Di Tengah Pandemi Corona, Wujudkan Mimpi Atlas Burung Indonesia

Konten dari Pengguna
18 April 2020 17:39 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Calon cover Atlas Burung Indonesia (ABI). Foto : Swiss Winasis
zoom-in-whitePerbesar
Calon cover Atlas Burung Indonesia (ABI). Foto : Swiss Winasis
ADVERTISEMENT
Selalu ada hikmah di balik wabah. Mimpi puluhan peneliti burung amatir untuk meluncurkan Atlas Burung Indonesia (ABI) tampaknya sebentar lagi bakal kesampaian. Sudah sekitar enam tahun lamanya ABI hanya menjadi mimpi usang dan bahan wacana para penggila burung itu. Hingga di saat dunia dilanda pandemi COVID-19 atlas burung di Indonesia pertama sebulan lagi bisa diwujudkan.
ADVERTISEMENT
Bersama puluhan peneliti burung amatir lainnya di seluruh Indonesia, Swiss Winnasis mulai menggarap proyek besar itu sejak awal tahun ini. Targetnya, ada 750 spesies burung yang akan dipetakan dalam atlas itu. Dan setelah empat bulan berjalan, hasilnya cukup menggembirakan; teks untuk 425 spesies, 400 ilustrasi, dan 300 peta sebaran spesies sudah kelar digarap.
“Justru adanya pandemi ini malah lebih cepet. Kan orang-orangnya enggak ke mana-mana, jadi lebih fokus,” kata Swiss ketika dihubungi lewat sambungan telepon, Sabtu (18/4).
Swiss mengatakan, kerja keras tak kenal waktu para peneliti amatir itu diperkirakan akan menghasilkan sebuah buku setebal 800-an halaman dan akan dicetak terbatas. Hasil penjualan buku nantinya akan digunakan untuk pengembangan proyek citizen science di Indonesia.
ADVERTISEMENT
“Bentuknya kayak apa? Mbuh, pikir keri (Entah, pikir belakangan),” kata Swiss.
Awalnya, mereka menargetkan proyek ini selesai pada Juli mendatang. Namun karena adanya pandemi, memungkinkan proses pengerjaan berjalan lebih cepat. Akhirnya target dimajukan pada akhir Mei atlas ini selesai dan siap untuk diluncurkan.
Selain itu, latar belakang para peneliti yang tergabung dalam proyek ini juga menjadi pertimbangan kenapa ABI harus segera diselesaikan. Proyek ini dikerjakan secara gotong royong oleh para relawan tanpa bayaran. Sejauh ini, biaya untuk operasional pengerjaan ABI diambil dari hasil penjualan makanan dan minuman di kafe milik Swiss di Batu, Malang, yang juga menjadi tempat kerja mereka selama ini.
“Jadi harus segera diselesaikan supaya mereka bisa fokus dengan pekerjaan mereka lagi, kan harus dipikirkan juga mereka makannya gimana,” lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Kenapa Mangkrak Begitu Lama
Salah satu layout halaman Atlas Burung Indonesia. Foto : Swiss Winasis
Ada sejumlah alasan kenapa proyek ABI ini sempat mangkrak begitu lama. Masalah utama yang mereka hadapi menurut Swiss Winnasis adalah minimnya data yang tersedia di Indonesia. Entah karena tak ada dana untuk melakukan penelitian atau karena datanya dimiliki para peneliti dari luar negeri karena justru mereka yang kerap melakukan penelitian di Indonesia.
Atau karena tidak terintegrasinya para pemegang data yang ada di dalam negeri, sehingga data yang ada terpencar, tidak terkelola dengan baik. “Tahu sendiri lah, Indonesia kan gaib datanya. Jadi pertama masalah data,” kata Swiss.
Data yang digunakan untuk mengerjakan atlas ini adalah data yang terkumpul dalam aplikasi Burungnesia sejak 2016. Ada sekitar 1.000 jenis burung yang terpantau oleh para pengamat burung di seluruh Indonesia melalui Burungnesia. Namun jumlah itu tak semuanya bisa dianalisis distribusi spasialnya, sehingga belum semuanya juga bisa digunakan dalam ABI.
ADVERTISEMENT
“Terus yang kedua masalah orang, siapa yang mau ngerjain?” lanjutnya.
Karena basisnya adalah sukarelawan, cukup sulit mencari orang-orang yang bersedia membantu mengerjakan proyek besar ini. Sebenarnya Atlas Burung Indonesia pernah dikerjakan pada tahun 2015 sampai 2016 di Yogyakarta. Namun karena anggota timnya berpencar-pencar, proyek itu kembali mangkrak dan baru berjalan lagi setelah Swiss Winnasis berinisiatif memimpin proyek ini dan berpusat di Malang.
Saat ini, ada delapan orang yang bekerja di Malang setiap hari. Karena adanya pandemi, kafe milik Swiss jadi sepi dan sangat mendukung untuk mengerjakan ABI. Namun di sisi lain, pemasukan yang biasanya digunakan untuk biaya operasional juga macet karena sepinya pelanggan.
Para peneliti amatir sedang mengerjakan Atlas Burung Indonesia di kafe milik Swis Winasis di Malang. Foto : Swiss Winasis
Selain delapan orang yang bekerja di Malang, ada juga sejumlah orang yang ikut bekerja secara remote di wilayahnya masing-masing karena tidak bisa meninggalkan pekerjaan utama atau pendidikannya. Kebanyakan dari mereka adalah ilustrator dan para penulis yang ada di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Gresik, Denpasar, Sumba, Halmahera, dan ada yang masih menempuh pendidikan di Australia.
ADVERTISEMENT
Koordinator Penulis untuk ABI, Imam Taufikurrahman mengatakan banyak persoalan yang membuat proyek ABI ini mangkrak bertahun-tahun, dari persoalan manajerial sampai masalah teknis. Salah satunya adalah mereka tidak memiliki payung organisasi dan berasal dari berbagai wilayah di Indonesia, sehingga agak menyulitkan untuk melakukan komunikasi.
“Intensitas pertemuan ya hanya setahun sekali di PPBI. Jadi, progresnya sangat-sangat lambat,” kata Imam.
Padahal untuk mengerjakan proyek sebesar itu, harus benar-benar dilakukan secara fokus dan intensif. Keseriusan datang pada saat ‘Pertemuan Pengamat Burung Indonesia (PPBI) XI’ di Banyumas akhir tahun kemarin, Swiss Winnasis memberanikan diri untuk menguatkan tekad lagi dengan mengajak semua relawan berani mewujudkan mimpi pada tahun 2020.
Langkah Awal untuk Memulai Konservasi Lebih Luas
Salah satu halaman Atlast Burung Indonesia. Foto : Swiss Winasis
Selama ini, belum ada yang memetakan distribusi burung di Indonesia secara real time. Sehingga, saat berbicara burung hanya bisa dilakukan secara general. Misalnya, untuk sebuah spesies burung tertentu hanya bisa menyebut secara garis besar bahwa burung itu tersebar di Jawa dan Bali, sementara di mana pastinya tidak pernah terpetakan secara jelas.
ADVERTISEMENT
“Jadi Atlas Burung Indonesia ini adalah yang pertama ada di Indonesia yang berusaha memetakan secara jelas burung kekayaan fauna nusantara,” kata Swiss.
Pemetaan distribusi burung ini menurutnya sangat penting, mengingat campur tangan manusia sudah sedemikian besar terhadap dinamika alami ekosistem dan populasi satwa liar. Proses perburuan dan perdagangan telah membuat distribusi burung yang ada di Indonesia menjadi kacau balau.
Para peneliti burung amatir sedang mengerjakan Atlas Burung Indonesia di kafe milik Swiss Winasis di Malang. Foto : Swiss Winasis
Misalnya gelatik jawa, yang ternyata sudah sampai di Sulawesi. Sebaliknya, jalak ekor merah yang sebelumnya hanya ada di Sulawesi ternyata sudah sampai di Ragunan. Ada juga burung-burung alien, yakni burung yang bukan asli Indonesia namun malah dilindungi oleh pemerintah.
“Padahal ada beberapa jenis burung kicau yang jelas-jelas di alam sudah jarang bahkan punah tapi dipelihara masyarakat masih ada, malah tidak dilindungi,” lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Menurut Swiss, jika tidak segera dipetakan perubahan distribusinya, taksonomi, dan sebagainya, maka tidak akan ada pegangan untuk mengevaluasi keadaan ekosistem burung satu atau dua dekade ke depan. Dengan adanya data yang lengkap, maka setiap ada perubahan bisa terlihat dengan jelas.
“Meletakkan informasi dasar tentang distribusi burung ini juga sangat penting sebelum berbicara lebih jauh tentang populasi, konservasi, perlindungan, pemanfaatan, dan sebagainya,” kata Swiss. (Widi Erha Pradana / YK-1)
----------------------------------
kumparanDerma membuka campaign crowdfunding untuk bantu pencegahan penyebaran corona virus. Yuk, bantu donasi sekarang!