Bagaimana Menjual Buah Naga Rp 45 Ribu Sekilo Saat Harga di Pasaran Rp 1000?

Konten dari Pengguna
12 Agustus 2020 22:34 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi buah naga. Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi buah naga. Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Petani adalah seorang pebisnis super. Mereka dituntut untuk menguasai berbagai bidang, dari menyemai benih, menanam, merawat, memanen, memitigasi krisis, memasarkan produk yang dihasilkan, sampai mengelola keuangan. Sayangnya, produktifitas petani sulit meningkat sebab saat bidang lain terus melahirkan jenius-jenius baru, mereka yang berkutat di dunia pertanian di Indonesia jarang yang mendapat pendidikan yang cukup untuk menghadapi tantangan zaman.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2018, 766.954 orang atau sekitar 9,65 persen tidak sekolah. 10.358.754 orang atau 26,54 persen petani belum lulus SD, sementara lulusan SD sebanyak 15.023.269 orang atau sekitar 38,49 persen.
Petani yang sudah lulus dari SLTP sebanyak 6.330.800 orang atau 16,22 persen, lulusan SLTA 332.106 orang atau 8,54 persen, serta lulusan sarjana dan diploma hanya 223,809 orang atau setara 0,57 persen.
CEO PT Indmira, sebuah perusahaan yang bergerak di industri pertanian pangan di Yogyakarta, Aryo Wiryawan mengatakan bahwa pendidikan merupakan permasalahan utama dan paling mendasar di dunia pertanian Indonesia. Kurangnya wawasan dan pendidikan, membuat petani sangat rawan menjadi bulan-bulanan ekosistem pertanian yang kompleks.
“Kadang dipermainkan keadaan, tapi bukan person atau pihak mana yang harus disalahkan,” kata Aryo Wiryawan saat ditemui di kantor Indmira, Senin (10/8).
ADVERTISEMENT
Dengan basis pendidikan yang kurang, wawasannya menjadi sempit yang kemudian berimbas pada sedikitnya opsi yang dimiliki oleh petani.
Misalnya, kata Aryo terjadi pada kasus anjloknya harga cabai, beberapa kali petani membuang cabainya begitu saja sebagai bentuk protes. Padahal jika ditunjang dengan basis pendidikan yang kuat, petani bisa saja memiliki banyak opsi. Misalnya dengan mengolahnya menjadi cabai kering, atau berbagai macam produk lain seperti minyak cabai, bon cabai, dan sebagainya.
“Konsumen sebenarnya bisa selalu di-drive sama yang punya barang. Tergantung lagi-lagi pendidikan, punya banyak opsi tidak? Punya banyak kreativitasi tidak? Itu kan datangnya juga dari wawasan dan pendidikan,” lanjutnya.
Menurut Aryo, yang paling krusial saat ini untuk dihadapi petani baik upaya mandiri maupun kolektif adalah bagaimana petani menghadapi masalah pasar dan fluktuasi harga.
ADVERTISEMENT
“Karena kalau kita petani bisa menghadapi fluktuasi harga, kita bisa untung. Kalau untung, petani makin giat menanam. Pengetahuan dan teknologi, dan juga negara, pertama-tama harus dicurahkan untuk menghadapi masalah harga itu,” kata Aryo.
Menjual Tiga Kali Lipat dari Harga Pasaran
Sabila Farm yang berada di Jalan Kaliurang Yogyakarta mengembangkan pertanian organik dengan brand kuat sehingga bisa menjual jauh di atas harga pasaran. Foto: Widi Erha Pradana.
Sabila Farm, sebuah usaha budidaya dan buah-buahan organik di Yogyakarta yang didirikan sejak 2005 bisa tetap bersaing dengan harga produk yang jauh lebih tinggi ketimbang produk lain di pasaran. Beberapa komoditas andalan mereka di antaranya buah naga, lemon, srikaya, dan jambu Kristal. Dua tahun silam, ketika harga buah naga anjlok sampai Rp 1.000, Sabila Farm tetap bisa menjual produknya dengan harga Rp 35 ribu sampai Rp 45 ribu.
“Dan masih laku, malah masih kekurangan stok kita,” kata Wahyu Ambang Sulistyawan, Kepala Bagian Pemasaran Sabila Farm, Senin (10/8)
ADVERTISEMENT
Tidak hanya buah naga, harga komoditas lain juga nyaris tiga kali lipat lebih tinggi ketimbang harga di pasaran. Misalnya srikaya, mereka saat ini mematok dengan harga Rp 50 ribu per kilogram, padahal harga di pasaran hanya belasan ribu. Begitu juga dengan lemon, mereka mematok harga Rp 25 ribu, meski banyak gempuran lemon impor yang harganya hanya Rp 10 ribu per kilogram. Kualitas menjadi kunci Sabila Farm berani mematok harga tinggi.
“Utamanya di rasa memang, semua buah yang kami hasilkan pasti jauh lebih manis, meski secara ukuran mungkin tidak terlalu besar,” lanjutnya.
Mereka sebenarnya tidak terlalu banyak melakukan promosi di media sosial. Selama ini mereka hanya melakukan promosi dari mulut ke mulut, dari pelanggan ke pelanggan. Memang awalnya tidak gampang meyakinkan konsumen mau beli produk mereka dengan harga yang jauh lebih tinggi ketimbang produk yang sudah banyak di pasaran.
Wahyu Ambang Sulistyawan, Kepala Bagian Pemasaran Sabila Farm. Foto: Widi Erha Pradana.
Untuk meyakinkan pembeli baru, awalnya mereka justru aktif berkampanye dan melakukan edukasi terkait produk organik yang mereka hasilkan. Pelanggan akan dipersilakan mencicipi produknya, dan membandingkan sendiri dengan produk-produk yang biasa dijual di pasar.
ADVERTISEMENT
“Baru setelah itu dia tahu bedanya, kemudian menyebar dari mulut ke mulut. Makanya sampai sekarang kita belum aktif promosi di media sosial karena untuk memenuhi permintaan yang ada saja kita masih kekurangan,” ujarnya.
Sebagai wahana pengenalan, Sabila Farm juga menyediakan ruang publik di kebunnya. Selain sebagai tempat wisata, ruang itu juga dimanfaatkan sebagai media promosi. Mereka juga kerap mengikuti pameran-pameran buah internasional untuk mengenalkan produknya. Meski sampai sekarang, mereka belum menembus pasar ekspor karena untuk mencukupi permintaan pasar lokal saja mereka masih kewalahan.
Dengan kualitas yang dimiliki, Ambang tidak merisaukan hadirnya produk-produk impor dengan harga jauh lebih murah. Dengan jaminan yang mereka punya, mereka punya daya tawar untuk menentukan harga produknya sendiri, tidak bergantung pada harga pasar yang sering kali tidak memihak petani.
ADVERTISEMENT
“Ini membuktikan ya, bahwa produk organik yang berkelanjutan itu bisa kok bersaing meski secara harga jauh lebih mahal,” ujar Ambang menegaskan.
Menarik Anak Muda ke Sawah
CEO PT. Indmira, Aryo Wiryawan. Foto: Widi Erha Pradana.
Keberhasilan Sabila Farm menjual buah naga 45 kali lipat dari harga pasaran adalah contoh penting dari suksesnya seorang petani menghadapi harga pasar yang bergejolak. Dan itu hanya bisa berhasil karena pertaniannya dikelola dengan pendidikan dan wawasan luas seluruh pengelolanya. Dan ini sama sekali bukan hasil dari proses instan.
Dalam perspektif yang luas tentang pendidikan di dunia pertanian, pemenang berbagai penghargaan pertanian bahkan pendanaan teknologi pertanian level dunia, CEO PT Indmira, Aryo Wiryawan mengatakan, bahwa tidak pernah solusi instan untuk masalah pendidikan.
Aryo selama ini pun fokus pada upaya jangka panjang, yakni dengan edukasi kepada anak muda yang sering tidak memiliki latar belakang pertanian namun memiliki pengetahuan luas tentang rantai nilai sebuah bisnis. Dia mencoba menarik anak-anak muda yang sudah memiliki wawasan dan pendidikan cukup itu untuk mengenal dunia pertanian. Kader-kader inilah yang kemudian akan memengaruhi dan menggerakkan petani-petani lain, katakanlah setiap kelompok tani ada satu saja petani muda yang bisa dijadikan penggerak menurut Aryo pengaruhnya akan sangat signifikan.
ADVERTISEMENT
That’s easier. Saya ndak bisa bikin orang jadi pintar, tapi saya bisa ajak orang-orang yang sudah pintar untuk mengenal pertanian. Itu lebih rasional ketimbang saya memaksa petani untuk berwawasan luas dalam waktu yang singkat,” ujarnya. (Widi Erha Pradana / YK-1)