Sunat Perempuan Bukan Hanya Simbolik, Area Genital Benar-benar Dilukai

Konten dari Pengguna
11 Februari 2020 10:49 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi sunat perempuan. (Foto: Bagus Permadi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi sunat perempuan. (Foto: Bagus Permadi/kumparan)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
UNICEF, pada 2016 mencatat ada lebih dari 200 juta perempuan dan anak-anak di seluruh dunia yang menjadi korban sunat perempuan. Tragisnya, Indonesia merupakan negara dengan jumlah korban sunat perempuan ketiga terbesar di dunia. Dalam konteks sunat perempuan, Indonesia hanya tertinggal dari Mesir dan Etiopia.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan catatan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, 51 persen atau sekitar 13,4 juta anak perempuan berusia 0 sampai 11 tahun di Indonesia pernah disunat.
Aktivis Kesehatan Reproduksi, Mukhotib, mengatakan di tengah sebagian masyarakat, sunat perempuan telah menjadi ajaran atau budaya secara turun temurun.
Ada beberapa alasan masih maraknya praktik sunat pada perempuan, salah satunya, sunat perempuan dipercaya oleh sejumlah kelompok masyarakat dapat mengontrol hasrat seksualnya.
“(Pengertian mereka) perempuan harus baik, dalam pengertian ini tidak binal dan tidak ekspresif,” ujarnya dalam diskusi Membedah Mitos dan Fakta Tentang Sunat Perempuan di Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM, pekan lalu.
Mukhotib menolak keras praktik sunat perempuan, pasalnya secara medis sunat perempuan tidak memberikan manfaat atau keuntungan apapun. Selain itu, sunat perempuan juga merupakan pelanggaran terhadap hak anak dan mengakibatkan rasa tidak percaya diri pada anak.
ADVERTISEMENT
“Jadi setelah dia besar, dia jadi rendah diri dan merasa menjadi korban,” lanjutnya.
Sunat Perempuan Bukan Sekadar Simbol
Pada 2017, PSKK UGM melakukan penelitian tentang praktik sunat perempuan di 10 provinsi di Indonesia yang mencakup 4.250 rumah tangga. Tujuh provinsi dipilih karena memiliki prevalensi sunat tertinggi menurut Riskesdas, sementara tiga provinsi lainnya karena memiliki perda tentang sunat perempuan.
Peneliti PSKK UGM, Sri Purwatiningsih, mengatakan temuan dilapangan cukup mengejutkan, sebelumnya dia menyangka praktik sunat perempuan di Indonesia hanya sekadar simbolik, seperti tradisi tetesan di Jawa. Namun ternyata praktik sunat perempuan yang simbolik hanya sebesar 1,2 persen saja, sisanya benar-benar dilakukan perlukaan dan pemotongan terhadap genetalia perempuan.
“Itu mengapa kami menggunakan istilah P2GP (Pemotongan dan Perlukaan Genetalia Perempuan). Karena yang terjadi di Indonesia ini bukan hanya simbolik, tetapi sudah terjadi perlukaan dan pemotongan terhadap genetalia perempuan,” tegas Sri Purwatiningsih.
ADVERTISEMENT
Istilah sunat dinilai meringankan apa yang sebenarnya terjadi, karena banyak juga masyarakat yang masih berpikiran sunat itu dilakukan secara simbolik.
Dipotong sampai Ditusuk Jarum
Sebagian besar praktik sunat perempuan atau P2GP dilakukan oleh dukun bayi, yakni 45 persen. P2GP yang dilakukan oleh tenaga medis seperti bidan, mantri, atau perawat sebanyak 38 persen, oleh dukun sunat perempuan 10 persen, serta yang dilakukan oleh dokter sebanyak 1 persen.
Purwatiningsih mengatakan, ada bermacam alat yang digunakan untuk melakukan praktik P2GP. Alat yang paling banyak digunakan adalah pisau, kater, atau silet, yakni sebesar 59,6 persen, gunting sebesar 20,6 persen, jarum 7 persen, dan pinset atau klem sebesar 2,7 persen. Bahkan ada beberapa alat yang membuat anak mengalami rasa sakit yang luar biasa seperti koin, ceker atau jengger ayam, sembilu atau bambu, serta kuku jari.
ADVERTISEMENT
“Kita temukan di NTB. Jadi koin yang ada lubang di tengahnya, itu dimasukkan ke genital perempuan, dan itu dipotong. Itu sangat mengerikan sekali,” ujar Sri Purwatiningsih.
Jika melihat metode P2GP menurut WHO, ada empat metode yang digunakan dalam praktik sunat perempuan. Pertama, Clitoridectomy, yakni pemotongan sebagian atau seluruh klitoris atau selaput di atasnya. Kedua, Excision, yakni pemotongan sebagian atau seluruh klitoris dan/atau labia minora dengan atau tanpa memotong labia majora.
Metode ketiga yakni Infibulation, yakni mempersempit lubang vagina dengan selaput penutup dengan cara memotong atau mengubah bentuk labia majora dan labia minora, sementara klitoris tidak disentuh sama sekali. Sementara metode terakhir yakni dengan melukai vagina tanpa tujuan medis, misal dengan menggaruk, menusuk, atau menggores area genital.
ADVERTISEMENT
“Tipe keempat ini merupakan metode yang paling banyak dilakukan di Indonesia,” ujar Sri Purwatiningsih.
Sri Purwatiningsih menerangkan melukai bahkan menghilangkan klitoris akan membuat perempuan sulit merasakan kenikmatan seksual.
“Rangsangan pada klitoris akan membuat lubrikasi vagina sehingga siap untuk dipenetrasi oleh penis. Jika tidak ada klitoris maka vagina akan cenderung kering sehingga perempuan sulit untuk bisa menikmati sex,” jelasnya. (Widi Erha Pradana/YK-1)
Baca Juga :