Bagaimana Komunitas Pendidikan di Jogja Siasati Pandemi Agar Belajar Tetap Asyik

Konten dari Pengguna
19 Januari 2021 20:05 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Pandemi memaksa semua orang untuk memutar otak agar kehidupan bisa tetap berjalan semestinya, termasuk mereka yang mengabdikan dirinya di bidang pendidikan. Sejumlah komunitas yang bergerak di bidang pendidikan, terus berupaya supaya anak-anak tetap mendapat pendidikan yang layak, meski situasi semakin sulit.
ADVERTISEMENT
Akbar Bagaskara, seorang pengajar di Yogyakarta yang aktif di komunitas ‘Yogyakarta Mengajar’ mengatakan bahwa masalah utama dari sistem pembelajaran daring di tengah pandemi adalah tidak siapnya guru dengan metode belajar yang baru.
“Dan ini benar-benar saya rasakan, saya dengar banget keluhan ini dari para murid-murid dan orangtua murid juga yang ada di Yogyakarta Mengajar,” kata Akbar Bagaskara dalam diskusi daring yang diadakan oleh Padepokan Asa Wedomartani, Sleman, DIY, Sabtu (16/1).
Kurangnya kesiapan pengajar ini membuat penyampaian materi belajar dari guru menjadi kurang optimal. Jangankan untuk menciptakan suasana belajar yang asyik, materi belajar dapat disampaikan dengan baik saja sudah syukur.
Beruntung ‘Yogyakarta Mengajar’ masih bisa melakukan pembelajaran tatap muka dengan penerapan protokol kesehatan sedemikian rupa. Risiko ini terpaksa diambil, sebab jika tidak begitu akan sangat sulit komunitas bisa tetap bertahan.
ADVERTISEMENT
“Kami harus ada ketika negara membutuhkan pengajar. Apalagi di tengah pandemi ini kami merasa banget ada keluhan-keluhan dari orangtua murid,” ujarnya.
Menurutnya, pandemi jangan sampai mengendurkan semangat relawan untuk mendidik. Pasalnya, di situasi seperti inilah peran para relawan di komunitas-komunitas sangat dibutuhkan anak-anak.
“Karena ketika pandemi ini, saat orang kesusahan kami tidak boleh lari, harusnya malah makin semangat untuk membantu,” ujarnya.
Bahwa ada banyak kegiatan yang harus dibatalkan, Akbar mengamininya. Tapi mereka menggantinya dengan kegiatan-kegiatan lain, terutama lebih fokus memberikan pendampingan belajar kepada anak-anak di wilayah mengajar mereka.
“Kami juga sedang membuat perpustakaan untuk mengganti kegiatan festival anak, karena tidak boleh membuat kegiatan yang menimbulkan kerumunan,” ujar Akbar.
Fitria Erada dari Rumah Belajar Indonesia Bangkit (RBIB) Yogyakarta juga senada dengan Akbar. Dengan format yang lebih fleksibel ketimbang lembaga-lembaga pendidikan formal, mestinya komunitas-komunitas bisa menutup kekosongan yang ada, salah satunya menciptakan suasana belajar yang asyik, yang sangat sulit dilakukan oleh sekolah-sekolah formal karena metode belajar daring.
ADVERTISEMENT
Untuk mewujudkan pembelajaran yang asyik, para relawan di RBIB kerap menyisipkan pembelajaran-pembelajaran lain seperti menggambar atau membuat permainan tradisional.
“Jadi kita lihat mereka punya potensi apa, kita dampingi mereka supaya bisa mengembangkan potensi itu,” ujar Fitria Erada.
Untuk meningkatkan keberanian anak, para pengajar selalu memancing mereka untuk berani berbicara di depan umum. Misalnya anak-anak diminta menulis pengalaman mereka selama di rumah dalam bentuk apapun, bisa cerita, puisi, dan sebagainya. Setelah itu, mereka akan diminta untuk menceritakan karyanya di depan anak-anak yang lainnya.
“Jadi kita pancing mereka untuk berani speak up,” ujarnya.
Supaya intisari materi belajar dapat disampaikan dengan baik, mereka juga kerap menyampaikannya dengan lagu-lagu. Misalnya untuk mengajarkan cuci tangan kepada anak-anak, menurutnya akan sangat sulit jika dilakukan secara konvensional. Pesan tak akan disampaikan dengan baik jika hanya memberikan ceramah yang membosankan kepada anak-anak.
ADVERTISEMENT
“Mungkin ini sederhana, tapi sangat melekat untuk adik-adik,” ujarnya.
Kendati demikian, bukan berarti komunitasnya tanpa masalah. Masalah terbesar yang mereka hadapi adalah terbatasnya sumber daya yang dimiliki. Sebab, sebagian besar relawan mereka yang terdiri atas mahasiswa pulang ke kampung halaman masing-masing. Ini tentu sangat menghambat kegiatan-kegiatan komunitas.
“Jadi saya harus ajak teman-teman di luar relawan, karena bagaimanapun kita harus bisa membantu sekuat mungkin dengan segala risiko yang ada,” ujar Fitria. (Widi Erha Pradana / YK-1)