Bagaimana Seorang Chef ternyata Bisa Jadi Superhero Penyelamat Bumi?

Konten Media Partner
23 April 2021 16:16 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi chef. Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi chef. Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Dunia dimulai dari isi perutmu. Inilah arti penting Chef sebagai superhero penyelamat bumi. Ya, apa yang kita makan dan bagaimana pola makan kita ternyata memberikan dampak yang besar bagi Bumi kita. Sebab, limbah dari sisa makanan atau food waste, ternyata akan mengeluarkan gas metana, gas rumah kaca yang akan mempercepat pemanasan global.
ADVERTISEMENT
Chef yang juga pemilik NUSA Indonesia Gastronomy, sebuah restoran spesialis resep-resep asli Nusantara, Ragil Wibowo mengatakan bahwa kita harus tahu diri ketika makan. Pola makan terbaik menurutnya adalah yang seimbang dan tidak mubazir, sehingga tidak menghasilkan limbah sisa makanan yang sangat buruk untuk lingkungan.
“Makannya sudah terlalu banyak, pesannya banyak, apalagi kayak sekarang bulan Puasa, pesannya banyak, tapi ternyata enggak kuat buat menghabiskan,” kata Ragil Wibowo dalam peringatan Hari Bumi yang digelar secara daring oleh Delegasi Uni Eropa di Indonesia, Kamis (22/4).
Menurutnya, batas maksimal konsumsi manusia itu hanya 1 kilogram sampai 1,5 kilogram sekali makan. Itupun tidak semua orang memiliki kemampuan makan sebanyak itu. Dengan begitu, kita harus bisa makan dengan bijaksana, jangan sampai lapar mata semua ingin dimakan padahal daya tampung lambung tidak mencukupi.
ADVERTISEMENT
“Makan apapun enggak masalah, tapi jangan makan berlebihan, itu yang paling benar,” ujarnya.
Itu mengapa di sejumlah negara seperti Korea mulai melarang konten-konten Youtube yang berisi acara mukbang, yakni makan secara besar-besaran. Sebab, hal itu dinilai memicu tren makan berlebihan sehingga mengakibatkan limbah sisa makanan yang semakin besar.
“Makanlah dengan sangat bijaksana,” kata Ragil Wibowo.
Menggunakan Resep Leluhur
Ragil Wibowo. Foto: tangkapan layar webinar
Menurut Ragil, leluhur Nusantara sebenarnya telah memberikan contoh cara menjaga Bumi melalui resep-resep masakan yang diwariskan. Selain memiliki rasa yang nikmat, resep masakan leluhur 100 persen dibuat dengan bahan-bahan alami yang ramah lingkungan. Mulai dari bahan utama sampai bumbu-bumbu yang ada di dalamnya.
Namun saat ini banyak sekali resep-resep leluhur yang sudah hilang. Generasi penerus saat ini pun semakin banyak yang meninggalkan resep-resep tersebut. Hal ini disebabkan salah satunya karena budaya mencatat yang rendah, sehingga resep hanya diwariskan secara turun temurun. Ketika satu generasinya tidak suka memasak, maka otomatis resep itupun akan terputus.
ADVERTISEMENT
“Waktu kita cari resep-resep lama terutama yang asli Indonesia yang sudah berumur lebih 50 tahun, itu memang susah banget,” kata Ragil.
Alasan lain adalah bahan baku yang semakin sulit ditemui. Kelangkaan bahan baku ini sebenarnya sedikit demi sedikit bisa diatasi dengan adanya teknologi toko digital atau e-commerce. Menurut Ragil, hampir semua bahan baku asli Indonesia sudah mulai terdaftar di toko-toko digital tersebut.
“Karena semua e-commerce dituntut oleh pemerintah untuk membantu para petani supaya bisa menjual di platform mereka, dan itu menolong sekali,” ujarnya.
Kelangkaan bahan baku ini menurutnya merupakan indikasi bahwa semakin jarang orang yang menggunakannya. Karena itu, dengan melestarikan resep leluhur, maka sama saja membuat selalu ada yang melestarikan bahan-bahan ini karena masih dibutuhkan.
ADVERTISEMENT
Untuk melestarikan resep leluhur menurut Ragil tak perlu jauh-jauh, paling gampang tinggal meneruskan saja resep-resep yang sudah dimiliki keluarga. Sering-seringlah masak masakan keluarga untuk dinikmati bersama keluarga maupun teman-teman.
“Karena dengan begitu, kita juga membuat bahan-bahan yang biasa dipakai zaman dulu akan terus berkelanjutan sampai anak cucu kita,” ujarnya.
Resep asli leluhur menurut Ragil juga memberikan manfaat yang besar untuk kesehatan orang yang mengonsumsinya. Sebab, makanan adalah obat bagi orang-orang di tempat makanan itu berada. Itu mengapa zaman dulu tidak banyak penyakit yang aneh-aneh, karena menurut Ragil, semua yang dimakan berasal dari bahan-bahan yang ada di sekitar mereka.
“Bahan-bahan ini jangan sampai punah dari Bumi Indonesia, karena sebetulnya masakan Indonesia adalah obat bagi orang Indonesia,” kata Ragil.
ADVERTISEMENT
Pandemi Jadi Momentum untuk Transformasi Sistem Makanan
Henriette Faergemann. Foto: tangkapan layar webinar
First Counsellor-Environment, Climate Action & ICT dari Delegasi Uni Eropa di Indonesia, Henriette Faergemann, mengatakan bahwa dunia memang membutuhkan transformasi sistem makanan untuk menyelamatkan Bumi dari masalah-masalah perubahan iklim.
“Kita butuh keseimbangan yang baik antara alam, sistem makanan, dan biodiversitas,” kata Henriette.
Menurutnya, pandemi COVID-19 mestinya menjadi momentum terciptanya transformasi ini. Mestinya, dunia mampu bangkit dengan ekonomi ramah lingkungan, termasuk pada sistem makanan. Dengan sistem makanan yang memperhatikan faktor biodiversitas, ia yakin dunia di masa mendatang akan jauh lebih baik.
Misi transformasi itu juga tertuang dalam Green Deal milik Uni Eropa yang di dalamnya memuat cara supaya sistem makanan menjadi keberlanjutan untuk masa depan. Beberapa fokusnya di antaranya memastikan akses makanan sehat untuk semua orang, memproduksi dan mengonsumsi makanan yang berkelanjutan, mengurangi pemakaian pestisida dan antimikrobia.
ADVERTISEMENT
“Serta adanya standar global yang ambisius untuk produk pasar, mengurangi food loss dan food waste, dan juga mendukung cara pengemasan alternatif,” ujarnya.