Ekonomi Sulit, Pengeboman dan Penggunaan Sianida oleh Nelayan Meningkat

Konten Media Partner
10 Mei 2021 17:41 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
3 nelayan di Kota Jayapura ditangkap menggunakan bom ikan tahun lalu. Foto: Dok: Humas Polda Papua
zoom-in-whitePerbesar
3 nelayan di Kota Jayapura ditangkap menggunakan bom ikan tahun lalu. Foto: Dok: Humas Polda Papua
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pandemi sangat berdampak pada sulitnya ekonomi masyarakat terutama di daerah yang bertumpu pada sektor pariwisata. Akibatnya, untuk bertahan hidup, banyak masyarakat beralih profesi sebagai nelayan dan tidak mempedulikan kelestarian ekosistem.
ADVERTISEMENT
“Seperti di Bali yang aktivitas nelayan karena terpaksa harus bertahan hidup ini, harus kita tinjau kembali,” kata Direktur Jasa Kelautan Dirjen Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Miftahul Huda, dalam seminar daring yang diadakan oleh Divers Clean Action Indonesia dalam rangka memperingati Hari Terumbu Karang Nasional, Sabtu (8/5).
Aktivitas yang merusak ekosistem laut itu membuat nasib terumbu karang selama pandemi sangat mengkhawatirkan. Terlebih, saat aktivitas merusak seperti pengeboman dan penggunaan sianida untuk mencari ikan itu meningkat, pengawasan oleh pemerintah justru melemah.
“Penanganan COVID-19 menyedot anggaran yang sangat besar, sehingga mengharuskan dilakukannya rasionalisasi di lembaga pemerintahan, termasuk anggaran untuk restorasi dan pengawasan terumbu karang,” jelas Huda.
Padat Karya Restorasi Terumbu Karang
Ilustrasi terumbu karang. Foto: Pixabay
Miftahul Huda mengatakan, pemerintah telah melakukan sejumlah upaya untuk menyelamatkan terumbu karang Indonesia selama masa pandemi ini.
ADVERTISEMENT
Salah satu upaya tersebut adalah dengan mengembalikan aktivitas ekonomi masyarakat terutama untuk meningkatkan pendapatan masyarakat terutama pada level akar rumput yang sekaligus difungsikan sebagai restorasi terumbu karang.
“Maka kita mengenal adanya pemulihan ekonomi nasional, dalam konteks itulah kemudian kita mengenal adanya padat karya untuk restorasi terumbu karang,” ujarnya.
Salah satu program yang telah dilakukan menurut Huda adalah Indonesia Coral Reef Garden (ICRG) yang dilaksanakan secara padat karya. Program ini dilaksanakan di Bali pada 2020 dan melibatkan sekitar 11.200 orang untuk membuat struktur karang buatan pada 74,3 hektar lahan di Bali yang meliputi lima lokasi pesisir di Kabupaten Badung, Buleleng, dan Kota Denpasar.
Masyarakat yang terlibat dalam ICRG adalah yang paling terdampak langsung aktivitas wisata di Bali. Program ini diharapkan mampu menghadirkan atraksi wisata baru sehingga bisa lebih banyak mendatangkan wisatawan pasca pandemi nanti.
ADVERTISEMENT
“Harapannya dapat menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk memulihkan karang, tetapi sekaligus menumbuhkan kegiatan ekonomi masyarakat pada level bawah,” ujar Miftahul Huda.
Kondisi Terumbu Karang Terakhir
Anemon karang lunak. Foto: Pixabay
Di kesempatan yang sama, peneliti senior bidang oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Suharsono, mengatakan, selama lima tahun terakhir sejak 2015 sampai 2016, persentase tutupan karang hidup di Indonesia sebenarnya perlahan mulai membaik.
Secara umum, pada 2015 kesehatan terumbu karang di Indonesia sebesar 31,46 persen. Pada 2016 sempat turun drastis di angka 26,18 persen karena adanya bleaching, yakni peristiwa elnino yang berupa suhu air yang memanas di atas normal.
Tapi pada 2017 perlahan mulai naik lagi menjadi 26,13 persen, pada 2018 27,96 persen, serta pada 2019 ada di angka 29,42 persen.
ADVERTISEMENT
“2020 kami shutdown, tidak melakukan pengamatan karena pandemi. Di 2021 ini teman-teman sudah ke lapangan lagi untuk melihat kondisi terumbu karang selama pandemi, tapi kita belum dapat datanya,” kata Suharsono.
Sementara itu, indeks kesehatan terumbu karang yang penilaiannya meliputi kondisi ikan karang, algae, dan terumbu karang itu sendiri, mendapatkan nilai 5 dari 10, yang artinya kondisinya sedang.
Berbeda dengan Miftachul Huda yang mengkhawatirkan kondisi terumbu karang selama pandemi karena meningkatnya aktivitas nelayan yang merusak, Suharsono justru optimis pandemi membuat kondisi terumbu karang lebih baik. Hal ini karena pandemi membuat aktivitas manusia di laut, terutama aktivitas pariwisata menurun drastis sehingga membuat proses recovery terumbu karang lebih baik.
“Dengan adanya pandemi itu kegiatan-kegiatan yang ada di laut itu menjadi lebih turun sehingga saya punya feeling terumbu karangnya menjadi lebih baik malah, kecuali kalau benar pengebomannya makin banyak terutama di Sulawesi Tenggara dan Selatan. Makanya kita masih menunggu data tahun 2021,” kata Suharsono.
ADVERTISEMENT