Alat Ini Sulap Kresek Jadi Paving, Hasilnya Diklaim 2 Kali Lebih Kuat dari Semen

Konten Media Partner
18 Agustus 2022 18:11 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Petugas memasukkan sampah plastik yang sudah dicacah ke alat pengolah sampah. Foto: Widi Erha Pradana
zoom-in-whitePerbesar
Petugas memasukkan sampah plastik yang sudah dicacah ke alat pengolah sampah. Foto: Widi Erha Pradana
ADVERTISEMENT
Sejumlah anak muda yang tergabung dalam komunitas Bijak Sampah, yang berbasis di Kecamatan Pleret, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta berhasil membuat teknologi untuk membuat paving block dari sampah-sampah plastik, mulai dari kemasan makanan sampai plastik kresek.
ADVERTISEMENT
Sampah-sampah tersebut adalah sampah yang sebelumnya tidak memiliki nilai ekonomi, berbeda dengan sampah botol minum plastik yang sudah banyak dimanfaatkan.
Ketua Komunitas Bijak Sampah Indonesia, Megan Dwi Pramudya, mengatakan bahwa mereka sengaja memilih fokus sampah-sampah plastik yang tak punya nilai ekonomi ini karena produksinya setiap tahun semakin besar. Di sisi lain, belum ada solusi yang bisa menyelesaikan permasalahan sampah tersebut.
“Karena masih belum ada yang bisa mengolah, sehingga tidak punya nilai ekonomi, akhirnya hanya menumpuk di TPA dan terus menjadi masalah. Sama sekali tidak laku di pasaran,” kata Megan Dwi Pramudya di sela acara Pencanangan Kampung Bijak Sampah Berbasis Teknologi Hijau di Pleret, Bantul, Kamis (18/8).
Sampah plastik yang sudah diolah masuk ke dalam cetakan batoko. Foto: Widi Erha Pradana
Alat pengolah sampah tersebut terdiri atas tiga bagian utama, yakni mesin pencacah, mixer, dan mesin pengepresan. Mesin pencacah tersebut dibuat khusus untuk mencacah sampah-sampah plastik mulai seperti bungkus makanan, styrofoam, sampah plastik kresek. Sebelumnya, mesin pencacah plastik yang sudah banyak beredar hanya bisa mencacah sampah botol-botol plastik minuman kemasan.
ADVERTISEMENT
Sedangkan mesin mixer terdiri atas pemanas dan pencampur. Nantinya, plastik yang telah dicacah dimasukkan ke dalam mixer untuk dicampur dengan pasir yang akan menjadi adonan pembuat paving.
“Perbandingannya 30 persen plastik, 70 persen pasir. Jadi plastik ini fungsinya sebagai pengganti semen,” lanjutnya.
Mesin pengepres batako sampah plastik. Foto: Widi Erha Pradana
Setelah dicampur, adonan tersebut kemudian dimasukkan ke dalam cetakan lalu dipadatkan menggunakan mesin pengepresan. Semua proses itu bisa dilakukan dalam waktu tak sampai 5 menit. Setelah dicetak dan di-press, paving yang masih panas kemudian didinginkan dan ditunggu sekitar satu jam. Setelah itu, paving tersebut sudah bisa dipakai untuk berbagai keperluan, mulai dari lapisan jalan raya, tembok rumah, membuat drainase, dan sebagainya.
“Untuk kekuatannya 2019 sudah kita uji di PUPR Bogor, itu kekuatanya melebihi kekuatan beton. Jadi kalau beton dengan ketebalan 10 cm kekuatannya 400 K, kami cukup dengan ketebalan 5 cm untuk menyamai 400 K. Jadi dua kali lebih kuat ketimbang beton yang pakai semen,” kata Megan Dwi Pramudya.
ADVERTISEMENT
Dengan kekuatan seperti itu, konblok yang dihasilkan dari campuran plastik dan pasir ini sudah sangat cukup untuk dijadikan landasan pacu pesawat terbang. Selain itu, mereka juga telah menguji paving yang dihasilkan untuk membuat kolam ikan, hasilnya aman, tak ada ikan yang mati meski paving yang digunakan berasal dari plastik.
Sebenarnya tak hanya paving, bahan ini juga bisa digunakan untuk membuat batako, patung, pengganti beton jalan, bahkan Megan dan kawan-kawannya sedang berencana membuat bangunan dengan sistem puzzle seperti bangunan candi yang dibangun tanpa semen.
Dari segi harga, produk yang dihasilkan juga jauh lebih murah ketimbang produk yang dibuat dari semen.
“Paving block misalnya, kalau kita per meter persegi itu hanya Rp 30an ribu, kalau harga paving block di pasaran kan sampai Rp 60an ribu per meter persegi,” ujarnya.
Konblok jadi. Foto: Widi Erha Pradana
Salah seorang anggota tim riset dan engineer di Bijak Sampah, Agung Wisda, mengatakan bahwa mereka membutuhkan waktu sampai dua tahun untuk menciptakan alat tersebut. Berkali-kali percobaan dilakukan, berkali-kali juga gagal. Apalagi dalam pengembangannya mereka menggunakan dana sendiri, tanpa sponsor. Hingga akhirnya dihasilkan prototipe terakhir dengan kapasitas produksi 15 kilogram sampah plastik setiap hari.
ADVERTISEMENT
“Total biayanya sekitar Rp 200 juta, tapi kalau dihitung sama gagal-gagalnya ya ada Rp 600an juta,” kata Agung Wisda.
Setelah berhasil dengan prototipe pertama ini, saat ini timnya sedang dalam proses produksi mesin dengan skala lebih besar, mencapai 300 kilogram sehari. Dengan kapasitas sebesar itu, diperkirakan mesin tersebut dapat mengolah sampah plastik dari 5 kecamatan.
“Progressnya sekitar 80 persen, masih terus kami kembangkan,” ujarnya.
Untuk pasir yang dapat digunakan, menurut dia semua jenis pasir juga bisa digunakan, baik pasir gunung, pasir sungai, sampai pasir pantai yang selama ini tak bisa digunakan sebagai bahan bangunan. Selama proses pengujian, mereka juga telah menguji pasir dari 14 provinsi, mulai dari pasir-pasir dari Jawa sampai Sumatra.
ADVERTISEMENT
“Sehingga kalau dibawa ke daerah lain alat ini tetap bisa digunakan, meski menggunakan pasir dari daerah tersebut,” kata dia.
3 alat utama. Foto: Widi Erha Pradana
Saat ini, alat tersebut menurut dia sudah dilirik oleh sejumlah daerah, mulai dari Medan, Lampung, Kalimantan, dan sejumlah daerah di Jawa. Namun, mereka masih menahannya sampai daerah tersebut benar-benar bisa memenuhi produksi sampah untuk bahan bakunya.
“Daerah tersebut harus punya bank sampah yang aktif, sehingga bisa menyuplai sampah plastik untuk bahan bakunya, kalau tidak nanti hanya mangkrak saja alatnya,” kata Agung Wisda.
Pengasuh Kampung Bijak Sampah yang juga anggota DPRD Kabupaten Bantul, Nur Subiyantoro, mengatakan bahwa misi besar dari penciptaan teknologi tersebut adalah untuk menyelesaikan masalah sampah plastik di tengah masyarakat. Di sisi lain, program tersebut harapannya juga bisa meningkatkan perekonomian masyarakat dari sampah-sampah plastik yang sebelumnya tak punya nilai ekonomi.
ADVERTISEMENT
“Bisa saja sebenarnya alat ini saya patenkan untuk memperkaya diri sendiri, tapi tujuan kami bukan itu. Teknologi ini adalah milik masyarakat, sehingga harus digunakan untuk kepentingan masyarakat,” kata Nur Subiyantoro.