Aktivis Mahasiswa UGM: Jangan Sampai Konversi Aktivis jadi SKS Batasi Mahasiswa

Konten Media Partner
6 Agustus 2022 16:35 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ketua BEM KM UGM (Kanan), Muhammad Khalid. Foto: Dok. Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Ketua BEM KM UGM (Kanan), Muhammad Khalid. Foto: Dok. Pribadi
ADVERTISEMENT
Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa (BEM KM) Universitas Gadjah Mada (UGM), Muhammad Khalid, menyambut baik rencana rektorat UGM yang akan merekognisi kegiatan aktivis mahasiswa dengan mengkonversinya menjadi bobot satuan kredit semester (SKS).
ADVERTISEMENT
Kebijakan tersebut menurut dia akan cukup memberikan angin segar bagi mahasiswa-mahasiswa yang selama ini aktif di luar kampus.
“Kita sangat menunggu bagaimana kampus menyediakan mekanisme rekognisi ini, bahkan bisa lebih mendampingi program-program aktivisme,” kata Muhammad Khalid ketika dihubungi Pandangan Jogja @Kumparan, Sabtu (6/8).
Namun, yang perlu ditekankan menurut dia adalah jangan sampai kebijakan ini justru akan membatasi kegiatan-kegiatan aktivis mahasiswa.
“Jangan sampai justru adanya mekanisme konversi ini justru makin membatasi kegiatan aktivisme yang kita perbuat,” lanjutnya.
Sebab, kegiatan aktivisme mahasiswa saat ini menurut dia sudah semakin luas. Bagaimana kampus dapat menjangkau kegiatan-kegiatan aktivisme yang semakin beragam ini menurut dia juga menjadi pekerjaan rumah tersendiri bagi perguruan tinggi.
“Misalnya sekarang ada aktivisme digital, seperti membuat campaign di media sosial, itu juga punya nilai,” kata Khalid.
Ribuan mahasiswa mengikuti aksi #GejayanMemanggil di Simpang Tiga Colombo, Gejayan, Sleman, DI Yogyakarta, Senin 23 September 2019. Dalam aksi demonstrasi yang diikuti oleh ribuan mahasiswa dari berbagai universitas di Yogyakarta itu, mereka menolak segala bentuk pelemahan terhadap upaya pemberantasan korupsi serta mendesak pemerintah dan DPR mencabut UU KPK yang sudah disahkan. Foto: ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko
Hal serupa juga disampaikan oleh mahasiswa UGM yang juga peserta gerakan Gejayan Memanggil, Anju Gerald. Meski rencana rektorat UGM untuk merekognisi kegiatan aktivis mahasiswa patut diapresiasi, namun ada beberapa hal yang menurut Anju perlu jadi perhatian.
ADVERTISEMENT
Menurut dia, kegiatan aktivisme mahasiswa tak sekadar soal tuntutan untuk cepat lulus. Dia melihat, kebijakan ini juga berpotensi untuk menyederhanakan kegiatan-kegiatan aktivisme mahasiswa dengan memberikan insentif kepada mereka.
“Dimana kegiatan aktivisme mahasiswa kalau saya melihat juga sedang coba dikotak-kotakan, bahwa nanti ada yang aktivis dan ada yang tidak aktivis,” kata Anju Gerald.
Selain itu, dia juga khawatir kegiatan aktivisme justru akan dilihat lebih sederhana menjadi yang positif dan tidak positif yang basisnya adalah moralitas. Padahal, kegiatan aktivisme menurut dia tidak sekadar gerakan moral, tapi seringkali kegiatan aktivisme juga memiliki landasan politis.
Sebab, jika sekadar basis moralitas tentang memberikan manfaat untuk masyarakat, semua komponen di dalam perguruan tinggi menurut dia punya kewajiban untuk melakukan hal tersebut, bukan hanya oleh aktivis-aktivis mahasiswa saja.
ADVERTISEMENT
Untuk saat ini, yang mesti dilakukan pertama oleh kampus menurut dia justru memberikan kebebasan akademik kepada mahasiswa untuk melakukan kegiatan. Pasalnya, sejauh ini menurut dia masih kerap ada pembatasan atau bahkan pelarangan dari kampus terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh mahasiswa, misalnya diskusi-diskusi yang mengundang tokoh-tokoh kontroversial.
“Jangan sampai ini akhirnya akan memonopoli kegiatan mahasiswa, yang boleh seperti ini yang enggak boleh seperti ini,” ujarnya.
Memang, pembatasan studi menurut dia sangat mempengaruhi gerakan mahasiswa. Masa studi yang semakin pendek membuat semakin sedikit mahasiswa yang aktif di luar kelas. Namun, merekognisi kegiatan aktivis mahasiswa menjadi bobot SKS menurut dia bukanlah solusi dari akar permasalahan yang ada di perguruan tinggi.
Jika kampus memang berpihak pada aktivis mahasiswa, hal utama yang perlu dilakukan justru dengan membuka kebebasan akademik seluas-luasnya.
ADVERTISEMENT
“Karena banyak juga yang melakukan kegiatan aktivisme bukan untuk mendapatkan timbal balik SKS dari kampus, tapi karena memang peduli dengan isu tertentu,” kata Anju Gerald.
Sebelumnya, Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Pengabdian Masyarakat, dan Alumni UGM, Arie Sujito, mengatakan sedang merancang mekanisme yang bisa merekognisi kegiatan aktivis mahasiswa menjadi bobot SKS. Kebijakan itu menurut dia dibutuhkan oleh mahasiswa di tengah tuntutan cepat lulus yang semakin tinggi.
“Kalau aktivis ini tidak direkognisi, sementara tuntutan cepat lulus sangat tinggi, ya enggak adil. Sepi nanti kampus,” kata Arie Sujito ketika ditemui dalam acara pertemuan alumni UGM di Medan, Sumatra Utara, Rabu (3/8).