30,7 Persen Balita di Indonesia Alami Stunting

Konten dari Pengguna
28 Januari 2020 14:29 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi anak stunting. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi anak stunting. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menentukan batas toleransi kasus gizi buruk atau stunting bagi suatu negara, yakni maksimal 20 persen dari jumlah keseluruhan balita. Meski sejak 2013 sampai 2018 sudah mengalami penurunan, namun jumlah kasus stunting di Indonesia masih di atas toleransi yang ditentukan oleh WHO, yakni mencapai 30,7 persen.
ADVERTISEMENT
Padahal, dampak stunting meliputi spektrum yang sangat luas, dari penurunan kualitas sumber daya manusia akibat menurunnya kualitas kognitif, sampai penurunan produktivitas kerja. Stunting juga berhubungan dengan peningkatan risiiko obesitas pada usia dewasa dan penyakit degeneratif pada usia lanjut.
“Masalah-masalah di masa mendatang yang berhubungan dengan gizi saat ini sebetulnya dapat dicegah, oleh karena itu pemerintah harus berusaha untuk mengatasi faktor-faktor risiko stunting,” ujar Peneliti Senior Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) Fakultas Kedokteran UGM, Digna Niken Purwaningrum dalam konferensi pers di UGM, Senin (27/1).
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 dan 2018 memang menunjukkan adanya penurunan pervalensi stunting di Indonesia. Namun penurunan itu masih belum merata ke seluruh wilayah. Daerah-daerah dengan seumber daya terbatas dan secara alamiah memiliki hambatan dari segi akses, sampai sekarang masih memiliki prevalensi stunting yang tinggi.
ADVERTISEMENT
Karena itu, pemerintah sampai sekarang pun masih terus melanjutkan program nasional penanggulangan stunting dan masih menjadikan stunting sebagai isu kesehatan yang diprioritaskan untuk diselesaikan.
Kurang Asupan Gizi
Stunting ditandai dengan kerdilnya perawakan anak. Anak akan lebih pendek ketimbang anak seusianya dengan jenis kelamin yang sama. Hal ini mencerminkan kondisi gagal tumbuh, terutama pada periode seribu hari pertama kehidupan, yakni sejak anak dikandung hingga berusia dua tahun.
“Berat badan anak juga cenderung sulit untuk naik karena kurangnya asupan bergizi disertai insiden sakit yang berulang,” lanjut Digna.
Diagnosis stunting juga perlu ditegakkan oleh tenaga kesehatan profesional yang telah dilatih tata laksana kasus stunting. Sebab, sejauh ini stunting kebanyakan hanya didefinisikan sebagai kondisi fisik seorang anak yang kurus dan pendek.
ADVERTISEMENT
“Jadi kalau dilihat dari fisiknya jelas, tapi kalau dilihat dari perkembangan otaknya itu juga bisa dilihat,” ujar Peneliti PKMK Fakultas Kedokteran UGM, Muhammad Fauzi Kurniawan.
Bagaimana Pemerintah Mengatasi Stunting
Selama ini, acuan pemerintah dalam mengatasi persoalan stunting adalah rekomenasi global untuk menangani gizi kurang dan gizi buruk. Rekomendasi itu dikelompokkan menjadi dua, yaitu intervensi gizi spesifik dan intervensi gizi sensitif.
“Intervensi gizi spesifik berisi program-program yang menarget hal-hal yang secara langsung memengaruhi status gizi anak, seperti pemberian makanan tambahan, suplementasi zat gizi mikro, penerapan tata laksana gizi buruk, dan penanganan penyebab penyakit pada anak,” ujar Digna.
Sementara intervensi gizi sensitif, lebih bertujuan untuk menangani faktor-faktor yang menjadi penyebab mendasar dari kondisi kurang gizi, seperti status ketahanan pangan, ketersediaan air dan kebersihan lingkungan, pemberdayaan masyarakat, dan pelaksanaan program Keluarga Berencana (KB).
ADVERTISEMENT
Pemerintah juga mengakselerasi keterlibatan lintas sektoral, terurtama dalam konteks pelaksanaan intervensi gizi sensitif. Beberapa program dilaksanakan oleh dinas selain Dinas Kesehatan, misalnya Dinas Pekerjaan Umum melaksanakan program penyediaan air bersih atau Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa melaksanakan program pemberdayaan masyarakat.
Pemerintah secara khusus juga telah menetapkan daerah prioritas penanganan stunting yang disebut sebagai lokus stunting. Lokus-lokus stunting ini terletak menyebar di seluruh Indonesia. Selama beberapa tahun terakhir, beberapa kabupaten lokus stunting telah berhasil menciptakan inovasi yang berdampak baik.
“Misalnya di Kabupaten Banggai dan Kabupaten Kulon Progo. Strategi yang dijalankan oleh kabupaten-kabupaten tersebut dapat dikaji lebih dalam dan dipelajari oleh kabupaten lokus stunting lain,” ujar Digna.
Pendekatan Individual dan Komunitas
Penanganan masalah gizi dapat dilakukan melalui berbagai pendekatan: pendekatan individual dan pendekatan komunitas. Pendekatan individual dapat dilakukan melalui konseling gizi di Puskesmas atau fasilitas kesehatan lain.
ADVERTISEMENT
“Namun belum semua Puskesmas, terutama Puskesmas yang berada di wilayah dengan akses terbatas, memiliki petugas gizi yang terlatih memberikan konseling terstandar,” ujar Digna.
Sementara itu, pendekatan komunitas diharapkan dapat menjangkau kelompok yang lebih luas. Sebagian program gizi masyarakat sebenarnya sudah disampaikan melalui pendekatan komunitas. Namun pendekatan ini cenderung bertumpu pada sosok kader yang mengelola program-program dengan bimbingan dari Puskesmas.
Sosok kader ini cenderung memiliki tugas lebih dari satu program masyarakat yang mengakibatkan beban berlebih dan tidak fokus. Beruntung saat ini pemerintah melalui dana desa memberikan kesempatan untuk merekrut kader yang bisa ditugaskan untuk mendampingi keluarga berisiko tinggi mengalami stunting.
“Inovasi juga perlu disesuaikan dengan konteks lokal masing-masing daerah. Ada beberapa daerah yang justru membutuhkan inovasi dengan pendekatan teknologi untuk mengatasi jarak dan akses,” lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Intervensi gizi spesifik dan sensitif ini harus terintegrasi dengan program Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) lainnya yang sudah berjalan. Integrasi ini terutama diperlukan supaya jalur dan proses penyampaian layanan lebih optimal. (Widi Erha Pradana / YK-1)