sebagai pengental, penstabil, pengikat, untuk pelapis, juga untuk makanan kesehatan,” jelas peneliti bergelar profesor ini.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, sampai sekarang Indonesia belum memiliki teknologi yang bisa mengekstrak glukomanan. Jika ada perusahaan yang sudah bisa mengekstrak, itupun perusahaan-perusahaan yang memiliki lisensi dari luar negeri. Misalnya PT Ambico yang ada di Pasuruan, Jawa Timur, dengan lisensi dari Jepang.“Industri nasional sendiri saya kira masih sangat terbatas ya, belum ada yang bisa menghasilkan tepung glukomanan tadi,” kata penerima penghargaan Adhikarya Pangan Nusantara 2012 berkat meneliti berbagai umbi-umbian termasuk porang ini.
Tentu saja, hal itu merupakan kerugian besar. Pasalnya, untuk memenuhi kebutuhan produk siap pakai berbahan baku glukomanan, Indonesia harus mengimpor porang dalam bentuk glukomanan yang harganya jauh lebih tinggi. Indonesia musti mendorong investasi untuk membangun industri yang bisa mengekstraksi glukomanan dari porang.
ADVERTISEMENT
"Biar ekonomi berputar di dalam negeri sekaligus tidak perlu impor," kata Eni.
Harus Waspada
Eni Harmayani saat menerima hadiah Adikarya Pangan Nusantara. Foto: UGM.
Meski saat ini pasar ekspor porang masih terbuka lebar, namun menurut Eni Indonesia tidak boleh nyaman dengan situasi tersebut. Pasalnya, sejumlah negara sekarang sudah tidak hanya mengimpor porang dalam bentuk chips atau tepung saja, melainkan ada juga yang mengimpor dalam bentuk bulbil.“Artinya kan mereka mungkin juga sudah mulai menanam di sana,” ujarnya.
Ketika nantinya produksi porang negara-negara tersebut sudah mencukupi kebutuhan industrinya sendiri, bukan tidak mungkin mereka akan menghentikan impor porang dari Indonesia.
Ini merupakan ancaman untuk Indonesia jika tidak segera membangun industri yang tidak bisa mengekstraksi glukomanan dari porang. Apalagi dengan semakin banyak orang yang bertani porang, bisa dipastikan dalam beberapa tahun ke depan produksi porang dari petani akan semakin melimpah.“Makanya harus segera dibuat industri ini, supaya nanti bisa menampung porang-porang yang dihasilkan oleh petani kita ketika negara-negara pengimpor nantinya menghentikan impor porang dari Indonesia,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Mengejar Ketertinggalan
Meski teknologi ekstraksi glukomanan Indonesia jauh tertinggal dari negara lain, tapi tidak ada kata terlambat untuk memulai. Menurut Eni Harmayani, teknologi ini cukup kompleks sehingga membutuhkan teknik tertentu dan riset yang mendalam.“Karena itu kental sekali, salah satu serat pangan yang dia bisa mengikat air yang sangat besar. 1 gram glukomanan itu bisa mengikat 100 sampai 200 kali air dengan air dingin,” ujarnya.
Menduplikasi teknologi dari luar negeri juga tidak memungkinkan. Pasalnya, mereka sangat tertutup dengan teknologi yang mereka miliki.
Eni dan timnya di laboratorium teknologi pertanian UGM mengaku pada saat ini sudah mulai melakukan riset untuk menemukan teknologi ekstraksi glukomanan porang. Perkembangannya cukup memungkinkan, sebab timnya sudah berhasil menemukan teknologi yang bisa mengekstraksi glukomanan porang dan sekarang sudah memasuki tahap penyempurnaan.“Kami sudah mematenkan untuk teknologi ekstraksi ini, dan ini sedang kita lakukan transfer teknologi untuk sebuah industri di Indonesia,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Selain itu, Eni dan tim saat ini juga telah mengaplikasikan hasil dari ektraksinya ke berbagai produk, misalnya cookies berbahan baku tepung garut. Hasilnya, ada efek yang bagus karena glukomanan merupakan serat makanan yang berkalori rendah sehingga baik untuk saluran pencernaan.
Ke depan, supaya industri porang di Indonesia bisa berkembang secara sustainable, dibutuhkan hubungan antara petani porang, pengolah barang setengah jadi, pengolah tepung glukomanan, serta pengolah produk siap pakai.“Ini harus ada link dari semuanya ya, dan harus saling menghidupi satu sama lain,” ujarnya.
Harga porang menurutnya harus stabil, tidak terlalu tinggi juga terlalu rendah. Jika terlalu tinggi, maka industri glukomanan maupun industri produk siap jadi tidak akan sanggup menghasilkan produk dengan harga jual yang bisa bersaing. Supaya semua bisa hidup dan bernapas panjang, maka perlu ada harga yang wajar. Apalagi, glukomanan ini juga dibutuhkan untuk berbagai industri dengan banyak varian produk yang dihasilkan.“Kalau harga porang ini tinggi banget, enggak akan nyampe harga produknya, enggak akan bisa bersaing dari luar. Sedangkan dari China mungkin bisa mengekspor glukomanan yang sangat murah, itu perlu dipikirkan industri agar berkelanjutan,” kata Eni Harmayani. (Widi Erha Pradana / YK-1) 
ADVERTISEMENT