news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

45 Telur Burung Hantu di Cangkringan, Sleman, Siap Menetas di Tengah Pandemi

Konten dari Pengguna
15 Mei 2020 3:58 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi burung hantu dari Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi burung hantu dari Pixabay
ADVERTISEMENT
Di tengah pandemi, kabar baik datang dari Dusun Cancangan, Wukirsari, Cangkringan, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Sebagian telur burung hantu, dari puluhan yang ada mulai menetas satu persatu.
ADVERTISEMENT
Burung hantu atau Tyto alba memang sudah sejak beberapa tahun terakhir sengaja dikonservasi di dekat area persawahan warga di dusun Cancangan. Tujuannya, selain untuk menjaga kelestarian burung hantu juga untuk menjaga keseimbangan ekosistem, terutama untuk memangsa hama tikus yang kerap bikin petani kelimpungan.
“Sekarang sedang masa breeding, ini sudah pada menetas,” kata Lim Wen Sim, salah seorang inisiator konservasi burung hantu di Dusun Cancangan, pertengahan Mei ini.
Telur burung hantu di sarang sebagian sudah menetas. FOto : Liw Wen SIm.
Pak Lim, sapaan akrab Lim Wen Sim, mengatakan telur burung hantu yang mulai menetas terdapat di sembilan sarang. Artinya, jika sepasang burung hantu memiliki lima telur saja, sudah ada 45 telur burung hantu yang siap menetas. Jumlah telur burung hantu memang bervariasi, dari 5 butir sampai 11 butir.
ADVERTISEMENT
“Breeding ini periodenya delapan bulan sekali. Ini memang sudah waktunya, pas di masa pandemi,” lanjut Pak Lim yang juga merupakan anggota Raptor Club Indonesia (RCI).
Saat ini, total ada 18 ekor burung hantu dewasa yang dikonservasi di Dusun Cancangan. Burung hantu ini juga sebenarnya tidak dibudidayakan, mereka dibiarkan hidup secara alami di alam. Mereka tidak diberi makan, tapi akan mencari makan sendiri berupa tikus di sawah, kecuali beberapa ekor yang butuh perawatan.
Anakan burung hantu. Foto : Lim Wen Sim.
Yang diperlukan dalam konservasi ini adalah sistem pertanian tanpa bahan kimia, bukan sekadar membuat sarang untuk rumah hantu. “Bukan sekadar bikin rumah burung hantu, tapi semua komponen pendukung harus ada. Mulai dari tengeran, aturan, pola pertanian tanpa pestisida, dan lain-lain,” jelasnya.
ADVERTISEMENT
Melalui konservasi ini, Pak Lim berhasil mengubah stigma burung hantu yang tadinya mengerikan justru membawa berkah bagi para petani di Dusun Cancangan. Namun hasil ini tidak dicapai oleh Pak Lim begitu saja namun juga warga dan anggota komunitas. Dia sudah mulai fokus pada pengamatan burung hantu sejak 2009. Di tahun yang sama, dia juga ikut mendirikan RCI.
Alumni Jurusan Biologi Universitas Atma Jaya ini rutin mengamati berapa kekuatan burung hantu memangsa tikus. Hasilnya, dalam 2,5 bulan sepasang burung hantu dan anaknya bisa memakan hingga 1.080 ekor tikus. Jika saat ini di Dusun Cancangan ada sembilan pasang burung hantu dan anaknya, artinya dalam 2,5 bulan ada sekitar 9.720 ekor tikus yang berhasil dikurangi dengan pemanfaatan burung hantu ini.(Widi Erha Pradana / YK-1)
ADVERTISEMENT