Butuh Pasokan Air dan Pupuk Bersubsidi untuk Tingkatkan Kualitas Panen Tembakau

Konten dari Pengguna
13 Agustus 2020 15:00 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Puji Hardono, seorang petani Selopamioro Bantul sedang mengurus tembakau yang sebulan lagi siap dipanen. Foto: Widi Erha Pradana.
zoom-in-whitePerbesar
Puji Hardono, seorang petani Selopamioro Bantul sedang mengurus tembakau yang sebulan lagi siap dipanen. Foto: Widi Erha Pradana.
ADVERTISEMENT
Hujan yang beberapa hari ini menyiram panasnya Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) tentu saja sangat disyukuri oleh para petani. Pasalnya, akhir pekan lalu, petani tembakau di Padukuhan Karangdadap II, Desa Selopamioro, Imogiri, Bantul, baru saja mengeluhkan kemarau tahun ini.
ADVERTISEMENT
Di tengah sawah yang sedang panas-panasnya, siang itu, seorang petani lanjut usia sedang sibuk menyirami pohon-pohon tembakau yang sudah berusia sekitar tiga bulan menggunakan selang. Ukuran pohon-pohon tembakaunya tampak berbeda satu sama lain, ada yang pendek namun ada yang sudah menjulang tinggi. Ada yang tumbuh subur dan hijau, tapi sebagian ada yang tampak kurus-kurus.
“Airnya agak susah soalnya sekarang mas,” kata petani bernama Puji Hardono itu berbahasa Jawa, Sabtu (8/8).
Di tengah musim kemarau ini, Puji hanya mengandalkan sebuah sumur yang tidak terlalu dalam. Sumber airnya bukan dari mata air, melainkan dari sungai kecil di sekitar ladang. Itupun penggunaannya masih harus bergiliran dengan petani lain, sehingga penyiraman tidak bisa dilakukan setiap hari.
ADVERTISEMENT
Padahal idealnya tembakau disiram sedikitnya dua hari sekali. Namun dengan situasi air yang terbatas, penyiraman hanya bisa dilakukan empat sampai lima hari sekali. Akibatnya, pertumbuhan tembakau menjadi lambat dan kurang maksimal.
“Ada juga sumur bor, tapi jaraknya agak jauh. Giliran juga sama yang lain, jadi sama saja,” lanjutnya.
Padahal, tembakau siluk, merujuk pada nama dukuh di Selopamioro, merupakan salah satu tembakau terbaik yang dihasilkan dari tanah Yogyakarta. Tembakau ini juga jadi kebanggaan masyarakat Selopamioro. Harga jual saat ini juga lumayan tinggi, jika dikelola secara optimal, tembakau siluk rajang yang sudah kering dengan kualitas terbaik harganya bisa mencapai Rp 100 ribu per kilogram, bahkan lebih.
“Tapi karena kurang air biasanya paling Rp 60 ribu, Rp 70 ribu. Paling bagus Rp 80 ribu lah,” ujar Puji.
ADVERTISEMENT
Langkanya Pupuk Bersubsidi
Surawan, 45 tahun, petani tembakau Selopamioro mengeluhkan kekurangan air. Foto: Widi Erha.
Surawan, 45 tahun, petani tembakau lain juga mengeluhkan hal yang sama, yakni kekurangan air. Apalagi usia tembakaunya belum genap sebulan, karena sebelumnya lahan miliknya ditanami bawang merah.
Sama dengan Puji, Surawan juga mengandalkan genangan air yang kemudian dia buat sumur sedalam dua meter. Padahal tanaman tembakau semuda itu masih sangat sensitif, terutama soal pengairan dan pemupukan.
“Kalau sudah besar-besar itu disiram seminggu sekali masih kuat,” ujar Surawan.
Bukan hanya masalah air, pupuk bersubsidi yang sudah beberapa bulan terakhir tidak turun mesin membuatnya pening. Akibatnya Surawan harus mengurangi jatah pupuk karena harus membeli pupuk dengan harga nonsubsidi.
“Selisihnya lumayan, bisa tiga kali lipat. Saya tadi beli ZA 5 kilogram Rp 20 ribu, yang TS Rp 15 ribu 5 kilogram. Kalau subsidi itu paling Rp1.500 sampai Rp Rp 2 ribu per kilogram,” lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Padahal supaya bisa tumbuh maksimal dan menghasilkan tembakau siluk dengan kualitas terbaik, sedikitnya pemupukan dilakukan tiga kali sejak tanam sampai panen. Beruntung tembakau bisa dikatakan lebih tahan terhadap situasi ekstrim ketimbang tanaman lain seperti bawang merah.
“Ya walaupun hasilnya juga pasti kurang maksimal. Kalau tumbuh sih tumbuh, tapi kualitasnya kan sangat mudah terpengaruh oleh cara perawatan,” ujar Surawan.
Masalah kelangkaan air dan pupuk juga diamini oleh Keman Rimanto, Ketua Kelompok Tani Kalidadap II. Intensitas hujan pada tahun ini menurutnya lebih kecil dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, sehingga tendon dan sumur-sumur resapan yang ada tidak terisi maksimal.
“Jadi kemarin enggak maksimal hujannya, enggak ada yang dua hari dua malam hujan. Memang agak kurang dibandingkan musim hujan yang dulu-dulu,” ujar Keman.
ADVERTISEMENT
Pupuk bersubsidi yang langka juga menjadi masalah serius bagi petani. Tanpa pupuk, tanaman yang ditanam tidak akan tumbuh maksimal. Meski ada pupuk kandang dari kotoran sapi yang dipelihara nyaris di setiap rumah, tapi itu masih jauh dari kata cukup.
“Untuk mempercepat pertumbuhan kan juga butuh pupuk pabrikan,” lanjutnya. (Widi Erha Pradana / YK-1)