16 September 2020, Seabad Pemantauan Gunung Api di Indonesia

Konten dari Pengguna
16 September 2020 13:29 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gunung Merapi saat erupsi pada Oktober 2010. (Foto: AFP/ADEK BERRY)
zoom-in-whitePerbesar
Gunung Merapi saat erupsi pada Oktober 2010. (Foto: AFP/ADEK BERRY)
ADVERTISEMENT
Pada 16 September 1920, untuk pertama kalinya teknologi pemantauan gunung api pertama kali diaplikasikan di Indonesia dengan didirikannya Dinas Penjagaan Gunung Api. Meletusnya Gunung Kelud pada 1919 yang menewaskan lebih dari 5.000 orang adalah momentum yang menjadi alasan utama didirikannya institusi ini.
ADVERTISEMENT
Beberapa kali, institusi pengawasan gunung api ini mengalami perubahan. Pada 1942 berganti nama menjadi Direktorat Vulkanologi hingga 2001, kemudian berubah lagi menjadi Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) sampai saat ini.
Sejak pertama didirikan, sampai 1941, pos penjagaan mulai didirikan di sejumlah gunung api di Indonesia seperti Krakatau, Tangkuban Perahu, Papandayan, Kawah Kamojang, Merapi, Kelud, Semeru, serta Ijen. Sampai saat ini terus berkembang hingga terdapat 74 pos pengawasan yang memantau secara terus menerus aktivitas 69 gunung api tipe A di Indonesia.
“Letusan 1919 Gunung Kelud memberikan pelajaran yang berharga bagi kita, bahwa betapa perlunya pemantauan aktivitas gunung api yang berkelanjutan,” ujar Penyelidik Bumi Madya dari Pusat Vulkanologi Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Hetty Triastuty dalam webinar daring yang diadakan oleh PVMBG, Senin (14/9).
ADVERTISEMENT
Sistem pemantauan gunung api tidak bisa lepas dari metode, peralatan, sistem akuisisi, pelaporan, serta manajemen data pemantauan hingga diseminasi informasi gunung api. Secara sederhana, sistem kerja peralatan gunung api yang dilakukan oleh PVMBG dibagi dalam tiga bagian, yakni sistem stasiun lapangan, pos pengamatan gunung api, serta PVMBG itu sendiri.
Di stasiun lapangan terdapat sensor seperti seismik, deformasi, serta sensor gas atau geokimia. Sistem sensor ini didukung dengan sistem power supply dan transmisi atau radio baik analog maupun digital. Data yang terekam oleh stasiun lapangan, kemudian ditransmisikan ke pos pengamatan gunung api.
Di pos pemantauan, dilakukan perekaman secara analog dan digital. Di sini juga sudah dilakukan pengolahan data awal yang hasilnya dilaporkan setiap hari ke PVMBG.
ADVERTISEMENT
“Dan data yang masuk dimana dalam sistem informasi data terintegrasi sehingga data dapat diolah, dianalisis lebih lanjut, sehingga pada akhirnya menghasilkan informasi yang dapat diakses masyarakat,” ujar Hetty.
Menurut Hetty, teknologi pemantauan gunung api perlu terus ditingkatkan melalui berbagai inovasi sesuai dengan perkembangan teknologi. Sehingga, akurasi pemantauan gunung api bisa terus ditingkatkan untuk menekan potensi bahaya yang diakibatkan oleh gunung api.
Pengamat Gunung Api Sindoro-Sumbing, Warseno, mengatakan bahwa saat ini masih terdapat sejumlah masalah dalam pemantauan gunung api di Indonesia. Pertama adalah banyak peralatan-peralatan pemantauan yang sudah usang dan tidak diproduksi lagi.
“Contohnya adalah adalah seismograf analog yang tipe Kinemetrics PS-2 yang saya pakai di Pos Pengamatan Gunung Api Sindoro-Sumbing, itu untuk pabriknya sendiri sudah tutup dan unit barunya sudah tidak ada,” kata Warseno.
ADVERTISEMENT
Akibatnya, suku cadang pengganti dari peralatan-peralatan tersebut juga sudah tidak tersedia. Sehingga menjadi masalah ketika peralatan tersebut mengalami kerusakan.
Tantangan selanjutnya adalah era digital yang menuntut data lebih cepat dan akurat. Dengan peralatan yang belum mumpuni, tuntutan tersebut menjadi berat untuk dipenuhi.
Di sejumlah pos pengamatan gunung api, ketersediaan tenaga listrik juga menjadi kendala. Masalah ini tentu menghambat kerja-kerja pemantauan di lapangan, meski beberapa tempat saat ini sudah diantisipasi dengan membuat tenaga listrik dari energi matahari, angin, atau yang lainnya.
Bagaimana Sistem Informasi Pemantauan Bekerja
Ferry Rusmawan, Staf Bidang MGA Wilayah Timur, Kantor PVMBG Bandung menjelaskan bahwa ada empat komponen sistem mitigasi dan mitigasi bencana gunung api di PVMBG, yakni technoware, infoware, organware, serta humanware. Komponen technoware terdiri atas software, hardware, dan jaringan. Model software yang digunakan adalah aplikasi mobile Android serta server dan desktop app.
ADVERTISEMENT
Hardware yang digunakan adalah smartphone, PC workstation, PC server, serta komputer desktop. Sedangkan jaringan yang digunakan adalah jaringan komunikasi analog, jaringan internet VSAT, jaringan komunikasi digital, serta web server.
Sementara itu, komponen organware meliputi organisasi dan SOP. Organisasi ini meliputi struktur organisasi, fasilitas kerja, pelaporan berkala, serta evaluasi kerja.
“Kemudian komponen humanwarenya ada tim developers, admin, teknisi, supervisi atau pejabat struktural, staf atau pejabat fungsional di lingkungan PVMBG, masyarakat, Pemda atau BPBD, BNPB, dan instansi lainnya,” ujar Ferry Rusmawan.
Menurutnya, sistem informasi data mitigasi bencana geologi yang melingkupi technoware, infoware, organware, serta humanware ini merupakan satu kesatuan dalam salah satu sistem informasi yang sedang berjalan saat ini, terutama dalam proses alur sistem akuisisi data real-time dari lapangan yang diproses otomatis oleh komputer. Sehingga dapat disampaikan ke publik menjadi sebuah informasi tentang aktivitas gunung api yang dimonitor selama 24 jam setiap hari.
ADVERTISEMENT
“Sistem informasi ini dibuat untuk memudahkan dan mempercepat proses data menjadi informasi yang bermanfaat untuk masyarakat terutama masyarakat yang berada di sekitar gunung api aktif,” ujarnya.
Pemantauan Memanfaatkan Mikrokontroler Arduino
Salah satu inovasi yang digunakan dalam pemantauan aktivitas gunung api saat ini adalah mikrokontroler Arduino. Salah satu pos pemantauan yang sudah menggunakan teknologi ini adalah Pos Pemantauan Gunung Api Sindoro-Sumbing.
Secara singkat, mikrokontroler merupakan komputer mikro yang terdiri atas satu chip tunggal. Mikrokontroler memiliki masukan (input) dan keluaran (output), serta pengendaliannya menggunakan program yang bisa ditulis dan dihapus secara khusus. Sementara Arduino merupakan salah satu jenis mikrokontroler single-board yang bersifat open source dan dirancang untuk memudahkan penggunaan elektronik dalam berbagai bidang.
ADVERTISEMENT
“Secara garis besar ada sensor yang kita gunakan sebagai input, kemudian diproses dengan program pengendali yang kita tulis pada Arduino, kemudian kita memperoleh output berupa data gempa, suhu kawah, deformasi waktu, dan meteorologi,” ujar Warseno.
Salah satu penerapan Arduino dalam pemantauan gunung api di Sindoro-Sumbing adalah sebagai pengendali kerja seismograf analog Kinemetrics PS-2. Sistem ini juga dilengkapi dengan GPS Timing Clock sebagai pewaktu sehingga analisis waktu tiba gempa menjadi lebih akurat.
Warseno menilai, Arduino bisa menjadi salah satu pilihan yang tepat untuk menunjang kegiatan pemantauan gunung api, terutama untuk menggantikan peralatan-peralatan yang sudah usang. Karena itu, teknologi ini menurutnya perlu terus dikembangkan, sehingga masalah-masalah yang ada bisa teratasi.
“Inovasi dalam kegiatan pemantauan sangat diperlukan untuk keberlangsungan kegiatan pemantauan gunung api di era informasi yang sangat cepat,” ujarnya. (Widi Erha Pradana / YK-1)
ADVERTISEMENT