Ancaman Kebakaran Hutan dan Lahan di Tengah Pandemi COVID-19

Konten dari Pengguna
23 Juni 2020 19:31 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi kebakaran hutan. Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kebakaran hutan. Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) menjadi persoalan serius Indonesia dari tahun ke tahun. Menjelang musim kemarau ini, ancaman karhutla kian nyata. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) juga telah memberikan peringatan akan ancaman karhutla memasuki musim kemarau tahun ini.
ADVERTISEMENT
Karhutla akan memperparah ancaman pandemi di daerah sekitar kebakaran sebab mengakibatkan penyakit pernapasan dan menyebarnya zoonosis karena hewan yang terpaksa berlari ke luar hutan.
Pada hari ini, Selasa (23/6) Presiden Joko Widodo dalam rapat terbatas bersama BMKG mendapat laporan bahwa sebagian besar wilayah Indonesia akan mengalami puncak kemarau pada bulan Agustus mendatang.
Dalam uanggahan di Facebook, Presiden mengingatkan bahwa penegakan hukum terhadap tindakan pembakaran hutan secara sengaja harus diterapkan secara tegas dan tanpa kompromi.
Mengenai pencegahan kebakaran di lahan gambut, Presiden menginstruksikan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (KemenPUPR), serta Badan Restorasi Gambut (BRG) untuk siaga menjaga tinggi muka air pada lahan gambut untuk mencegah terjadinya kekeringan dan kebakaran lahan.
ADVERTISEMENT
Dalam webinar daring yang digelar oleh Badan Restorasi Gambut, pada Senin (8/6) telah diketahui bahwa karhutla di Nagan Raya, Aceh, pada pekan sebelumnya telah menjadi alarm serius ancaman karhutla, meski kemarau tahun ini merupakan kemarau basah dan diperkirakan lebih pendek dari tahun kemarin. Meski saat ini api sudah berhasil dipadamkan.
Dirjen Gakkum KLHK, Rasio Ridho Sani mengatakan bahwa risiko karhutla terdapat hampir di seluruh provinsi, terutama di Sumatera dan Kalimantan. Hal ini menjadi ancaman serius bagi masyarakat, terlebih badai pandemi COVID-19 belum juga berakhir.
“Di tengah-tengah masa COVID ini kami terus bekerja, baik di kantor maupun di lapangan. Jadi para polhut kami, penyidik kami, pengawas kami, masih terus bekerja untuk memastikan bahwa karhutla ini berhasil kita tangani termasuk kejahatan-kejahatan kehutanan lainnya,” kata Rasio Ridho.
ADVERTISEMENT
Jika risiko ini tidak berhasil ditangani dengan baik, maka Indonesia kata Rio, sapaan Rasio Ridho, akan menghadapi permasalahan ganda yang serius: pandemi dan karhutla yang akan memperparah krisis.
KLHK menurut Rio sudah mulai melakukan upaya pencegahan karhutla sejak Mei silam, termasuk melalui modifikasi cuaca. “Dalam konteks penegakkan hukum, tim intelijen kami terus memantau dan juga menyampaikan informasi yang ada kepada pihak-pihak yang membutuhkan informasi tersebut agar mereka meningkatkan upaya pencegahan, penanggulangan dari karhutla ini,” lanjutnya.
Tiga Akar Masalah Karhutla
Foto: Pixabay
Setidaknya ada tiga akar permasalahan karhutla yang dihadapi Indonesia. Pertama adalah kondisi ekosistem gambut yang sudah sangat rentan karena banyaknya pengrusakan akibat berbagai aktivitas di atasnya yang tidak sesuai dengan tata ruang dan peruntukkan ekosistem gambut.
ADVERTISEMENT
“Yang kedua adalah faktor cuaca, ini harus menjadi perhatian kita. Karena kita memahami bahwa beberapa lokasi di Indonesia akan mengalami musim kemarau dan berbeda satu sama lainnya,” ujar Rio.
Misalnya kondisi cuaca di Riau, menurutnya cuaca di sana sangat unik. Sebab, Riau memiliki dua puncak kemarau, yakni pada Maret-April serta Juli sampai September. Sementara daerah lain hanya memiliki puncak kemarau sekali, yakni pada Juli sampai September saja.
Akar permasalahan ketiga adalah faktor aktivitas manusia. Rio meyakini bahwa hampir semua kasus karhutla di Indonesia diakibatkan oleh aktivitas manusia. Banyak orang yang memanfaatkan karhutla untuk mencari keuntungan finansial seperti membuka lahan pertanian dengan cara membakarnya.
“Termasuk juga data kami menunjukkan masih adanya korporasi yang minimalis dalam investasi pencegahan karhutlanya. Jadi mereka tidak memiliki sumber daya manusia dan peralatan yang memadai,” lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Setidaknya ada tiga alasan manusia melakukan pembakaran hutan menurut Rio. Pertama adalah masih adanya masyarakat, khususnya petani yang tidak mengetahui bahwa membakar lahan merupakan tindak kejahatan. Atau bisa juga mereka terpaksa membakar lahannya karena tidak ada alternatif lain yang bisa digunakan untuk membuka lahan.
Yang kedua adalah adanya perilaku oportunistik dari pihak-pihak tertentu yang mendapat kesempatan untuk melakukan pembakaran lahan. Hal ini disebabkan karena lemahnya pengawasan dari pemerintah sehingga mereka menggunakan kesempatan ini untuk meraup keuntungan dari membuka lahan dengan cara membakar.
“Yang ketiga kami melihat adanya perilaku oportunistik mens rea, mereka memang mempunyai niat jahat untuk mencari keuntungan dari pembakaran ini,” jelas Rasio Ridho.
Karhutla dan Corona, Kombinasi Ideal Perparah Krisis
Foto: Pixabay
Pandemi membuat situasi sekarang semakin mengkhawatirkan. COVID-19 dan karhutla adalah kombinasi yang sangat ideal untuk membuat krisis semakin parah.
ADVERTISEMENT
Pertama, karhutla akan menghasilkan asap partikulat yang sangat berbahaya bagi kesehatan paru-paru dan menyebabkan infeksi saluran pernapasan atas (ISPA). Di sisi lain, ISPA akan memperparah keadaan seseorang yang menderita COVID-19, mengingat penyakit ini juga menyerang sistem pernapasan.
Karhutla juga membuat risiko menyebarnya penyakit yang berasal dari hewan atau zoonosis menjadi meningkat. Sebab, ketika hewan kehilangan habitatnya karena karhutla, bukan tidak mungkin mereka akan melepas bakteri maupun virus yang berbahaya bagi manusia.
“Tantangan lain yang kami hadapi adalah risiko bagi petugas di lapangan.Tidak mudah kita mengirimkan petugas saat di masa-masa pandemi ini,” jelas Rasio Ridho Sani..
Kebakaran Lahan atau Pembakaran Lahan
Foto: Pixabay
Di kesempatan yang sama, Laode Muhammad Syarif, mantan Komisioner KPK yang juga merupakan Anggota Komite Lingkungan Hidup Internasional (IUCN), dengan tegas menyebut karhutla sebagai pembakaran hutan dan lahan.
ADVERTISEMENT
“Karena setiap kasus yang kita teliti, tidak pernah ada yang terbakar sendiri, selalu dibakar. Jadi sebenarnya istilahnya kita ganti saja, bukan kebakaran hutan tapi memang dibakar hutannya, pembakaran hutan,” kata Laode M Syarif.
Laode juga mengatakan, selain kerugian kesehatan dan ekologis, negara juga mengalami kerugian materi yang sangat besar akibat karhutla. Pada 2019 saja, ketika karhutla menghanguskan nyaris 1 juta hektar lahan, negara perlu mengerahkan 50 helikopter, membeli 272 ton lebih garam untuk ditabur, serta mengerahkan 29.000 personel.
Sepanjang 2020, sejak Januari sampai Maret, di Kepulaun Riau saja sudah tercatat ada 29 kasus kebakaran hutan. “Dan bahkan 1,6 juta lahan gambut terbakar dan 63 persen selalu terkait dengan konsesi sawit. Jadi kita sudah tahu sebenarnya di mana dan ke mana arahnya,” lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Menurut Laode, untuk mencari pelaku pembakaran lahan sebenarnya jauh lebih mudah ketimbang mencari sumber pencemaran sungai atau laut. Untuk mengetahui pencemaran air, diperlukan uji lab yang jauh lebih kompleks.
“Kalau investigasi dari mana datangnya api, sebenarnya hampir semua kita sudah tahu,” ujarnya.
Kasus karhutla yang terjadi selama ini, mayoritas terjadi di dalam lahan konsesi sawit. Karena itu, untuk mencari sumber pembakaran hutan dan lahan seharusnya tidak menjadi kendala, terlebih dengan dukungan teknologi yang semakin canggih. (Widi Erha Pradana / YK-1)