Budaya Jajan di Luar Salah Satu Penyebab Utama Stunting Balita

Konten dari Pengguna
23 Juli 2020 19:40 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi: Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi: Istimewa
ADVERTISEMENT
Kekurangan gizi masih menjadi persoalan serius untuk anak-anak dan balita Indonesia. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan 2018, 30,8 persen balita Indonesia mengalami stunting, 17,7 persen mengalami kekurangan gizi atau underweight, serta 10,2 persen balita berstatus kurus atau wasting.
ADVERTISEMENT
Dekan Fakultas Pertanian UGM, Hendro Utomo mengatakan, yang lebih miris daerah-daerah penghasil pangan di Indonesia justru memiliki angka stunting yang relatif lebih tinggi ketimbang daerah lain.
Misalnya Cianjur dengan angka stunting mencapai 41,76 persen, Brebes 43,62 persen, Subang 40,47 persen, serta Grobogan sebesar 54,97 persen. Ada beberapa faktor penyebab masalah ini yang ditemui di lapangan kata Hendro, pertama adalah karena rasa menjadi prioritas utama setiap anak mau makan.
“Jadi anak-anak itu diberikan makanan yang mereka inginkan. Sekarang begitu banyak pilihan makanan di luar, sehingga rasa yang ada di lidah anak itu sekarang menjadi yang utama,” kata Hendro Utomo dalam seminar daring yang diadakan oleh Foodbank of Indonesia, Selasa (21/7).
Fenomena lain, di sejumlah daerah terutama di pedesaan, membeli makanan dari luar ternyata dianggap bisa meningkatkan status sosial ketimbang masak sendiri. Sementara di daerah perkotaan dan urban, persoalan utamanya adalah kesibukan orangtua sehingga tidak sempat menyiapkan makanan yang bergizi untuk anaknya.
ADVERTISEMENT
Selama revolusi industri, isu pangan juga menjadi salah satu hal utama yang dibicarakan, sayangnya semakin ke sini ternyata membawa dampak negatif yang semakin terasa. Jika sebelumnya produksi makanan bertujuan untuk mencukupi kebutuhan pangan manusia, semakin ke sini produksi pangan justru lebih condong ke gaya hidup. Hal itu menurut Hendro telah turut mengubah preferensi masyarakat terkait budaya konsumsinya.
“Jadi bukan lagi need (kebutuhan), tapi sudah want atau keinginan,” ujar Hendro yang juga menjadi .
Kendati demikian, semua permasalahan itu menurut Hendro bisa dihadapi asalkan ada kolaborasi yang solid dari semua pihak, yakni keluarga, lingkungan, dunia pendidikan, juga pemerintah.
“Yang menjadi persoalan, tantangan besar adalah soal perilaku dan cara berpikir,” ujarnya menegaskan.
ADVERTISEMENT
Sikap Asal Perut Terisi dan Anak Mau
Ada dua faktor utama yang menyebabkan permasalahan gizi balita di Indonesia, yakni faktor ekonomi dan faktor budaya konsumsi terkait dengan suka atau tidak suka terhadap makanan tertentu. Kesukaan dan ketidaksukaan terhadap makanan tertentu ini kemudian akan membentuk sebuah kebiasaan makan balita yang dapat berisiko terhadap kesehatan mereka.
Antropolog dari Departemen Antropologi UI, Dian Sulistiawati, mengatakan bahwa di dalam selera terdapat unsur rasa yang memunculkan reaksi emosional seperti kenikmatan atau ketidaksukaan.
“Ini terbentuk melalui proses sosialisasi, bagaimana kesukaan, ketidaksukaan kita terhadap makanan tertentu itu terbentuk melalui pengalaman dan lingkungan sosial tertentu,” ujar Dian Sulistiawati.
Ada dua pihak yang membentuk kebiasaan makan balita, yakni mereka yang bertanggung jawab terhadap makanan balita setiap hari serta anak-anak lainnya. Balita, kata Dian juga sangat mudah mengalami tidak nafsu makan, terutama jika makanan yang disajikan oleh orangtuanya itu-itu saja.
ADVERTISEMENT
Akibatnya, anak-anak akan mencari makanan yang berbeda dari yang biasa disediakan di rumah. Makanan yang paling banyak disukai anak adalah yang memiliki rasa manis atau gurih dengan warna-warni yang menonjol. Dimana untuk urusan kesehatan, makanan-makanan tersebut sangat berbahaya bagi kesehatan anak.
“Persoalannya kemudian, ada orangtua yang sebenarnya ingin melarang anak-anaknya jajan, tapi mereka tidak sanggup melakukannya, karena merasa kasihan,” ujarnya.
Karena kasihan dengan anaknya, orangtua biasanya membelikan apapun yang mereka minta. Selain itu, ketika kemauannya tidak dituruti, anak biasanya akan marah atau bahkan menangis. Biasanya, orangtua akan merasa malu ketika anaknya menangis dan mengganggu orang lain di sekitarnya. Karena itu, terpaksa mereka membelikan makanan tersebut meski tahu tidak baik untuk kesehatan anaknya.
ADVERTISEMENT
“Lalu muncul ucapan-ucapan daripada perut anak kosong, mendingan apa sajalah diisi. Daripada lapar, apa sajalah dimakan,” lanjutnya.
Karena banyak aspek yang terkait di dalam persoalan gizi balita, penyelesaian masalahnya pun harus dilakukan secara kontekstual dan holistik. Pengetahuan juga menjadi salah satu aspek penting dalam membentuk perilaku konsumsi di tengah masyarakat, meski tidak jarang pengetahuan tersebut sulit diimplementasikan karena berbagai faktor. Pemberdayaan keluarga kata Dian perlu diperkuat, sebab keluarga adalah salah satu subyek utama dalam pemberian gizi kepada balita.
“Program pembangunan benar-benar perlu mengedepankan partisipasi aktif dari subyek-subyek yang terlibat dan perlu sinergi dari berbagai pihak atau lintas sektor,” ujar Dian Sulistiawati.
Jawaban ASI
Sementara, Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Leny Nurhayanti Rosalin, mengatakan bahwa persoalan gizi ini sebenarnya bisa diminimalisir dengan cara optimalisasi pemberian air susu ibu (ASI) kepada balita.
ADVERTISEMENT
Sayangnya berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia pada 2017, persentase bayi baru lahir yang mendapatkan ASI eksklusif secara nasional hanya sebesar 65,16 persen. Masih di survei yang sama, hanya 9 dari 10 ibu di Indonesia yang pernah menyusui, dan hanya 51 persen yang memberikan ASI ekslusif kepada anaknya.
“Kita jarang mengaitkannya dengan ASI eksklusif. Padahal ASI itu gratis, the best nutritious food in the world, tidak tergantikan ya kayaknya,” kata Leny Nurhayanti Rosalin
Rata-rata masa pemberian ASI eksklusif juga hanya tiga bulan. Waktu ini jauh dari rata-rata lama pemberian ASI eksklusif di negara-negara maju yang sudah mencapai enam bulan. Leny mengatakan persoalan ini cukup kompleks, sebab kebanyakan ibu yang memberikan ASI hanya selama tiga bulan disebabkan karena kesempatan cuti melahirkan di Indonesia hanya selama tiga bulan.
ADVERTISEMENT
“Jadi ada regulasi yang harus dibenahi di sini. Ini berarti membutuhkan advokasi yang harus kenceng banget untuk bagaimana ibu-ibu kita semakin sadar memberikan ASI,” lanjutnya.
Dengan memberikan ASI eksklusif, maka pengeluaran untuk mencukupi nutrisi balita dalam keluarga bisa ditekan. Bahkan bisa dikatakan tidak ada biaya sama sekali karena ketika diberi ASI eksklusif maka bayi tidak diberi makanan lain selain ASI. (Widi Erha Pradana / YK-1)