Dari Virus China ke Tentara Allah dan Jalan Lain Merumuskan Agenda SARS-CoV-2

Konten dari Pengguna
3 April 2020 18:05 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi SARS-Cov2
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi SARS-Cov2
ADVERTISEMENT
Dari Donald Trump yang menyebutnya sebagai “Virus China”, hingga fundamentalis lokal yang menyebutnya “Tentara Allah”, demikianlah SARS-Cov-2—varian virus yang baru saja memasuki alam sadar umat manusia di penjuru dunia—disemati berbagai julukan. Kita juga melihat sebagian orang yang menganggapnya sebagai pembawa akhir bagi kapitalisme, sementara sebagian yang lain mengharapkannya sebagai suatu kesempatan bagi kekuatan pasar untuk unjuk gigi. Maka SARS-Cov-2 telah menjadi segala hal yang bukan dirinya.
ADVERTISEMENT
Sementara Donald Trump menggunakannya untuk membangun naratif demi menyuapi basis elektoral, sebagaimana para fundamentalis mengunyahnya untuk memenuhi hasrat religio-narsisme, Cov2 terus membangun portfolionya yang monumental.
Tapi dalam tulisan ini kita ingin melihat dirinya yang sesungguhnya; partikel protein yang—sebagaimana semua partikel protein seperti dia—berada secara pasif dalam biosphere, hanya melakukan takdir-kimiawinya tanpa punya niat apapun, karena bukan saja ia tidak sentient—seperti bagaimana banyak orang tampak ingin menganggapnya—ia juga bahkan tidak hidup. Tapi manusia ingin membunuhnya.
Menempatkan Cov-2 Dalam Perspektif
Kita tidak akan memulai diskusi dengan membicarakan Cov-2, melainkan tentang virus secara umum. Karena, bila jujur, setiap baru saja selesai mandi, kita akan menganggap tubuh kita berada dalam kondisi yang paling bersih; tak ada virus maupun bakteri pada tubuh kita. Ini perlu lebih dulu diluruskan: bahwa kita sesungguhnya tidak pernah bersih dari virus dan bakteri, karena separuh tubuh kita, secara literal, adalah bakteri dan virus.
ADVERTISEMENT
Anda tidak salah baca. Jika kita keluarkan seluruh material non-selular dalam tubuh kita; tumpukan lemak, protein, air dan lainnya, maka separuh dari yang tersisa adalah bakteri dan virus. Ini karena perbandingan jumlah sel mikrobial (bakteri) dan sel ‘manusia’ yang membangun tubuh kita, adalah sekitar 1:1. Kita bisa menjangkarkan kenyataan ini lebih dalam dengan membayangkan bercermin, bagian tubuh kita yang kanan adalah diri kita, dan bagian yang kiri adalah bakteri dan virus, atau sebaliknya, tidak masalah. Yang jelas apapun yang kita lihat di cermin itu, separuhnya adalah ‘diri’ kita, separuh lainnya adalah bakteri dan virus.
Kita secara literal berada dalam genangan virus dan bakteri setiap hari, setiap saat, di dalam atau di luar rumah, di kantor, di toilet, di restoran, di kelas, di dalam bus, di dalam mobil, di udara atau di dalam air, kita selalu berenang dan menyelam di sana. Partikel-partikel virus tersebut ada yang utuh, ada yang hanya sudah kehilangan ‘kulit’nya. Ada yang aktif dan ada yang tidak. Mereka kita hirup setiap saat, karena milyaran partikel virus ada di udara, menempel di debu yang melayang-layang, dengan berbagai varian dan taksonominya. Kita juga meminum dan memakannya tiap hari.
ADVERTISEMENT
Di dalam tubuh kita, bakteri dan virus tersebut membentuk komunitas yang disebut “Microbiome”, dan untuk virus, disebut “Virome”. Ada virus yang inaktif, ada yang ‘sembunyi’ di dalam bakteri di antara organ-organ, ada pula yang bergerak bebas. Mereka membentuk sebuah ‘alam semesta’ mikrobiologi di dalam tubuh kita, dan kita bahkan tidak menyadarinya.
Lalu Mengapa Kita Tidak Selalu Sakit?
Yang pertama harus kita pahami adalah, bahwa virus bukan mahluk hidup. Ia adalah sekedar informasi genetik yang tersimpan dalam bentuk rantaian protein yang serupa dengan rantai protein dalam setiap sel tumbuhan, atau hewan. Karena secara biologis manusia adalah hewan, maka sel-sel yang menyusun tubuh kita punya rangkaian protein serupa yang mengandung informasi tentang bagaimana cara membentuk organ-organ kita, berikut susunan sturkturnya. Informasi ini yang menuntun sel jantung untuk membangun jantung atau usus untuk membangun usus.
ADVERTISEMENT
Informasi genetis yang ada di dalam partikel virus—sebagaimana informasi genetis yang ada di dalam sel tubuh kita—juga mengandung informasi cara untuk membangun virus tersebut; tapi virus tidak dapat membangun diri sendiri. Rangkaian informasi yang dibawa virus ini tidak lengkap; dia butuh ‘mesin’ untuk memproduksi dirinya; sesuatu yang tidak ada di dalam “program” dalam rangkaian protein informasi genetis yang terkandung dalam dirinya.
Jadi virus tidak melakukan apa-apa; dia hanya hanyut dalam lingkungan seperti partikel debu. Sampai ketika ia kebetulan masuk ke dalam suatu sistem tubuh, misalnya tubuh manusia, dan kemudian bertemu dengan sel yang kompatibel.
Saat itu terjadi, sel tubuh kita menarik masuk partikel virus itu ke dalam dirinya. Kemudian informasi genetis yang dibawa virus tersebut dipakai oleh sel tubuh kita untuk memproduksi protein—sesuai “instruksi” yang ada di dalam informasi genetis si virus. Karena instruksi yang digunakan adalah informasi genetis virus, maka sel tubuh kita ini jadi memproduksi virus tersebut, dalam jumlah banyak. Sel tubuh kita menjadi pabrik virus. Virus ini keluar dari sel yang terinfeksi dan menyebar pada sel-sel disekitarnya, yang ikut menarik masuk sel-sel virus baru ini, dan hal yang sama terjadi. Maka dengan semakin banyak sel yang terinfeksi, jumlah virus tersebut berlipat ganda. Dan ketika sudah cukup banyak, organ yang sel-selnya terinfeksi itu akan melemah kerjanya, akibat sebagian selnya sudah tidak lagi bekerja seperti seharusnya, karena telah beralih-fungsi menjadi pabrik virus. Saat ini terjadi, kita menampakkan gejala akibat perubahan fungsi tersebut, dan disebut ‘sakit’.
ADVERTISEMENT
Tapi semua ini terjadi hanya bila virus, yang ukurannya jauh lebih kecil dari sel itu bertemu dengan sel yang kompatibel.
Ilustrasi komunikasi sel.
Sel tubuh kita punya bagian tertentu yang berfungsi sebagai ‘alat komunikasi’, yang disebut receptor. Secara natural sel-sel saling berkomunikasi dengan bertukar molekul yang berfungsi sebagai sinyal, jadi receptor berfungsi seperti antena yang menerima molekul sinyal yang disebut ‘cytokine’ tersebut. Ini membuat sel-sel dalam tubuh kita tetap uptodate atas apapun yang sedang terjadi dalam tubuh kita. Saat molekul signal diterima oleh receptor, sel jadi tahu harus berbuat apa.
Tapi bila yang diterima oleh receptor ini adalah virus yang kompatibel, maka melalui mekanisme receptor tadi, informasi genetis virus tertelan masuk ke dalam sel, dan kemudian hal yang sudah Anda baca di atas terjadi. Walaupun demikian, dari milyaran virus yang beredar di dalam tubuh kita, hanya sedikit yang kompatibel. Pun bila kompatibel, sel-sel tubuh kita punya cara untuk menghalau virus-virus ini. Sisem imun dalam tubuh kita, sel darah putih yang disebut lymphocyte, akan bergerak menyerang, dan kemudian sel lain yang disebut phagocytes akan memakani partikel-partikel virus tersebut.
ADVERTISEMENT
Jadi, secara natural, di luar sadar kita, berlangsung pergulatan antara virus dan sistem imun secara terus menerus. Mereka yang bertahan menjadi pemenang. Sehinga generasi-generasi virus yang berikut selalu generasi yang setiap saat semakin kompatibel, semakin efektif dalam menginfeksi, dan sebaliknya, sistem imun kita juga selalu semakin ‘pintar’ seiring waktu.
Karena jumlah manusia (dan hewan atau tumbuhan) banyak, maka kesempatan virus-virus untuk semakin efektif jadi semakin besar. Pergulatan antara virus dan sistem imun terjadi di banyak tempat (tubuh), maka virus yang berhasil pindah ke tubuh lain akan punya ‘pengalaman genetis’ yang lebih banyak. Semakin sering suatu generasi virus dapat berpindah dan ber-regenerasi, generasi berikutnya selalu semakin efisien, melalui proses evolusi. Generasi yang survive adalah yang paling cocok dengan lingkungannya (dalam hal ini, tubuh manusia).
ADVERTISEMENT
Lalu bagaimana dengan virus SARS-Cov-2 yang kini mewabah?
Sains vs Geopolitik Narasi Corona
Kembali pada narasi “Virus China” atau “Tentara Allah”, kita melihat bagaimana segera setelah diumumkan, Cov-2 bertransformasi menjadi senjata untuk menyerang tempat dimana kebetulan ia pertama kali diidentifikasi, yaitu Wuhan. Hampir seketika, meme atau tulisan yang menggelapkan China sebagai seolah sumber virus yang kini ‘menyusahkan’ seluruh umat manusia, menjadi viral jauh lebih cepat dari virus itu sendiri. Sebagai reaksi, pemerintah China melempar balik serangan tersebut pada Amerika Serikat, dengan mengasosiasikan sebuah laboratorium (lab) yang kebetulan tutup begitu pandemi merebak, dan tuduhan bahwa virus tersebut dibawa oleh tentara AS ke China. Akhirnya persoalan virus yang mengancam banyak nyawa ini menjadi sekedar karikatur dari problem yang sebenarnya.
ADVERTISEMENT
Di saat dunia kelaparan makanan politik, lebih banyak orang memilih mengabaikan persoalan sesungguhnya, dan fenomena krusial yang seharusnya menjadi konteks pembicaraan; ekologi dan kerusakan lingkungan. Tapi naratif ‘China yang berusaha merusak tatanan ekonomi dunia’ dan ‘Allah yang melepas tentara untuk membalas kekalahan Islam’ adalah wacana yang lebih sederhana dan bahkan, menguntungkan untuk diterima. Ini membawa dua kerugian fundamental pada saat yang sama: pengabaian diskursus kesehatan publik dan bahwa cara manusia melihat lingkungan hidup yang berujung pada kegiatan over-ekstraksi dan relasinya dengan ekonomi sangat amat segera butuh untuk dipikirkan ulang. Ini menguntungkan ego sebagian orang dan kapital, karena ada selubung disinformasi yang menyelamatkan banyak wajah dan profit.
Gosip bahwa Cov-2 direkayasa dalam lab sudah langsung ditanggapi oleh sejumlah ilmuwan di seluruh dunia, karena ini adalah klaim yang mereka anggap penting. Hasilnya sudah cukup solid; tidak ada tanda-tanda bahwa genetik virus ini dirancang oleh seseorang.
ADVERTISEMENT
Sejak wabah di Wuhan, banyak ilmuwan juga sudah memeriksa asal muasal Cov-2. Sudah diketahui bahwa Cov-2, sebagaimana ‘kerabat’ dekatnya; SARS-Cov dan MERS-Cov, bersifat zoonotic, artinya bisa berpindah dari hewan ke manusia dan sebaliknya. Dua kandidat ‘asal’-nya telah diidentifikasi, yaitu varian dari kelelawar, dan dari pangolin.
Seketika setelah berita ini menyebar, kebiasaan makan hewan liar dan pasar hidup Wuhan menjadi target serangan berikut. Padahal varian dari kelelawar hanya punya kesamaan 96% dengan varian yang menginfeksi manusia, dan varian pangolin punya kesamaan 99%. Dan walaupun varian pangolin punya kesamaan tinggi, spike—atau fitur yang digunakan virus untuk bisa menempel pada reseptor sel tubuh—TIDAK sama persis. Ini adalah kata TIDAK yang besar bagi ilmuwan, karena itu artinya varian virus Cov-2 dari pangolin, bukanlah varian yang menginfeksi manusia.
ADVERTISEMENT
Artinya narasi bahwa virus menyebar karena ‘kebiasaan orang China memakan hewan yang tidak suka dimakan orang lain’ tidak mempunyai bukti, tapi fakta ini diabaikan begitu saja, bahkan setelah sejumlah ilmuwan telah menerbitkan jurnal bahwa—walaupun ditemukan banyak spesimen manusia yang tertular di Wuhan pada Desember—asal terdekat (Most Recent Common Ancestor/MRCA) dari virus yang merebak bertanggal 1 Oktober 2019, jauh sebelum kasus Wuhan.
Fakta lain adalah bahwa coronavirus diketahui sebagai virus yang mutasinya termasuk lambat, dibandingkan dengan virus flu—yang menyebabkan vaksin flu harus di-update setiap tahun. Menurut Dr. Kristian Andersen, peneliti dari Scripps, coronavirus adalah virus yang lambat bermutasi karena daya infeksinya tinggi, sehingga tidak ada tekanan evolusioner untuk berubah.
Dengan sejumlah fakta ini, semakin sulit dibayangkan bahwa Cov-2, seperti diceritakan dalam narasi yang beredar di publik, seolah-olah terlahir di Wuhan.
ADVERTISEMENT
Ini mungkin bisa dianggap sesuatu yang tidak terlalu perlu ditanggapi, karena pembicaraan awam tidak punya kekuatan dalam lapangan ilmiah. Tapi kesadaran publik yang terbangun seperti ini dapat menjauhkan pemahaman atas persoalan sesungguhnya di balik kasus wabah dari Wuhan, dan publik yang punya mispersepsi akan berakibat pada pilihan-pilihan politik yang salah, bila pada waktunya suara publik dibutuhkan untuk menentukan bergeraknya arah politik, yang akan mempengaruhi apakah akhirnya umat manusia akan mengambil keputusan yang tepat menghadapi permasalahan-permasalahan yang sesungguhnya, dalam ruang elektoral maupun ekspresi demokrasi lainnya.
Gambaran Besar
Segala penelitian di atas akhirnya merujuk pada satu gambaran tentang asal wabah ini, yaitu virus yang berevolusi dengan berpindah dari hewan ke hewan, dan ke manusia—sesuatu yang disebut oleh ilmuwan “spillover”. Sekarang kita dapat melihat lebih jelas, bahwa sesungguhnya tidak terlalu penting apakah kasus spillover ini terjadi di Wuhan atau tidak.
ADVERTISEMENT
Evolusi virus terjadi ketika virus dapat melompat dari satu individu ke individu lain, apakah itu hewan atau manusia. Seluruh tubuh biologis tempat virus berevolusi ini, dalam bahasa ilmiah disebut “reservoir” yang memfasilitasi perubahan genetik yang membuat virus semakin efisien dalam menginfeksi.
Untuk melakukan itu, reservoir ini harus berukuran besar. Artinya harus ada pertemuan yang cukup intens dan cukup luas antar berbagai spesies hewan dan manusia, agar Cov-2 ataupun strain virus berikut yang akan menyusul.
Ilmuwan belum dapat memastikan tepatnya peta lompatan asal musal Cov-2, tapi kita tahu, bahwa agar reservoir tempat virus-virus ini berevolusi bisa cukup luas, maka hewan-hewan dan manusia harus bertemu lebih intens dan lebih kerap. Pertumbuhan populasi manusia adalah satu hal yang memungkinkan ini terjadi, dan menyempitnya luas habitat hewan adalah hal yang lain.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya kita tahu apa yang seharusnya kita lakukan untuk meredam kemungkinan varian virus berikut masuk ke dalam populasi manusia. Dan hal itu hanya bisa terjadi ketika kita memahami gambaran besar ini dan melakukan keputusan politik yang tepat.
Penulis : Verdi Adhanta, warga DKI Jakarta yang 2 tahun terakhir mengajar di SMK Rosma, Karawang, Jawa Barat.