Doktrin Agama Jadi Penyebab Maraknya Sunat Perempuan di Indonesia

Konten dari Pengguna
7 Februari 2020 11:14 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sunat pada anak kecil perempuan. Foto : Kaskus
zoom-in-whitePerbesar
Sunat pada anak kecil perempuan. Foto : Kaskus
ADVERTISEMENT
Tradisi sunat perempuan masih banyak terjadi di sejumlah wilayah Indonesia. Padahal, jika merujuk pada pernyataan WHO, Pemotongan/Perlukaan Genitalia Perempuan (P2GP) tidak memberikan manfaat kesehatan apapun. Sebaliknya, sunat justru membahayakan perempuan dalam banyak hal seperti pendarahan berlebih, pembengkakan jaringan genital, demam, infeksi, masalah kesehatan pada kandung kemih, cidera pada jaringan genital, hingga kematian.
ADVERTISEMENT
Dalam jangka waktu panjang, sunat perempuan juga dapat menimbulkan masalah seksual seperti nyeri selama berhubungan badan, penurunan kepuasan, peningkatan risiko komplikasi persalinan, kematian bayi baru lahir, masalah psikologis seperti rendah diri, hingga komplikasi kesehatan mutilasi alat kelamin wanita.
Celakanya, Indonesia merupakan negara ketiga yang mempraktikkan sunat perempuan. Hal ini diketahui dari data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 yang mencatat bahwa 51 persen atau sekitar 13,4 juta anak perempuan usia 0 sampai 11 tahun di Indonesia pernah disunat.
“Ketika dibawa oleh UNICEF ke ajang internasional, maka itu cukup menggemparkan dunia,” ujar Peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM, Sri Purwatiningsih dalam seminar bulanan yang digelar oleh PSKK UGM, Kamis (6/1).
ADVERTISEMENT
Sebelumnya, sunat perempuan di Indonesia banyak yang menganggap sekadar simbolik. Namun berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh PSKK UGM pada 2017, sunat perempuan ternyata benar-benar dilakukan dengan memotong dan melukai genital perempuan. Studi itu mencakup 10 provinsi di Indonesia dengan total 4.250 rumah tangga.
Karena Doktrin Agama dan Tradisi
Purwatiningsih mengatakan sunat perempuan masih terus terjadi karena adanya proses sosialisasi norma yang sangat kuat di tengah masyarakat.
“Alasan mengapa mereka masih melakukan (sunat perempuan), itu 92,7 persen mengatakan perintah agama dan 84,1 % karena alasan tradisi. Karena ada doktrin bahwa ini adalah perintah agama dan juga adat,” lanjutnya.
Karena kuatnya doktrin agama dan adat itu, 97,8 responden mengatakan bahwa sunat perempuan perlu untuk diteruskan. Bahkan di daerah Sulawesi, kata Purwatiningsih ada dukun sunat perempuan yang dengan tegas mengatakan, kalau sunat perempuan ini dilarang, maka mereka siap untuk perang.
ADVERTISEMENT
“Jadi sangat kuatnya pengaruh dari tradisi dan agama ini yang menyebabkan sunat perempuan menjadi sulit untuk dihilangkan,” ujarnya.
Beda Pandangan Antar Mahzab
Seminar di UGM membedah mitos dan fakta sunat perempuan pada Kamis (6/2). Foto : Widi Erha
Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, Hamim Ilyas mengatakan memang terdapat perbedaan pandangan tentang sunat perempuan. Bagi pengikut mahzab Syafi’i, mereka mempercayai bahwa sunat perempuan merupakan perintah agama.
“Sementara yang lain, Maliki dan Hanafi kan tidak wajib, jadi mustahab,” ujar Hamim.
Karena mayoritas umat Islam di Indonesia bermahzab Syafi’i, tidak heran jika sunat perempuan marak terjadi. Asal-usul sunat ini dimulai sejak zaman Nabi Ibrahim yang melakukan sunat di usia 80 tahun. Sementara sebagian ulama menggunakan surat An-Nahl ayat 123 sebagai dasar perintah sunat peremuan. Isi ayat tersebut intinya perintah kepada Nabi Muhammad untuk mengikuti agama Nabi Ibrahim.
ADVERTISEMENT
“Karena khitan sendiri tafsirnya itu bisa khitan laki-laki saja, bisa khitan laki-laki dan perempuan. Itukan tafsir, karena dalilnya hanya khitan,” lanjutnya.
Perintah untuk melakukan sunat pada perempuan secara eksplisit juga tidak ada di Al-Quran. Jika dilihat dari hasil penelitian yang sudah dilakukan, sunat perempuan justru menimbulkan mudhorot atau sesuatu yang tidak baik bagi dirinya. Hal itu semakin menguatkan bahwa sunat perempuan sudah tidak relevan lagi untuk dilakukan saat ini.
Menurutnya, kini yang perlu dilakukan adalah menstransformasikan atau mengubah faham agama masyarakat yang masih memegang teguh sunat pada perempuan sebagai perintah agama.
“Dan itu bukan mengubah Quran, karena Qurannya tetap seperti itu. Yang diubah adalah faham agamanya,” tegas Himam. (Widi Erha Pradana / YK-1)
ADVERTISEMENT