Dari Budo Budi ke Pahoman Sejati, Warga Penghuni Sisi Selatan Gunung Merapi

Konten Media Partner
6 Juli 2022 15:51 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sesepuh Pahoman Sejati, Ki Rekso Jiwo sedang mempraktikkan cara umat Pahoman Sejati bersembahyang. Foto: Widi RH Pradana. Grafis: Arif UTE
zoom-in-whitePerbesar
Sesepuh Pahoman Sejati, Ki Rekso Jiwo sedang mempraktikkan cara umat Pahoman Sejati bersembahyang. Foto: Widi RH Pradana. Grafis: Arif UTE
ADVERTISEMENT
Sebelum bernama Pahoman Sejati, mereka menyebut diri mereka sesuai dengan nama ajaran yang mereka anut, yakni Budo Budi. Karena aturan pemerintah pada 2013 mewajibkan setiap penghayat kepercayaan memiliki organisasi, mereka memilih nama Pahoman Sejati sebagai nama organisasi.
ADVERTISEMENT
Sejak itu, mereka menjadi umat Pahoman Sejati penganut Budo Budi, seperti anggota Muhammadiyah dan NU untuk menyebut penganut Islam di organisasi tersebut.
Masyarakat Pahoman meyakini bahwa ajaran Budo Budi diajarkan oleh Ki Hajar Windusana, seorang pujangga, cendekia, juga guru spiritual dari Majapahit.
Sosoknya sampai saat ini masih misterius, tapi menurut sesepuh Pahoman Sejati, Ki Rekso Jiwo, Ki Hajar Windusana hidup sekitar abad ke-18.
Ketika agama Islam mulai masuk ke Nusantara, Ki Hajar Windusana memilih menepi ke lereng Merbabu-Merapi. Di sana, dia mendirikan sebuah padepokan dan perpustakaan dengan koleksi naskah mencapai 1.000 naskah lebih.
Namun pada 1822, ketika Belanda melakukan ekspedisi, perpusatakaan tersebut dijarah hingga hanya tersisa beberapa naskah saja.
“Jadi kitab yang kami gunakan sebagai pedoman adalah kitab teles, atau kitab tutur yang turun temurun karena kitab-kitab ajaran Budo Budi sudah dibawa semua,” kata Ki Rekso Jiwo menggunakan bahasa Jawa.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya hanya ada enam inti ajaran Budo Budi yang diturunkan oleh para leluhur Pahoman Sejati.
Enam ajaran itu di antaranya: Dadi menungso iku ojo mikir lan mbatin sing ala (Menjadi manusia itu jangan berpikir dan berniat buruk); Dadi menungso iku ojo metu micoro sing ala (Menjadi manusia itu jangan mengeluarkan perkataan yang buruk); Dadi menungso iku ojo duwe tumindak lan laku sing ala (Menjadi manusia itu jangan bertindak dan berperilaku yang buruk).
Sementara tiga ajaran lainnya hanyalah kebalikan dari tiga ajaran tersebut, yang intinya menjadi manusia harus berpikir yang baik, berbicara yang baik, dan berperilaku yang baik.
“Jika sebuah perbuatan mengakibatkan kerusakan, pasti itu buruk. Sebaliknya, kalau dia menghasilkan keindahan, pasti itu baik. Tambang ini merusak atau memperindah Gunung Merapi?” Ki Rekso Jiwa berkata dan bertanya.
ADVERTISEMENT
Merapi adalah Simbah Umat Pahoman Sejati
Gunung Merapi yang diselimuti kabut tampak dari area sekitar Pabelan, Magelang. Foto: Widi Erha Pradana
Hari ini, dari ribuan total jumlah penduduk yang menghuni sisi sungai Pabelan, hanya tersisa 70-an penganut Pahoman Sejati. Sedikit, tak membuat mereka ingin menjadi selain diri mereka. Mereka ingin terus menjadi pengikut teguh Budo Budi.
“Meski namanya ada Budo ini tidak mirip dengan Buddha, ini lebih dekat dengan ajaran-ajaran leluhur Jawa,” terang Ki Rekso.
Dari ujaran Ki Rekso, bisa ditangkap bahwa Gunung Merapi bagi umat Pahoman Sejati adalah representasi konkrit dari kehadiran Tuhan di muka bumi.
Mereka lahir dalam dekapan Gunung Merapi, salah satu gunung berapi paling aktif di dunia.
Ki Rekso berkata, bahkan nafas mereka ditarik dan dihembuskan dari udara yang dibuat oleh pepohonan Gunung Merapi. Air dan bahan pangan?
ADVERTISEMENT
“Kabeh dikei Merapi,” kata salah seorang tokoh Pahoman Sejati, yang juga Ketua Padepokan Seni Budi Aji, sebuah sanggar seni yang didirikan para penganut Pahoman Sejati, Kikis Wantoro.
Semua diberikan oleh Tuhan melalui Gunung Merapi.
Intinya, Pahoman Sejati tak pernah lupa bahwa mereka dirawat dan dibesarkan oleh alam Gunung Merapi. Bahkan setelah dewasa Merapilah yang menjadi sumber penghidupan utama mereka.
“Sejak zaman leluhur kami semua utang sama Gunung Merapi. Bagi Pahoman Sejati, Merapi adalah simbah yang merawat dan membesarkan kami. Jadi kalau ada yang menyakiti Merapi, sama saja menyakiti kami,” Kikis Wantoro berkata, panjang.
Salah seorang tokoh Pahoman Sejati, yang juga Ketua Padepokan Seni Budi Aji, sebuah sanggar seni yang didirikan para penganut Pahoman Sejati, Kikis Wantoro. Foto: Widi Erha Pradana
Kikis berkata lebih panjang lagi, bahwa sebenarnya, tak ada larangan bagi umat Pahoman Sejati memanfaatkan apapun yang diberikan Merapi kepada mereka. Termasuk mengambil pasir dan batu di lereng Merapi.
ADVERTISEMENT
Kikis memahami, jika material-material itu memang dibutuhkan untuk mendukung pembangunan.
“Tapi ambilah secukupnya, karena apapun yang berlebihan pasti akan berujung pada bencana. Kalau sungai diobrak-abrik oleh alat berat sampai ikan gak bisa hidup di sana, itu apa benar? Tebing ambrol, semua yang punya nyawa gak bisa hidup di sungai, demi batu dan pasir, bener ora kuwi?,” Kikis Wantoro menerangkan panjang tanpa ada nada kemarahan, tenang.
Sejak dulu, Merapi menurutnya telah memberikan apa yang dibutuhkan manusia lebih dari cukup.
Itu mengapa, orang Jawa tak pernah menyebut erupsi Merapi sebagai sebuah bencana, tapi ‘Simbah lagi duwe gawe’ (embah sedang punya hajat). Sebab, setelah erupsi Merapi selalu memberikan apa yang dibutuhkan manusia di sekitarnya untuk hidup.
ADVERTISEMENT
Apa yang diberikan Merapi itu menurut Kikis sudah lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan manusia. Namun ternyata masih banyak orang yang mengambil di luar haknya, seperti mengeruk tebing-tebing sungai yang mengakibatkan kerusakan.
Aliran sungai Pabelan yang menjadi sumber kehidupan masyarakat Wonogiri Lor, Kapuhan. Foto: Widi RH Pradana
Erosi, abrasi, lahan pertanian rusak, semua yang memberi kehidupan bagi tak hanya manusia tapi juga burung-burung, tanaman liar, kodok, kadal, belalang, ular, binatang dan tumbuhan yang belum sempat diberi nama: mati.
Banjir bandang dari hulu merapi, longsor, mata air mati, jadi bahaya yang mengintai sehari-hari warga Pahoman Sejati dan semua penghuni sisi sungai Pabelan, Magelang.
“Itu yang kami takutkan. Sebab jika bencana itu datang, korbannya adalah kami yang paling dekat, bukan mereka yang mencari keuntungan sendiri,” ujarnya.
Tapi Pahoman Sejati tak pernah marah pada penambang yang merusak sungai Pabelan dan seluruh kehidupan di sana. Bahkan pada nyamuk yang menggigit tubah kaum Pahoman Sejati, mereka dilarang untuk membunuhnya.
ADVERTISEMENT
“Sebab nyamuk yang terbang, hinggap, dan mengisap darah kita itu semua adalah kodrat Tuhan. Semua atas izin dan perintah Tuhan. Jadi bagaimana kami bisa marah pada penambang?” kata Kikis.
Pahoman Sejati tak boleh marah. Pahoman Sejati, hormat pada nyamuk yang menggigit tubuh mereka. **
• Liputan ini bagian dari program workshop dan fellowship yang digelar Aliansi Jurnalis Independen Yogyakarta
• Tulisan ini merupakan seri kedua dari 3 seri tulisan penganut kepercayaan Pahoman Sejati yang tinggal di lereng selatan Gunung Merapi, kawasan Pabelan, Magelang
• Simak seri pertama dan ketiga: