Bermula dari Alquran, Air Hujan Disulap Jadi Pupuk dan Pestisida Alami

Konten dari Pengguna
20 Oktober 2019 7:56 WIB
comment
12
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dika Andi Purnomo menunjukkan jambu air di kebunnya. Foto dokumentasi pribadi Dika Andi.
Tiga tahun lalu, Dika Andi Purnomo, 38 tahun, seorang petani jambu madu di Turi, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) ditantang oleh Kamaludin, pendiri Komunitas Banyu Bening. Tantangannya terdengar menyeramkan, ‘menguak misteri yang terkandung di dalam air hujan.’
ADVERTISEMENT
Tantangan yang dengan mudah diterima Dika. Karena ia punya keresahan yang sama, disebabkan oleh relasi antara rumput liar dan air hujan.
“Waktu kemarau seperti sekarang, rumput-rumput di pinggir jalan itu mati semua. Tapi saat hujan turun pertama kali, dalam waktu yang tidak lama rumput-rumput itu sudah tumbuh subur. Hebat sekali air hujan,” kata Dika dalam sebuah acara bertajuk 'Sekolah Air Hujan' yang diadakan oleh Komunitas Banyu Bening, di Ngaglik, Sleman, Sabtu (19/10).
Apa sebenarnya yang terkandung dalam air hujan sehingga membuat rerumputan yang tadinya meranggas, mengering, mati, seketika tumbuh subur sesaat setelah diguyur air hujan. Dia meyakini, bahwa ada sesuatu yang luar biasa di dalam air hujan. Tapi apa?
ADVERTISEMENT
Pertanyaan itu terus berputar-putar di kepala Dika, berminggu-minggu. “Sampai Enggak bisa tidur,” katanya sembari tertawa kecil.
Ketimbang berpikir dan memikirkan saja, Dika mulai mencoba memberikan air hujan ke tanaman-tanamannya. Barangkali tanamannya akan sama seperti rerumputan yang langsung tumbuh subur setelah terguyur air hujan.
Dengan sedikit pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki dan berbekal referensi dari berbagai sumber, Dika dan sejumlah temannya yang juga seorang petani mulai ‘mengkaji’ dan memahami air hujan. Hingga dia menemukan sesuatu yang tadinya dianggap biasa, ternyata memiliki kemampuan luar biasa.
Disebabkan Alquran
Sekolah Air Hujan yang diadakan oleh Komunitas Banyu Bening di Ngaglik Sleman, pada Sabtu (19.10) dihadiri puluhan petani dari berbagai daerah. Foto dokumentasi komunitas.
“Dan Dia lah yang menurunkan air hujan dari langit, lalu Kami tumbuhkan dengan air itu segala macam-macam tumbuhan, maka Kami keluarkan dari tumbuhan-tumbuhan itu tanaman yang menghijau. Kami keluarkan tanaman yang menghijau itu butir yang banyak dan dari mayang kurma mengurai tangkai-tangkai yang menjulai dan kebun-kebun anggur dan Kami keluarkan pula zaitun dan delima yang serupa dan tidak serupa. Perhatikanlah buahnya di waktu pohonnya berbuah dan perhatikan pulalah kematangannya. Sesungguhnya pada demikian itu ada tanda-tanda kekuasaan Allah bagi orang-orang yang beriman” (QS. Al-An'am : 99).
ADVERTISEMENT
Satu ayat dalam kitab suci umat Islam itulah yang mulai membawa Dika pada perjalan berikutnya. Dika mendalami ayat-ayat lain tentang manfaat berbagai jenis elemen alam. Sampai dia menemukan ramuan yang kini dia beri nama: pupuk kalpataru.
Ramuan itu terdiri atas sejumlah bahan; lumut, bawang merah, kapur sirih, MSG atau penyedap rasa, garam gosrok, air kelapa muda, madu, dan tidak lupa air hujan.
“Suatu rahasia selalu tersembunyi dalam inti, pemahaman dan kajian segala sesuatu yang sudah tersurat dan tersirat membuat kita memahami apa yang terkandung di dalamnya,” kata Dika.
Proses Pembuatan Pupuk
Dika tak menyimpan sendiri rahasia ramuan pupuk dari air hujannya. Dia secara terbuka memberikan resep dan cara membuat pupuk dari air hujan. Secara cuma-cuma Dika mengajari teman-temannya bagaimana membuat pupuk dari air hujan. Tujuannya hanya satu, memberikan manfaat untuk banyak orang.
ADVERTISEMENT
Ketika Pandangan Jogja meminta resep pupuk air hujannya, dengan murah hati Dika memberikan resep lengkap sekaligus cara pembuatannya. Untuk membuat 50 liter pupuk cair dari air hujan, bahan utama yang dibutuhkan adalah lumut 3 kilogram. Lumut yang digunakan adalah lumut rambut yang biasa digunakan untuk memancing.
“Semakin tinggi dan dekat dengan sumber air, kualitas lumutnya akan semakin baik,” kata Dika.
Bahan selanjutnya, tiga buah kelapa muda untuk diambil airnya, satu ons madu, satu ons MSG, dan satu ons kapur sirih atau injet. Tambahan lainnya, garam gosrok satu ons, bawang merah satu ons, dan air hujan sebanyak 50 liter.
Membuatnya pun sangat mudah, sama sekali tak perlu teknologi tinggi. Pertama, lumut rambut dicincang-cincang sampai halus. Begitu juga dengan bawang merah, bisa dicincang, ditumbuk, atau diblender. Langkah selanjutnya, masukkan air kelapa muda, lumut, bawang merah, MSG, kapur sirih, dan madu ke dalam ember. Sebagai catatan, garam gosrok harus dimasukkan terakhir.
ADVERTISEMENT
“Karena garam merupakan komandan, begitu garam masuk dan diaduk akan terjadi proses, coba nanti diamati,” terang Dika.
Setelah semua bahan dicampur –kecuali air hujan- aduk semua bahan selama 30 menit berlawanan arah jarum jam. Arah pengadukan berlawanan jarum jam bukan tanpa alasan, sama seperti arah umat muslim ketika melakukan tawaf mengelilingi kabah ketika menunaikan ibadah haji atau umroh. Dika percaya, arah pengadukan sesuai dengan arah tawaf dapat memberikan energi positif, meski secara ilmiah dia belum bisa menjelaskannya.
Pengadukan melawan arah jarum jam juga dalam memanfaatkan energi alam semesta, yaitu rahasia thawaf,” kata Dika.
Langkah selanjutnya adalah menutup tidak terlalu rapat semua bahan itu dengan plastik lalu simpan selama 2 x 24 jam. Setelah itu, masukkan air hujan sebanyak 50 liter dan kembali mengaduknya berlawanan arah jarum jam selama 30 menit. Air hujan yang digunakan adalah yang belum dipisahkan antara asam dan basanya, dengan kata lain, air hujan yang benar-benar baru turun dari langit.
ADVERTISEMENT
Lanjutkan proses dengan penjemuran di bawah terik matahari langsung. Dika biasanya menggunakan galon air minum sebagai tempat bahan pupuk tersebut ketika menjemurnya. Namun, agar hasilnya lebih optimal, bisa gunakan bahan kaca bening supaya sinar matahari bisa masuk secara optimal.
Penjemuran bertujuan untuk menyerap energi matahari dalam proses pupuk. Ketika malam hari, jangan lupa tutup kembali wadah bahan pupuk,” kata pria yang sudah lima tahun bertani jambu air itu.
Proses penjemuran akan mendorong terjadinya pemecahan bahan-bahan tadi menjadi partikel-partikel yang sangat kecil, sehingga lebih mudah diserap oleh tanaman. Untuk mendapatkan hasil yang optimal, penjemuran dilakukan selama satu pekan hingga warnanya berubah menjadi kuning keemasan. Meski begitu, setelah dijemur selama tiga hari sebenarnya pupuk air hujan itu sudah bisa digunakan.
ADVERTISEMENT
Dari temuan itu, Dika berhasil memangkas biaya pupuk sangat signifikan. Sebelum menggunakan pupuk air hujan, Dika menggunakan pupuk dan pestisida kimia untuk aktivitas pertaniannya.
“Pupuk dan pestisida kimia selain tak ramah lingkungan, juga mahal. Kalau pupuk air hujan, untuk 50 liter (pupuk), biayanya hanya RP 35 ribu. Sangat murah dan nggak habis-habis,” tandas Dika.
Dika memaparkan, jika memakai pupuk kimia dengan pupuk NPK harganya Rp. 10 ribu per kg, dengan kebutuhan 2 kg per pekan sehingga dalam sebulan menghabiskan Rp. 80 ribu.
“Itu belum termasuk pestisida, fungisida, pupuk semprot, sehingga jika ditotal per bulan akan menghabiskan Rp. 300-400 ribu per bulan,” jelas Dika.
Harga pupuk kalpataru, juga jauh lebih murah jika dibandingkan pupuk-pupuk cair yang banyak dijual di pasaran yang harga per botolnya bisa mencapai ratusan ribu rupiah.
ADVERTISEMENT
Produktivitas Naik Signifikan
Sudah dua tahun terakhir Dika Andi Purnomo menggunakan pupuk air hujan racikannya untuk kebun jambu airnya yang seluas 1000 m 2 dengan jumlah pohon 99 buah. Hasilnya, selain mempercepat pertumbuhan dan perkembangan tanaman, hasil panennya juga meningkat secara kuantitas maupun kualitas.
“Dulu (waktu masih pakai pupuk kimia), satu kilo jambu panen saya isinya bisa sampai 9 buah. Sekarang sekilo paling 7 buah,” kata Dika.
Tidak hanya berdampak pada produktivitas buahnya, pohon-pohon jambu madunya juga terhindar dari hama seperti ulat, belalang, atau jamur. Daunnya berubah jadi lebih panjang, tebal, dan mengkilap. Aroma daunnya lebih kuat dan rasanya menjadi pedas, sehingga berbagai hama yang biasanya menyerang tak lagi suka memakan daun-daun jambunya. Jadi selain berfungsi sebagai pupuk alami, pupuk kalpataru racikan Dika sekaligus jadi pestisida alami.
ADVERTISEMENT
“Jadi sekarang sudah nggak pernah ke toko pertanian lagi,” ujarnya.
Mujarabnya pupuk air hujan buatan Dika tidak hanya dirasakan oleh dirinya sendiri. Seorang temannya yang juga petani di Bantul turut membuktikan keampuhan pupuk Kalpataru racikan Dika. Di Bantul, pupuk air hujan ini dicobakan ke tanaman kacang hijau. Hasilnya, daun kacang hijau jauh lebih lebat dibandingkan yang diberi pupuk kimia.
Dalam video yang ditampilkan Dika dalam sesi Sekolah Air Hujan akhir pekan ini, pemandangan sangat kontras terlihat pada lahan pertanian kacang hijau yang diberi pupuk air hujan dan yang diberi pupuk kimia. Di lahan pertama, dasar tanah tidak terlihat sama sekali karena lebatnya daun. Sedangkan di lahan yang diberi pupuk kimia, daunnya terlihat jarang-jarang, sehingga tanah antar pohon terlihat dengan jelas.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya itu, panen pada lahan dengan pupuk air hujan per biji kacang hijaunya lebih besar dan lebih panjang. Masa panennya juga lebih cepat hingga tiga sampai lima hari dibandingkan dengan menggunakan pupuk dan pestisida kimia.
Soal dosis, pupuk buatan Dika, diakui sangat aman dan ramah baik untuk tanaman yang dipupuk maupun lingkungan sekitarnya. Dari beberapa percobaan, tanaman yang diberi pupuk air hujan tetap tumbuh stabil meski dosis yang diberikan dinaikkan sampai tanpa campuran air sama sekali.
“Karena bahan-bahannya dari alam, proses pembuatannya juga menggunakan energi alam, maka diterima oleh alam. Kalaupun dosisnya berlebih, itu akan disimpan (oleh tumbuhan),” kata Dika.
Kini, melalui jejaring di media sosial, pupuk buatan Dika sudah menyebar tak hanya di Jawa, tapi juga Kalimantan, Sulawesi, dan Sumatera.
ADVERTISEMENT
“Bahkan sudah sampai Malaysia,” terang Dika.
Sepertinya, kampus pertanian yang ada di Jogja pun perlu segera mencoba dan menelitinya.
Sekolah Air Hujan Banyu Bening diresmikan oleh Wakil Bupati Sleman Sri Muslimatun pada 9 September lalu sekaligus mencatatkan diri sebagai sekolah informal pertama di Indonesia yang mempelajari seluk-beluk air hujan. (Widi Erha Pradana / YK-1)