Cuaca Makin Panas, Ilmuwan Sebut Pandemi Berikutnya Ada di Depan Mata

Konten Media Partner
23 Mei 2022 18:02 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi kelelawar pembawa virus. Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kelelawar pembawa virus. Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Para ilmuwan melihat iklim Bumi yang terus menghangat akan menjadi pemicu untuk membuat umat manusia bertemu dengan pandemi setelah COVID-19. Suhu Bumi yang semakin hangat diprediksi akan membuat satwa liar dipaksa merelokasi habitat mereka ke tempat dimana banyak manusia. Hal itu membuat risiko perpindahan virus dari satwa liar ke manusia lebih tinggi sehingga dapat memicu pandemi berikutnya.
ADVERTISEMENT
Hubungan antara perubahan iklim dan penularan virus ini dijelaskan oleh tim peneliti internasional yang terdiri atas para ilmuwan di Universitas Georgetown dan diterbitkan di Nature, 28 April lalu. Dalam studi ini, para ilmuwan menjelaskan bahwa ketika spesies mamalia melakukan perjalanan ke habitat baru dan bertemu dengan mamalia lain untuk pertama kalinya, mereka akan saling berbagi ribuan virus.
Situasi ini akan membawa peluang lebih besar bagi virus seperti Ebola atau Corona untuk muncul di daerah baru, membuatnya lebih sulit dilacak serta akan memudahkan virus melompat ke manusia.
“Analogi terdekat sebenarnya adalah risiko yang kita lihat dalam perdagangan satwa liar,” kata penulis utama studi tersebut sekaligus profesor peneliti di Pusat Ilmu dan Keamanan Kesehatan Global di Georgetown University Medical Center, Colin Carlson, seperti dikutip dari Nature.
ADVERTISEMENT
Pasar satwa menjadi kekhawatiran tersendiri karena telah menyatukan hewan yang tidak sehat dalam kombinasi yang tidak alami, sehingga menciptakan peluang loncatan virus ke manusia.
“Seperti bagaimana SARS melompat dari kelelawar ke musang, lalu musang ke manusia. Tapi pasar tidak lagi istimewa, dalam iklim yang berubah, proses semacam itu akan menjadi kenyataan di alam, di mana-mana,” lanjutnya.
Ilustrasi satwa liar. Foto: Pexels
Mereka khawatir, habitat hewan akan bergerak dengan sangat cepat ke permukiman manusia, sehingga menciptakan hotspot baru terjadinya penularan virus. Para peneliti memperkirakan, proses ini akan berlangsung dengan masif ketika suhu Bumi sudah meningkat 1,2 derajat dari hari ini. Sayangnya, upaya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, tampaknya tidak terlalu signifikan dalam menahan peristiwa ini.
ADVERTISEMENT
Temuan penting lainnya adalah dampak kenaikan suhu pada kelelawar, yang merupakan penyebar utama virus baru. Kemampuan mereka untuk terbang akan memungkinkan perjalanan yang jauh, dan menyebarkan virus dengan jumlah yang makin banyak. Asia Tenggara sebagai salah satu habitat kelelawar terbesar, diperkirakan akan menjadi hotspot kemunculan virus baru.
Ketika virus mulai berpindah antarspesies inang dengan kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya, para penulis mengatakan bahwa dampaknya terhadap konservasi dan kesehatan manusia bisa sangat mengerikan.
“Mekanisme ini menambah lapisan lain tentang bagaimana perubahan iklim akan mengancam kesehatan manusia dan hewan,” kata penulis utama studi tersebut, Gregory Albery.
“Tidak jelas bagaimana virus baru ini dapat mempengaruhi spesies yang terlibat, tapi kemungkinan banyak dari mereka akan menyebabkan risiko konservasi baru dan memicu munculnya wabah baru pada manusia,” lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Secara keseluruhan, penelitian ini menunjukkan bahwa perubahan iklim akan jadi faktor risiko hulu terbesar dalam memunculkan penyakit, melebihi faktor-faktor lain seperti perdagangan satwa, deforestasi, dan pertanian industri.
Pandemi COVID-19, wabah SARS, Ebola, dan Zika telah menunjukkan bagaimana virus yang melompat dari hewan ke manusia dapat memiliki efek yang sangat besar. Para penulis mengatakan, solusinya adalah memasangkan pengawasan penyakit satwa liar secara real time.
“Penelitian ini menunjukkan bagaimana pergerakan dan interaksi hewan karena iklim yang memanas dapat meningkatkan jumlah virus yang melompat antarspesies,” kata Direktur Program US National Science Foundation (NSF), Sam Scheiner.