Catatan Perjalanan Rabindranath Tagore ke Borobudur

Konten dari Pengguna
14 Februari 2020 15:52 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Candi Borobudur. Foto : Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Candi Borobudur. Foto : Pixabay
ADVERTISEMENT
Rabindranath Tagore memperoleh hadiah Nobel Sastra pada tahun 1913 tepat saat Ki Hadjar Dewantara dibuang ke Belanda karena menulis ‘Als ik een Nederlander was' (Andai Aku Seorang Belanda). Seperti halnya Pramudya Ananta Toer yang terlihat pada Tetralogi Pulau Buru, Tagore seorang pemikir Timur yang sangat memuja sinar terang pengetahuan Barat.
ADVERTISEMENT
Namun, pemujaan Pram dan Tagore atas pengetahuan Barat tak pernah membuat mereka kehilangan seluruh dirinya. Dengan artikulasi dan intensi yang berbeda, keduanya melakukan tawar menawar dengan diri yang penuh harga dan percaya.
Tagore, dalam ‘berkah’ jajahan Inggris memiliki akses yang luas dengan seantero Eropa bahkan dunia. Ia menggunakan banyak hidupnya untuk keliling dunia, melihat kenyataan langsung eksperimentasi ekspansi pengetahuan Barat. Salah satu perjalanannya yang terpenting, tersimpan dalam bundel ‘Letters From Java: Rabindranath Tagore’s Tour of South East-Asia 1927’.
Pada 23 September 1926, Tagore menghabiskan pagi harinya di beranda pesanggrahan Borobudur dan menulis sebuah puisi tentangnya (karenanya patung Tagore kini ada di depan Hotel Manohara Center of Borobudur Study). Esok harinya, Ia ke Bandung dan hari kedua di sana, 27 September petang, datang menemuinya tiga orang pemuda, salah seorang diantaranya Soekarno, yang kemudian hari menjadi Proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia.
ADVERTISEMENT
Bertolak dari Kalkuta pada 12 Juli 1927, Tagore menyambangi hampir seluruh Asia Tenggara. Memasuki perairan Indonesia pada 17 Agustus melalui Sumatera dan sampai di Jakarta 21 Agustus dan terus ke Bali, Surabaya, Surakarta, Jogja, Bandung, dan bertolak pulang dari Jakarta pada 30 September 1927.
Peringatan 90 tahun perjalanan Tagore diadakan di Pendapa Tamansiswa dan Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa pada 15-16 September 2017 lalu. Presiden Tamansiswa, Sri Edi Swasono dan perwakilan pemerintahan India, Ramesh Pokhariyal Nishank menjadi dua pembicara kunci. Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid, pakar Tagore dan Ki Hadjar Dewantara dari Indonesia dan India bertukar pikiran dalam forum yang mengambil tema “Ideas of Tagore and Dewantara on Education, Culture and Nationalism” itu.
ADVERTISEMENT
Ya, Tagore dan Dewantara bertemu pada 21 September 1927; kunjungan ke Tamansiswa, sebuah sekolah yang sehaluan dengan sekolah yang didirikan Tagore: Santiniketan. Seorang sumber Tamansiswa mengatakan, pada periode mendekati Perang Dunia 2 di Eropa, tokoh pendidikan Italia, Maria Montesorry pun hendak berkunjung ke Tamansiswa namun perang antara Italia-Jerman VS Inggris dan Perancis, membuatnya musti pulang kembali meski perjalanannya sudah sampai India.
Rabindranath Tagore. Foto : Wikimedia Commons
Artikel ini tak ingin menambah daftar percakapan tentang pendidikan dan nasionalisme atau bagaimana meningkatkan hubungan kerjasama Indonesia – India. Dengan susunan yang tak berurutan, artikel ini membagi kutipan pendek dari ‘Surat-Surat Dari Jawa’ hasil terjemahan Martin Suryajaya yang diterbitkan Direktorat Sejarah Kemendikbud dan dibagikan gratis pada acara peringatan 90 Tahun Tagore di Tamansiswa.
ADVERTISEMENT
Surat 15 ( 26 September 1927)
Pahatan pada patung Borobudur sangat luar biasa. Kekuatan kebaikan terlihat memperoleh kemenangan-kemenangan kecil, termasuk bagi makhluk paling rendah hingga akhirnya mencapai kemenangan tertinggi dalam pengorbanan dirinya untuk Cinta Kasih. Kekuatan Cinta Kasih yang Tak Terbatas pelan-pelan melepaskan simpul-simpul yang mengikatnya sehingga kehidupan dapat melangkah maju menuju kebebasan. Hewan tidak memiliki kebebasan karena ia mementingkan diri sendiri. Roh berevolusi mengurangi tekanan mementingkan diri sendiri.
Tapi dalam bentuk Borobudur keseluruhan, saya tidak merasa terkesan. Debu yang ditimbun oleh waktu memadamkan semangat dan daya ungkapnya. Visi, dimana karya seni manusia ini bergantung untuk mengekspresikan dirinya, telah hilang ditelan waktu!.
Surat 11 (17 September 1927)
Tagore iri pada wayang kulit dan tari Jawa yang dipentaskan untuknya di Keraton Solo.
ADVERTISEMENT
Tagore berkata dalam suratnya, “andai saja kita dapat memberikan pelajaran sejarah kita seperti itu, dengan guru mengisahkan ceritanya, boneka marionette memberikan penggambaran visual atas kejadian-kejadian dan iringan musik menyuarakan emosi dengan beragam nada dan waktu!
Seperti wayang, tarian mereka juga tidak dimaksudkan sebagai tontonan keindahan gerak tapi sebagai bahasa mereka – bahasa sejarah dan kronik-kronik mereka. Gamelan mereka juga merupakan tarian nada.
Surat 12 (17 September 1927)
Kisah Ramayana dan Mahabharata masuk ke dalam kehidupan masyarakat Jawa dalam bentuk yang masih hidup. Karena hidup, versi lokal dari kisah ini bukan hanya merupakan replika dari sastra kuno melainkan berkembang menjadi bentuk baru, dalam perjalannya setelah berpapasan dengan ide-ide dan imajinasi masyarakat lokal sendiri. Tokoh-tokoh India dalam epos-epos itu masih mendiami tanah ini dalam wujud semangatnya.
ADVERTISEMENT
Surat 11 (17 September 1927)
Kita telah membaca dalam buku pelajaran ilmu alam bagaimana ketika flora dan fauna bermigrasi ke tanah yang lebih subur mereka berbiak dan menyebar dengan lebih beragam daripada dalam habitat asli mereka.
Ketika pertautan mendalam antar pemikiran itu terjadi, hal itu terdorong untuk mencerminkan diri dalam perwujudan artistik, suatu ekspresi yang menemukan kebahagiaan tertingginya dalam pahatan Borobudur.
Kepulauan ini disebut sebagai Hindia Belanda padahal kepulaun ini sesunggunya adalah Indianya Vyasa.
Surat 13 (19 September 1927)
Ada banyak cerita di Jawa yang menjadi bagian Ramayana atau Mahabharata tapi tidak kita temukan di edisi Sanskerta di Bengal. Kita perlu penelitian beragam versi, membandingkan aneka ragam kisah epic ini.
ADVERTISEMENT
Tapi sepertinya kita sedang menunggu seorang Jerman untuk melakukan pekerjaan ini dan kemudian mendapatkan pernghormatan akademis dengan mendukung sebagaian hasil penelitiannya dan menolak sebagian hasil lainnya.
Surat 17 (1 Oktober 1927)
Saya terkesima ketika melihat semua ini dan menyadari betapa menyeluruhnya orang-orang dari Barat ini mengeksploitasi bumi. Belum lama sejak mereka dalam kelompoknya masing-masing, mulai berlayar dengan kapal-kapal layar mereka menuju samudera yang tidak dikenal. Sejarah upaya mereka ini dipenuhi banyak kesulitan dan bahaya. Dan hari ini betapa mendalamnya semua itu telah dipelajari dan dimiliki.
Kita dari Timur harus mengakui kekalahan dari mereka. Mengapa?. Terutama karena kita statis dan mereka dinamis. Dalam berbagai hal, kita masih terikat kepada tatanan sosial, sedangkan mereka terus bergerak dengan kebebasan individunya. Demikianlah bagaimana hidup berkelana menjadi mudah bagi mereka. Mereka juga telah mengumpulkan pengetahuan dan barang dari hasil pengembaraannya. Alasan yang sama yang membuat keinginan mereka untuk mengetahui dan memiliki menjadi lebih tajam.
ADVERTISEMENT
Kekuatan yang memampukan orang Belanda menjadikan pulau-pulau ini miliknya dengan berbagai cara, juga mendorong mereka untuk menguasai peninggalan sejarah pulau-pulau ini dengan upaya yang sama disiplin dan telitinya, meskipun semua itu sama sekali asing bagi mereka. Keingintahuan mereka tak terbatas.
Begitulah mereka memenangkan dunia, baik dari luar maupun dalam, bukan hanya melalui kekuatan senjata tapi juga melalui kekuatan keinginan intelektualnya. Kita tersandera oleh beban hidup rumah tangga dan beban kegiatan sosial. Kita tidak memiliki tenaga lagi untuk melangkah maju sedikitpun.
Dan para pemimpin kita meminta kita menengok ke belakang, ke masa lalu kebudayaan kita yang merupakan keabadian. Lupa bahwa keabadian itu awalnya bertumpu pada kinerja dalam menjalankan segala kewajiban dalam rumah tangga dan bukan pada penolakan atas kewajiban. Kita dapat menghancurkan system sosial kita dan mungkin mempelajari ilmu pengetahuan alam dari Barat, tapi apakah kita dapat mengadopsi system sosialnya?
ADVERTISEMENT
Surat 18 (2 Oktober 1927 – di atas Kapal Mijer dalam perjalan pulang)
Waktu dalam perjalanan ini seperti sesuatu yang eskpansif daripada sesuatu yang memuaskan. Pikiran saya tidak puas dengan foto yang buram, ia menginginkan lukisan.
Surat 1 (17 Juli 1927 - di atas Kapal Amboise dalam perjalanan menuju ke Jawa)
Mengawali Perjalanan, awan yang menyelubung terangkat dari langit dan matahari menyambut. Setiap saat saya merasa hanya dapat menanggapi dengan manusiawi segala kelimpahan dalam hidup yang muncul seperti suatu wabah kemegahan dalam alam yang terus berubah dan tak kunjung hilang. Apakah kita tidak merasa terdorong untuk mempertemukan kelimpahan ini dengan kelimpahan ritme kita sendiri melalui warna, bentuk, suara dan gerak – yang manfaatnya sering dipertanyakan oleh mereka yang berpikir praktis.
ADVERTISEMENT
Karena mereka selalui melupakan satu hal: bahwa dalam upaya untuk meraih sesuatu yang berlebihan itulah akan didapatkan sesuatu yang dibutuhkan. Itulah yang dikatakan bumi yang dibangkitkan hujan. Dalam perdagangan kehidupan, keuntunganlah yang menjadi tujuan. Keuntungan menjadi surplus kehidupan. Kebahagiaan berada dalam kekuatan cadangan.
Pada masa sekarang akumulasi keuntungan dalam kehidupan hanya dialami orang Eropa. Hewan hanya bertahan hidup, keberadaannya tidak menjadi cahaya bagi sekitarnya. Sementara manusia tidak hanya berusaha bertahan hidup, ia harus mengekspresikan dirinya. Dan untuk berekspresi, jiwanya harus disinari cahaya yang datang dari surplus. Eropa memancarkan cahaya karena segala kelebihan dalam hidupnya jauh melampaui eksistensi belaka.
Salah satu bahan presentasi relasi Taman Siswa dan Santiniketan Peringatan 90 tahun perjalanan Tagore diadakan di Pendapa Tamansiswa dan Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa pada 15-16 September 2017 lalu.
Saya tidak mengatakan semua ini untuk mengeluh. Manusia musti menjelaskan untuk kapanpun dan di manapun.
ADVERTISEMENT
Eropa membangunkan manusia yang tidur. Dan kelimpahan memberi mereka kekuatan untuk mendominasi. Ilmu pengetahuan Eropa memberi kemenangan tak terbatas. Eropa menjadikan dunia sebagai dunia untuk manusia. Kita akan kewalahan jika melihat semua upaya dahsyat yang dilakukannya untuk mengapus hambatan-hambatan manusia.
Tapi meski ekspresi diri Eropa tak terbatas, ekspresi yang dapat dibanggakan oleh seluruh dunia, ada sisi lain dimana jiwanya menyempit dan kelam. Ilmu pengetahuan Eropa membuka jalan bagi manusia untuk masuk ke alam semesta yang ada di luar. Namun Eropa yang sama pula memiliki kekurangan dalam aspek kebuntuan mereka. Pada alam semesta yang ada di dalam manusia Eropa menjadi bahaya bagi manusia di seluruh dunia dan di sini juga membahayakan diri sendiri.
ADVERTISEMENT
Kemampuan manusia untuk membangun surga bagi dirinya sendiri dari kebebasan yang tak terbatas untuk berkehendak. Tapi ketika kapasitas tak terbatas untuk berkehendak membatasi jalurnya dengan sempit, maka sisi-sisinya akan jebol, dan banjir yang dihasilkannya tidak terkendali. Ketika keinginan yang luas ini hanya terpusat pada dirinya, maka tidak ada lagi kedamaian. Ketika manusia berupaya untuk kebaikan keseluruhan dan bukan hanya untuk dirinya sendiri, barulah keinginanya dapat membuahkan hasil dengan penuh.
Pekerjaan ini tidak terbatas -luas maupun intensitasnya – yang penting buahnya tidak dinginkan untuk dirinya sendiri.
Ilmu pengetahuan membuat manusia mendapatkan kekuatan para dewa: membangun senjata, mengapus penyakit, kemiskinan, dan penderitaan dunia. Namun jika ia hanya digunakan sebagai alat untuk memenuhi keinginan egois manusia, ia berubah menjadi urusan kematian. Jika manusia ditakdirkan untuk dihapuskan dari muka bumi, adalah karena manusia telah memperoleh kekuatan ilahi tapi tidak memilki karakte rilahi.
ADVERTISEMENT
Bukti bahwa Eropa telah menjadi bahaya bagi dunia banyak terlihat di Asia dan Afika. Eropa telah datang bukan dengan ilmunya melainkan dengan keinginanya. Saat ini ia terbebani dengan kecemasan. Api yang disulutnya di hutan telah menjalar sampai ke rumahnya sendiri.
Mesin apa yang dapat dibangun untuk memadamkan api? Tidak ada. Kecuali hentikan kerakusanmu! Dan ilmu harus terlibat di dalam upaya itu.
Kenapa semua pertanyaan itu ada, sebab saya teringat sungguh berbeda saat ini dengan saat India mulai menyebarkan kebijaksanaannya sehingga diterima oleh orang di luar negaranya. Tibet, Mongolia, Kepulauan Malaya.
Dalam ziarah melihat jejak ekspansi kuno India ini saya menyadari bahwa apa yang ditawarkan India bukanlah sekadar khotbah kosong. Apa yang diberikannya membangunkan kekayaan insani dalam segala aspek – arsitektur, patung, lukisan, music, sastra. Jejaknya dapat ditemukan di gurun, gunung, pulau terpencil.
ADVERTISEMENT
Ajaran India bukanlah seperti ajaran Eropa yang menelanjangi dan melumpuhkan seseorang, berusaha untuk mengunci dan mengekang beragam kemampuannya.
Ajarannya bukanlah pesan yang ragu, lemah, dan renta. Melainkan pesan yang penuh semangat dari pemuda yang sehat dan pemberani.
(L.T. Paris / Artikel ini sebelumnya dimuat di halaman Cublaksuweng @Kumparan pada 2 Oktober 2017)