Dokter Gigi, Pilih Praktik Lengkap dengan APD Berlapis atau Libur Praktik Saja?

Konten dari Pengguna
28 Juli 2020 21:59 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Iliurtasi pemeriksaan gigi. Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Iliurtasi pemeriksaan gigi. Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Tiga bulan lamanya sebuah klinik dokter gigi di Yogyakarta tutup. Baru beberapa hari terakhir buka. Tak ada alasan lain kenapa klinik tutup: dokter gigi takut tertular COVID-19.
ADVERTISEMENT
Ya, media penularan penyakit itu adalah melalui droplet dan aerosol. Padahal di klinik dokter gigi, dua hal itu tidak bisa dihindari karena penanganan pasien tentu akan bersinggungan langsung dengan organ oral.
“Dan sudah ada himbauan dari Kemenkes dan WHO, bahwa dokter yang rentan (terpapar COVID-19) itu yang bekerja di daerah oral, yaitu dokter gigi dan THT,” kata dokter PH (narasumber tidak bersedia dicantumkan nama terangnya) di Yogyakarta, Kamis (23/7).
Tapi resiko harus ditempuh, banyak pasien sakit gigi yang membutuhkan pertolongan. Meski pasien seperti halnya dokternya merasa khawatir, tapi klinik harus segera dibuka.
Memahami kerentanan itu, upaya pengamanan ekstra menjadi mutlak, dari pasien masuk sampai mereka mendapat penanganan medis. Seperti biasa, di pintu masuk klinik telah disediakan tempat cuci tangan lengkap dengan sabun, semua yang akan memasuki klinik wajib mencuci tangannya lebih dulu. Pasien juga dibatasi setiap hari, untuk menghindari penumpukan atau kerumunan. Di ruang tunggu, tempat duduk juga sudah didesain sedemikian rupa supaya pasien bisa duduk dengan jarak yang aman.
ADVERTISEMENT
Sebelum mendapat penanganan medis, pasien wajib mengisi formulir yang berisi berbagai pertanyaan seperti sedang mengalami gejala flu atau batuk tidak, ada riwayat bepergian ke luar kota atau tidak, ada riwayat kontak dengan ODP maupun PDP atau tidak, serta sempat mengalami demam atau tidak. Tapi bagaimanapun, semua itu tidak menjamin bahwa pasien benar-benar bebas dari COVID-19.
“Kan sempat ada kasus pasien yang berbohong kepada tenaga medis, itu yang kami takutkan,” ujarnya.
Apalagi ada klasifikasi orang tanpa gejala (OTG) yang sulit diidentifikasi karena tidak menunjukkan gejala meski telah terinfeksi COVID-19. Hal ini juga membuat PH cukup ketar-ketir meski sudah mengenakan perlindungan berlapis. Beberapa APD yang wajib dikenakan ketika memberikan penanganan kepada pasien di antaranya masker N95, apron atau gaun medis, face shield, sarung tangan, serta yang paling penting adalah vacuum aerosol.
ADVERTISEMENT
Vacuum aerosol adalah alat yang sengaja disediakan untuk menyerap semua aerosol yang dihasilkan dari setiap tindakan kepada pasien. Nantinya, aerosol yang keluar dari mulut pasien akan langsung disedot oleh alat ini.
“Sehingga aerosolnya tidak ke mana-mana, cukup signifikan karena daya serapnya juga kuat,” lanjutnya.
APD Berlapis Menambah Biaya dan Membuat Kurang Nyama
Ilustrasi APD. Foto: Pixabay.
Penggunaan APD secara berlapis oleh dokter gigi membuat biaya operasional menjadi semakin tinggi. Terlebih ada beberapa APD yang sifatnya sekali pakai seperti gaun medis, masker dan sebagainya. Selain menambah biaya operasional, penggunaan APD berlapis juga cukup mengganggu kenyamanan dokter ketika memberikan penanganan kepada pasien.
“Sering berembun dikit face shieldnya, jadi agak mengganggu pandangan. Kalau di awal-awal mungkin memang kurang terbiasa, apalagi N95 kan agak kencang jadi napasnya agak susah ya, tapi lama-lama terbiasa juga,” kata PH.
ADVERTISEMENT
Hal sama juga dialami oleh Justika Oktavia, salah seorang dokter gigi klinik lain di Yogyakarta. Dia juga merasa kurang nyaman dengan APD berlapis yang harus dia pakai, terutama ketika harus menangani pasien. Apalagi sebagai dokter gigi dia harus mengenakan APD level 3, yang tentu akan membuatnya kurang nyaman karena panas dan ruang geraknya menjadi terbatas.
Tapi mau tidak mau APD itu harus dikenakan, mengingat pekerjaannya yang sangat rentan terhadap paparan COVID-19. Meski sebelum mendapatkan penanganan pasien harus melewati proses screening, bukan berarti mereka benar-benar bersih dari virus corona. Karena lagi-lagi, orang dengan status OTG juga menjadi momok mengerikan bagi Justika.
“Seperti kita awal-awal memakai masker yang mana tidak nyaman, tapi sekarang sudah mulai terbiasa. Begitu juga APD, Alhamdulillah rasa tidak nyaman memakai APD sudah mulai berkurang karena terbiasa,” ujar Justika Oktavia.
ADVERTISEMENT
Memilih Libur daripada Diasingkan Masyarakat
Ilustras kerentanan dokter gigi. Foto: Pixabay.
Mafhum dengan tingginya risiko yang ada di hadapannya, Fatimah Zahara memilih libur dulu sebagai seorang perawat gigi di Payakumbuh, Sumatera Barat. Dokter dan perawat gigi tentu akan berurusan dengan area mulut pasien, sementara penyebaran COVID-19 terjadi melalui cairan droplet.
“Sementara yang saya hadapi bukan sekadar percikan,” kata Fatimah Zahara.
Ketika melakukan penanganan terhadap pasien juga mau tidak mau harus dalam jarak dekat, sehingga prosedur jaga jarak mustahil untuk diterapkan. Sementara penyebaran COVID-19 terjadi begitu mudah dan cepat.
“Apalagi APD yang saya punya kurang maksimal dan juga sulit didapatkan,” lanjutnya.
Alasan lain yang membuat Fatimah Zahara memilih tidak bekerja dulu adalah karena dia memiliki riwayat penyakit pada paru-parunya, sehingga dia harus lebih ekstra untuk menjaga dirinya dari paparan virus corona.
ADVERTISEMENT
Yang ditakutkan oleh Fatimah bukan sekadar rasa sakit yang akan dirasakan jika dia sampai terinfeksi COVID-19. Lebih dari itu, dia juga sangat mencemaskan jika dia terinfeksi COVID-19 dia akan mengalami diskriminasi sosial dan diasingkan oleh masyarakat.
Pasalnya pernah terjadi di tempatnya, ada salah seorang pasien COVID-19 yang dijemput oleh rumah sakit, dan setelah itu satu keluarga diasingkan oleh tetangganya. Bahkan kerabat-kerabat pasien yang tidak terinfeksi turut terkena imbasnya, seolah hal itu menjadi aib yang sangat memalukan.
“Intinya, saya juga takut tertular dan takut menularkan. Apalagi saya sedang hamil pertama. Khawatir juga pada kesehatan janin saya. Jadi saya lebih aware akan hal ini,” kata Fatimah Zahara menegaskan. (Widi Erha Pradana / YK-1)
ADVERTISEMENT