Di Hari Buruh kala Pandemi, Para Pengangguran Berjuang untuk Bisa Makan

Konten dari Pengguna
1 Mei 2020 19:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi pengangguran dan kemiskinan di perkotaan. Foto : Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pengangguran dan kemiskinan di perkotaan. Foto : Pixabay
ADVERTISEMENT
Ratusan juta orang menerima perubahan drastis dalam hidup mereka, berada dalam rumah, berjuang dari dalam rumah dengan tidak melakukan apa-apa untuk menghormati pejuang di garis depan yang sedang menyelamatkan banyak nyawa. Berdiam di rumah disebut sebagai tindakan patriotik yang bisa dilakukan saat pandemi tengah merusak sistem kesehatan nasional. Pengorbanan orang-orang yang tidak memiliki penghasilan dengan duduk menunggu bantuan di rumah tidak kalah heroik dibanding mereka yang berjuang di garis depan.
ADVERTISEMENT
Sekitar separuh dari tenaga kerja di dunia, atau 1,6 miliar orang, berada dalam bahaya kehilangan sumber penghasilan akibat ekonomi yang ditimbulkan oleh pandemi. Dalam laporan terakhirnya, Organisasi Buruh Internasional (ILO), mengatakan bahwa mereka yang terdampak parah dari COVID-19 adalah mereka yang bekerja di sektor informal, termasuk mereka yang memiliki usaha mandiri dan mereka yang sedang berada dalam kontrak pendek.
“Pada bulan pertama krisis diperkirakan sudah membuat penurunan 60% pendapatan dari pekerja informal secara global,” kata ILO seperti dikutip Russian Today, soal dampak kerusakan ekonomi dari pandemik yang sudah terlihat.
Sejak coronavirus muncul di China akhir tahun lalu, lebih dari 3,1 juta kasus telah dikonfirmasi di seluruh dunia, dan lebih dari 216 ribu orang meninggal. Langkah pencegahan dengan tindakan penguncian secara drastis membatasi penyebaran virus dan secara dramatis menghentikan laju uang.
ADVERTISEMENT
“Bagi jutaan pekerja, tidak ada pendapatan berarti tidak ada makanan, tidak ada kejelasan dan tidak ada masa depan,” kata Dirjen ILO Guy Ryder.
265 Juta Orang dalam Ancaman Kelaparan
Ilustrasi kemiskinan. Foto : Pixabay
Sebuah laporan oleh Program Pangan Dunia PBB (WFP), yang diterbitkan awal pekan lalu, memberikan pandangan menyedihkan tentang dampak pandemi COVID-19. Laporan itu menunjukkan jumlah orang yang menghadapi kekurangan makanan parah - di ambang kelaparan - dapat berlipat ganda dalam 12 bulan ke depan, dari 130 juta menjadi 265 juta.
Kepala ekonom WFP, Dr Arif Husain, mengatakan kepada media," ini adalah hantaman keras bagi lebih dari jutaan orang yang hanya bisa makan jika mereka mendapat upah. Penguncian dan resesi ekonomi global telah menghancurkan lumbung pendapatan mereka. Hanya perlu satu guncangan lagi - seperti COVID-19 - untuk mendorong mereka ke tepi. Kita harus bertindak bersama sekarang untuk mengurangi dampak bencana global ini."
ADVERTISEMENT
Sekurang-kurangnya sepertiga dari populasi dunia saat ini berada dalam tindakan penguncian, 1,3 miliar disumbang oleh India saja. Setelah tahun-tahun penambahan jumlah miliarder baru dalam setahun yang impresif, Indonesia sama halnya dengan India menghadapi jumlah pekerja yang kehilangan sumber pendapatannya di tengah pandemi. Jumlah yang sudah puluhan atau ratusan juta tersebut masih ditambah dengan penduduk miskin yang sebelumnya juga sudah berjumlah puluhan juta. Situasi akan jauh lebih buruk di negara-negara yang belum menikmati perkembangan pesat India dan Indonesia.
Pemerintah di negara berkembang telah mengadopsi kebijakan di banyak negara yang lebih kaya. Tetapi apakah yang dilakukan negara maju tepat untuk negara miskin?.
Dilema Pembatasan Sosial
Pembatasan sosial membuat jalanan sepi dan ekonomi berhenti. Foto : Pixabay
Di negara maju, kekhawatiran utama adalah bahwa puncak tajam dalam kasus akan membanjiri layanan kesehatan intensif, yang mengarah pada kematian yang tidak perlu. Namun, banyak negara miskin memiliki sangat sedikit ventilator dan dokter dan perawat berpengalaman dibandingkan dengan populasi mereka. Jadi apa manfaat dari penguncian yang akan mendorong jutaan orang lebih ke dalam kemiskinan yang hina?
ADVERTISEMENT
Di kota-kota besar yang padat di negara berkembang - seperti Mumbai, Kairo, Lagos – tindakan pembatasan sosial menjadi tidak praktis. Cuci tangan dengan sabun tidak tersedia di banyak tempat, akses air bersih sudah sulit jauh sebelum ada anjuran menjaga kebersihan. Pemerintah di negara berkembang mengadopsi kebijakan penguncian dari negara yang lebih kaya, yang bahkan di negara kaya sendiri mendapat perlawan dari warganya sendiri.
Ekonomi negara-negara berkembang sebagian bergantung pada perdagangan dengan negara-negara kaya. Jika itu terganggu, tingkat kemiskinan akan naik. Misalnya, peritel pakaian Inggris, Primark, hampir tidak beraktifitas secara online. Keputusan untuk menutup toko-toko di seluruh Eropa telah menyebabkan puluhan ribu orang Eropa kehilangan pekerjaan – sekaligus juga memukul mereka yang bekerja untuk produsen di negara-negara miskin.
ADVERTISEMENT
Tidak mengherankan jika beberapa minggu terakhir wacana melonggarkan tindakan pembatasan dan penguncian mengemuka di AS dan negara-negara Eropa. Demonstrasi menuntut dibukanya penguncian agar mereka bisa kembali beraktifitas ekonomi dilakukan.
Ironi yang kejam dari demonstrasi ini adalah, sebelum ada pandemi, para pekerja, terutama di Hari Buruh Internasional setiap 1 Mei, berunjuk rasa menuntut upah yang lebih baik, untuk kesejahteraan. Sekarang, mereka berunjuk rasa untuk dapat kembali bekerja, atau hanya untuk mendapatkan pekerjaan sehingga bisa memenuhi kebutuhan mereka sendiri atau keluarganya.
Sungguh kekuatan yang mengerikan dari sebuah virus, tapi COVID-19 tidak bisa disalahkan. Saat ini, ratusan juta jiwa masih tercengang merenungi bagaimana pemimpin mereka gagal melindungi mereka dari pandemi, mendapati diri mereka semakin miskin dari dalam rumah yang pintunya tertutup. (Anasiyah Kiblatovski / YK-1)
ADVERTISEMENT