Dikecam Dokter, Pemerintah Swedia Masih Percaya Diri Terapkan Herd Immunity

Konten dari Pengguna
30 Maret 2020 15:58 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Stockholm, Ibu Kota Swedia. Foto : Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Stockholm, Ibu Kota Swedia. Foto : Pixabay
ADVERTISEMENT
Pemerintah Swedia mendapat banyak kecaman dari para dokter dan ilmuwannya karena dinilai tidak serius menangani pandemi COVID-19. Para dokter dan ilmuwan mengkhawatirkan pendekatan yang dilakukan oleh pemerintahnya. Tidak seperti tetangganya, negara-negara Nordik, Swedia mengadopsi strategi yang relatif santai, dengan asumsi bahwa reaksi berlebihan akan lebih berbahaya. Demikian dilansir dari artikel New York Times yang terbit akhir pekan kemarin.
ADVERTISEMENT
Meski pemerintah Swedia telah melarang pertemuan lebih dari 50 orang, namun tempat-tempat seperti sekolah, restoran, dan pusat kebugaran masih tetap dibuka. Hingga 30 Maret, kasus positif COVID-19 di Swedia sudah mencapai 3.700 kasus dengan 110 kematian dan hanya 16 pasien yang sembuh.
Norwegia, tetangganya, memang memiliki jumlah kasus positif lebih banyak, yakni 4.384 kasus, sampai saat ini baru 26 orang yang meninggal. Sementara Denmark, tetangganya yang lain hingga kini terdapat 2.395 kasus terkonfirmasi dengan jumlah kasus meninggal sebanyak 72 orang. Baik Norway maupun Denmark menerapkan Social Distancing yang lebih ketat dengan meliburkan sekolah dan melarang keramaian.
Ada beberapa argumen yang mendukung strategi resmi Swedia saat ini, termasuk memutuskan agar sekolah tetap beroperasi seperti biasa. Hal ini bertujuan agar orangtua yang bekerja sebagai petugas medis, bidang transportasi, serta pasukan makanan bisa tetap bekerja. Meski penyakit ini dapat menyebar dengan cepat pada anak-anak, namun komplikasi COVID-19 relatif jarang terjadi pada mereka.
ADVERTISEMENT
Sementara penguncian jangka panjang dinilai memiliki implikasi ekonomi besar yang di masa depan dapat membahayakan layanan kesehatan karena kurangnya sumber daya. Ini pada akhirnya dapat menyebabkan lebih banyak kematian dan penderitaan daripada pandemi COVID-19 dalam waktu dekat.
Minimnya Data
Melihat situasi di Swedia yang semakin memburuk setiap hari, diperkirakan mereka akan menuju ke bancana yang lebih besar jika tidak segera melakukan langkah strategis dan signifikan. Langkah-langkah serius dan antisipatif sangat diperlukan, mengingat tidak ada yang tahu pasti apa yang akan terjadi ke depan. Tak ada yang siap dengan pandemi global.
Menutip artikel yang dimuat oleh The Conversation, dalam epidemi, model prediksi akan membantu untuk menentukan dalam pengambilan kebijakan, menilai kemungkinan dampak sosial ekonomi, dan memperkirakan kebutuhan kapasitas lonjakan rumah sakit. Semua model prediksi memerlukan imput data, idealnya berasal dari pengalaman masa lalu dalam skenario yang sebanding. Dan kita tahu, kualitas data input seperti ini buruk.
ADVERTISEMENT
Kebanyakan model prediksi pada COVID-19 menggunakan data yang dikumpulkan dari epidemic COVID-19 di China dan Italia, serta dari wabah penyakit menular lainnya di masa lalu seperti Ebola, influenza, SARS, dan MERS. Padahal demografi dan pola interaksi sosial sangat berbeda antara satu negara dengan negara lainnya. Swedia memiliki populasi yang kecil dan hanya memiliki satu wilayah metropolitan. Idealnya, model prediksi yang dilakukan menggunakan data dari Swedia tentang penyebaran COVID-19, namun hal ini membutuhkan program penyaringan yang saat ini tidak ada.
Data kecil tentang COVID-19 yang kini dapat diandalkan di Swedia hanya berupa penerimaan rumah sakit dan tingkat kematian. Data ini bisa digunakan untuk mendapatkan perkiraan orang miskin yang terinfeksi, serta berapa banyak kematian yang mungkin terjadi.Tapi dengan adanya jeda dua pekan antara diagnosis dan kematian, menjadikan instrumen ini sangat tumpul untuk dijadikan pedoman pengambilan keputusan.
ADVERTISEMENT
Otoritas keshatan di Swedia sudah merilis simulasi untuk menjadi rujukan jika terjadi lonjakan kasus. Ini menyangkut sejauh mana rumah sakit perlu meningkatkan kapasitas mereka untuk menangani tingginya jumlah pasien COVID-19 yang parah dan membutuhkan perawatan spesialis dalam beberapa pekan mendatang.
Jika melihat jumlah kematian menggunakan simulasi yang dirilis Inggris, jumlah kematian pada simulasi pemerintah Swedia jauh lebih rendah. Alasannya karena otoritas Swedia percaya ada banyak orang yang terinfeksi tanpa gejala, sementara yang membuthkan rawat inap hanya satu berbanding lima pasien.
Pada titik ini, sulit untuk mengetahui berapa banyak orang yang asimptomatik, karena tidak ada skrining terstruktur di Swedia dan tidak ada tes antibodi untuk memeriksa siapa yang sebenarnya memiliki COVID-19 dan berhasil pulih. Namun secara substansial, meremehkan persyaratan lonjakan rumah sakit sama saja menjemput petaka.
ADVERTISEMENT
Kekebalan Kelompok
Kemungkinan paling baik presentase kematian akibat COVID-19 di Swedia adalah antara 0,5 sampai 1,0 persen, meski sekarang sudah mencapai 2,97 persen. Jika dibandingkan dengan flu Spanyol pada 1918-1919 di beberapa bagian Swedia utara, angka kematiannya mencapai 3 persen. Swedia berhasil bangkit dari wabah ini dengan skenario herd immunity atau kekebalan kelompok.
Belajar pelajaran dari masa silam, banyak orang di Swedia sekarang optimis bahwa mereka dapat mencapai kekebalan kelompok. Jika dibandingkan, COVID-19 tidak semengerikan flu Spanyol, sebab banyak orang yang terinfeksi diyakini tidak menunjukkan gejala.
Dengan penyebaran yang lebih cepat, maka ambang batas untuk mencapai kekebalan kelompok adalah sebesar 60 persen. Hal Ini dapat dengan cepat dicapai di negara-negara yang tidak memiliki strategi mitigasi yang intensif.
ADVERTISEMENT
Ini juga dapat menurunkan risiko gelombang epidemi selanjutnya. Jadi jika menyelidiki pelajaran dari pandemi COVID-19 di masa depan, kemungkinan akan ada banyak fokus pada keberhasilan atau kegagalan pendekatan awal Swedia yang relatif santai. Ini akan memperhitungkan tidak hanya hilangnya nyawa karena pandemi, tetapi juga konsekuensi sosial dan ekonomi jangka panjang yang mereka sebabkan.
New York Times memperingatkan, mengingat penyebaran virus yang tidak merata dan relatif sederhana di Swedia saat ini, strategi awal yang paling tepat adalah dengan tidak menjadi gegabah. Ke depan, Swedia mungkin harus memberlakukan pembatasan yang lebih ketat, tergantung pada bagaimana virus menyebar, terutama di daerah metropolitan atau ketika sistem kesehatan berada di bawah tekanan yang parah.
Sebagai informasi tambahan, Swedia terdiri dari 10 juta penduduk dengan kepadatan 21 penduduk per kilometer persegi dengan pendapatan per kapita penduduk sekitar Rp. 1 miliar setahun atau Rp. 80-an juta sebulan. (Widi Erha Pradana / YK-1)
ADVERTISEMENT