Budi Daya Anggrek Asli Gunung Api Purba Nglanggeran sebagai Oleh-oleh Khas

Konten dari Pengguna
16 Oktober 2020 12:30 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi anggrek khas Kampung PItu. Foto: Widi Erha
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi anggrek khas Kampung PItu. Foto: Widi Erha
ADVERTISEMENT
Masyarakat Kampung Pitu di Gunung Api Purba Nglanggeran telah memulai budi daya anggrek asli sejak 2014 silam. Saat ini masyarakat ingin mempercepat proses budidaya sehingga dalam waktu dekat bisa menjadi oleh-oleh khas setempat yang bisa dibawa pulang wisatawan.
ADVERTISEMENT
Selasa (13/10) pekan ini, beberapa tanaman anggrek di rumah Sugito (45), di Kampung Pitu, Padukuhan Nglanggeran Wetan, Desa Nglanggeran, Patuk, Gunungkidul sedang berbunga. Ada yang hijau kekuningan, ada yang putih dengan kombinasi merah muda. Sementara sisanya, merupakan anakan anggrek yang memang belum saatnya berbunga.
Puluhan anakan anggrek itu digantung berjejer di sebuah bambu memanjang. Daun dan akarnya masih basah, setelah cukup lama diguyur hujan yang cukup deras semenjak azan zuhur usai berkumandang.
“Ini anggrek-anggrek asli dari Gunung Api Purba Langgeran yang coba kita budidayakan,” ujar Sugito yang justru lebih dikenal dengan nama Aan, sore itu.
Sugito adalah satu dari tujuh kepala keluarga yang tinggal di Kampung Pitu, kampung di lereng Gunung Api Purba yang dipercaya hanya bisa ditinggali oleh tujuh kepala keluarga.
ADVERTISEMENT
Sejak 2014, atas bimbingan sejumlah relawan dari Komunitas Belantara Indonesia, dia mulai menginventaris dan membudidayakan anggrek-anggrek asli Gunung Api Purba. Sampai sekarang, sudah ada 19 spesies anggrek asli Gunung Api Purba yang berhasil diidentifikasi.
Tapi kemungkinan besar, masih ada anggrek yang belum berhasil diidentifikasi, terutama jenis anggrek tanah, Pasalnya, anggrek tanah baru akan muncul saat musi penghujan. Sedangkan di musim kemarau, anggrek-anggrek tanah ini seperti mati, namun sebenarnya akarnya masih hidup di dalam tanah.
“Jadi agak susah dicari, karena baru kelihatan ketika musim hujan,” ujarnya.
Populasi di Habitat Makin Menipis
Ilustrasi anggrek khas Kampung PItu. Foto: Widi Erha
Sujono Ragil Sentono (39) sejak 1996-an mulai menjelajahi kawasan Gunung Api Purba. Dulu, menurutnya masih banyak dijumpai tanaman anggrek di kawasan Gunung Api Purba. Namun semakin ke sini, populasinya terus menurun.
ADVERTISEMENT
“Mungkin sudah 50 persen-an hilang,” ujar Ragil.
Sebelum kawasan pegunungan karst ini dijadikan sebagai ekowisata, dia pernah menemukan anggrek yang berbunga merah mirip Dendrobium, namun beberapa waktu kemudian dia mendatangi lagi sudah tidak ada.
Sebelum dijadikan ekowisata, setiap orang yang datang memang bebas mengambil anggrek-anggrek di Gunung Api Purba dan dibawa pulang. Melihat populasi anggrek asli yang terus berkurang, Ragil yang dulu merupakan Kepala Divisi Konservasi di Belantara Indonesia, kemudian menginisiasi konservasi anggrek secara eksitu pada 2014.
“Dulu awalnya hanya sekitar tujuh spesies. Terus kita coba eksplorasi lagi dari ujung barat sampai Kampung Pitu. Sampai sekarang yang sudah teridentifikasi ada 19 spesies,” lanjutnya.
Beberapa spesies anggrek yang paling banyak ditemukan di antaranya Coelogyne trinervis, Dendrobium crumenatum, Dendrobium Sp. 1, Geodorum densiflorum, Luisia zollingeri, Polidota imbricata, Polystachya concreta. Ada juga Dendrobium Sp. 2, Eria retusa, Liparis odorata, Malaxis Sp.1, Malaxis Sp. 2, serta Pecteilis susannae.
ADVERTISEMENT
Ragil juga sempat menemukan eria javanica yang menurutnya sudah cukup langka. Karena makin langka, kemudian dia ambil untuk diperbanyak dulu dan kemudian baru ditanam lagi di habitat aslinya.
“Alhamdulillah kemarin sudah hidup, nanti rencana saya bawa ke sini untuk kita perbanyak lagi,” ujarnya.
Upaya budidaya ini menurutnya sangat penting dilakukan untuk memastikan anggrek-anggrek tersebut tidak punah. Dengan melakukan konservasi eksitu, mereka akan lebih mudah memantau perkembangan tanaman anggrek. Sementara jika melakukannya di habitat asli, diperlukan usaha dan tenaga yang lebih besar untuk memastikan anggrek tersebut tidak mati atau hilang.
Kesulitan Air dan Sumber Daya Manusia
Sujono Ragil Sentono (39) sejak 1996-an mulai menjelajahi kawasan Gunung Api Purba. Foto: Widi Erha Pradana.
Saat ini, budidaya yang dilakukan masih menggunakan metode split. Ragil sempat berpikir untuk memperbanyak anggrek menggunakan metode kultur jaringan, tetapi karena keterbatasan fasilitas laboratorium dan sumber daya manusia, metode itu belum bisa direalisasikan.
ADVERTISEMENT
Penggunaan metode split pun bukan tanpa masalah. Sulitnya mendapatkan air, terutama ketika musim kemarau, membuat Ragil berpikir ulang untuk langsung membuat persemaian dengan skala besar.
Selain itu, Ragil juga masih kesulitan merekayasa lokasi konservasi eksitu menjadi semirip mungkin dengan habitat asli anggrek. Pasalnya, saat ini mereka hanya menggunakan tempat seadanya di halaman rumah Sugito.
“Karena belum ada greenhouse-nya, jadi masih apa adanya lah. Yang penting sekarang kita fokus pendataan dulu,” ujarnya.
Sumber daya manusia yang terbatas juga membuat perkembangan konservasi anggrek di Kampung Pitu kurang optimal. Pasalnya, saat ini hanya Ragil dan Sugito saja yang benar-benar ikut berkontribusi dalam upaya konservasi ini. Itupun mereka belum bisa benar-benar fokus karena masih banyak kesibukan lain yang harus dikerjakan.
ADVERTISEMENT
Sugito juga mengeluhkan masalah yang sama: kesulitan air. Ini membuatnya berpikir berulang kali ketika akan mengambil anggrek dari habitat aslinya untuk dibudidayakan. Apalagi ada beberapa jenis anggrek yang membutuhkan konsumsi air yang banyak.
“Seperti anggrek-anggrek tanah itu kan butuh air yang banyak. Takutnya kalau kita ambil, sedangkan air kita kurang, nanti malah di sini mati,” ujar Sugito.
Potensi Besar untuk Ketahanan Ekonomi Lokal
Sugito, warga Kampung Pitu. Foto: Widi Erha Pradana.
Selain untuk keperluan penelitian, anggrek menurut Ragil menyimpan potensi ekonomi yang sangat besar. Yang paling memungkinkan saat ini adalah menjualnya sebagai tanaman hias. Harga tanaman anggrek yang cukup tinggi menurutnya bisa membantu meningkatkan perekonomian masyarakat setempat.
“Apalagi Kampung Pitu ini kan lokasi wisata, banyak wisatawan datang, dan anggrek asli sini bisa jadi oleh-oleh khas dari Langgeran,” ujar Ragil.
ADVERTISEMENT
Selain anggrek-anggrek asli dari Gunung Api Purba, ke depan Ragil juga berencana untuk anggrek dari daerah luar supaya bisa lebih menarik wisatawan. Untuk saat ini, mereka memang belum menjual anggrek-anggrek hasil budidaya mereka di Kampung Pitu. Biasanya, jika ada pendatang yang ingin membawa pulang anggrek dari Kampung Pitu, Ragil dan Sugito akan meminta untuk barter koleksi anggrek yang mereka belum punya di persemaian.
Selain sebagai tanaman hias, anggrek juga punya potensi sebagai bahan obat dan minyak wangi. Potensi ini menurut Ragil mestinya bisa dioptimalkan, terlebih Indonesia punya sekitar lima ribu jenis anggrek. Tentunya, pemanfaatannya juga harus selaras dengan upaya konservasi yang dilakukan.
“Gunanya konservasi apa kalau tidak bisa meningkatkan ekonomi? Harus sejalan keduanya. Selama ini lingkungan rusak karena ekonomi, sekarang kita coba balik, dalam konsep konservasi kan penyelamatan dulu, nanti ekonomi akan ngikut,” kata Ragil. (Widi Erha Pradana / YK-1)
ADVERTISEMENT