Calon Guru Seni Rupa dari 14 Kampus di Indonesia Resahkan Masa Depan

Konten dari Pengguna
18 Januari 2020 12:46 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Karya seni calon guru seni rupa dan kriya yang dipamerkan di Dendang Calon Guru di Taman Budaya Yogyakarta Jum'at (18/1). Foto : Widi Erha
zoom-in-whitePerbesar
Karya seni calon guru seni rupa dan kriya yang dipamerkan di Dendang Calon Guru di Taman Budaya Yogyakarta Jum'at (18/1). Foto : Widi Erha
ADVERTISEMENT
Ratusan calon guru seni rupa dan kriya dari 14 kampus di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menggelar event bertajuk,”Dendang Calon Guru,” di Taman Budaya Yogyakarta mulai Jum’at (17/1) malam hingga Minggu (19/1).
ADVERTISEMENT
Ke-14 kampus tersebut adalah UNY (Universitas Negeri Yogyakarta), UST (Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa), ISI (Institut Seni Indonesia) Jogja, ISI Surakarta, UNS (Universitas Sebelas Maret), UNNES (Universitas Negeri Semarang), Universitas PGRI Adi Buana Surabaya, UB (Universitas Brawijaya) Malang, Undiksa (Universitas Pendidikan Ganesha) Bali, UM (Universitas Merdeka) Malang, UPI (Universitas Pendidikan Indonesia) Bandung, UNP (Universitas Negeri Padang), IKJ (Institute Kesenian Jakarta), dan Unesa (Universitas Negeri Surabaya).
Niko Wiranata, ketua Himpunan Mahasiswa Pendidikan Seni Rupa dan Kriya UNY mengatakan bahwa acara ini dibuat untuk melepaskan ketakutan mereka paska lulus kuliah.
“Guru seni rupa itu kayak dipandang sebelah mata, ketimbang guru-guru lain seperti matematika, sains, bahasa Inggris. Guru seni rupa itu selalu dikesampingkan. Acara ini dibikin biar nggak spaneng (tegang atau stres),” ujar Niko sebelum pembukaan pameran.
ADVERTISEMENT
Kesadaran masyarakat tentang pentingnya seni bagi anak, menurut Niko, masih sangat kurang. Seni dipandang bukan bidang yang penting dan perlu dipelajari. Lain dengan pelajaran-pelajaran eksak yang selalu dianggap penting dan menjadi standar kecerdasan setiap siswa.
“Padahal seni itu sangat penting terutama untuk mengolah perasaan anak-anak. Apalagi sekarang eranya industri kreatif, Pak Nadiem Makarim kan harusnya faham benar,” lanjutnya.
Niko Wiranata, ketua Himpunan Mahasiswa Pendidikan Seni Rupa dan Kriya UNY. Foto : Widi Erha
Kurangnya perhatian terhadap seni di dunia pendidikan juga terlihat dari minimnya sarana belajar seni di sekolah. Sekarang sangat sedikit sekolah-sekolah yang punya sanggar kesenian yang bisa digunakan untuk pembelajaran intra maupun ekstrakuriuler.
“Di Jogja saja yang nuansa budayanya ketat masih kurang perhatian, apa lagi di daerah lain?” kata Niko menyayangkan.
Mahasiswa pendidikan seni rupa dan kriya UNY, Gumirlang Mukti Bagasa, yang merupakan ketua panitia penyelenggaraan DCG mengatakan saat ini kegiatan-kegiatan seni masih kerap mendapat stigma negatif, termasuk di dunia pendidikan.
ADVERTISEMENT
Acara-acara kesenian kerap dipandang menjadi sumber kerusuhan dan berisi anak-anak bandel. Karena stigma itu pendidikan seni menjadi kurang mendapat perhatian yang cukup di sekolah.
“Karena minimnya informasi yang jelas dan luas bahwa seni itu merupakan sarana berekspresi,” ujar Gumirlang.
Sebenarnya ada banyak jalan yang bisa ditempuh setelah lulus dari jurusan pendidikan seni rupa dan kriya, tak melulu harus jadi guru. Meski kuliah di jurusan Pendidikan Seni Rupa dan Kriya yang setelah lulus nanti akan menyandang gelar sarjana pendidikan, Gumirlang justru lebih tertarik menjadi seorang kurator seni.
Butuh Ruang Lebih Luas
Salah satu karya yang dipamerkan di Dendang Calon Guru di TBY Jum'at (17/1) hingga Minggu (19/1). Foto : Widi Erha
“Kadang berpikir, ngapain sih kuliah pendidikan seni rupa, jelas-jelas masalahnya begini. Tapi kebanyakan teman-teman justru menjadikannya sebagai tantangan,” ujar Niko.
ADVERTISEMENT
Niko mengharapkan adanya ruang yang lebih luas agar guru bisa lebih leluasa mengajarkan kesenian kepada siswanya. Porsi kesenian di kurikulum, menurutnya perlu ditambah sehingga mata pelajaran seni tak lagi dipandang sebelah mata.
“Perlu juga ruang seperti sanggar yang khusus digunakan anak-anak untuk belajar seni di situ,” lanjutnya.
Ruang kebebasan untuk memanifestasikan rasa dan pikiran menjadi sebuah karya seni juga sangat dibatasi. Sebuah karya seni yang indah, kata Gumirlang, adalah yang diciptakan melalui ekspresi seniman itu sendiri bukan karena perintah.
Mahasiswa pendidikan seni rupa dan kriya UNY, Gumirlang Mukti Bagasa. Foto : Widi Erha
“Kalau di sekolah kan guru memerintah siswa untuk membuat apa, karena ada kurikulum tadi. Jadi siswa kurang bisa mengeksplor potensi di dalam dirinya. Harusnya mungkin kurikulumnya dibuat lebih luwes, tidak saklek,” kata Gumirlang.
ADVERTISEMENT
Even Dendang Calon Guru terdiri dari berbagai acara, seperti pameran seni rupa dan kriya yaitu Meruak Nyata, ada acara musik, ada workshop, dan artist talk.
Persoalan-persoalan yang ada di hadapan para calon guru seni rupa dan kriya ini memang tak bisa selesai hanya dengan mereka berdendang dan menggelar pameran.
“Tapi setidaknya bisa sejenak melupakan problem itu, nggak sepaneng terus mikirin masa depan. Semoga Pak Nadiem mendengar suara kami ya mas,” ujar Gumirlang. (Widi Erha Pradana / YK-1)