Emosi Negatif Siswa Akibat PJJ Makin Mengkhawatirkan, Menteri Nadiem Mesti Tahu

Konten Media Partner
23 Agustus 2021 14:51 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi siswa depresi. Foto: Pexels
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi siswa depresi. Foto: Pexels
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pembelajaran jarak jauh (PJJ) yang diterapkan sejak awal pandemi sampai saat ini membuat emosi negatif yang dialami siswa jauh lebih tinggi ketimbang emosi positifnya. Adapun emosi negatif yang dimaksud di antaranya bosan, sedih, kurang memahami materi, kesulitan belajar, stres, bingung, kurang semangat, kurang puas, merasa kurang efektif, kurang nyaman, kurang bisa mengatur waktu, serta merasa terbebani.
ADVERTISEMENT
Survei yang dilakukan oleh Yayasan Sekolah Menyenangkan dengan melibatkan 1.263 siswa yang mayoritas berada di Jawa, menunjukkan bahwa semakin tinggi jenjang sekolahnya, kesenjangan antara emosi negatif dan positif yang dialami siswa semakin lebar.
Pada jenjang sekolah dasar, emosi negatif yang dialami siswa mencapai 57,2 persen dan emosi positif sebesar 39 persen. Pada jenjang SMP, emosi negatif sebesar 57,1 persen dan emosi positif 40 persen, sedangkan di tingkat SMA, 70,6 persen siswa mengalami emosi negatif dan hanya 24,6 persen yang mengalami emosi positif.
Pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan, Muhammad Nur Rizal, mengatakan bahwa hal ini menunjukkan adanya proses atau strategi belajar dan kurikulum yang tidak tepat atau tidak dibutuhkan serta tidak sesuai dengan perkembangan mental siswa.
ADVERTISEMENT
“Artinya, proses belajarnya seragam, sama dari SD sampai SMA,” kata Rizal dalam konferensi pers secara virtual, beberapa waktu lalu.
Rizal memprediksi, hal ini terjadi karena selama ini yang dianggap menjadi persoalan utama oleh guru dan pemerintah adalah masalah koneksi internet. Sementara persoalan yang menyangkut tentang perkembangan emosi siswa justru terpendam dan jarang mendapatkan perhatian yang serius.
Jaringan Internet Bukan Masalah Utama
Ilustrasi siswa SMA stres menghadapi PJJ. Foto: Pexels
Berdasarkan hasil survei yang didapat, ternyata persoalan utama yang dihadapi para siswa bukanlah masalah jaringan internet, melainkan masalah kesulitan belajar. Kesulitan belajar itu dialami oleh 63,7 persen siswa SD, 68,7 persen siswa SMP, dan 69,4 persen siswa SMA. Sementara masalah jaringan internet hanya dialami 6,4 persen siswa SD, 10 persen siswa SMP, dan 14,3 persen siswa SMA.
ADVERTISEMENT
Persoalan demotivasi menempati peringkat ketiga yang dikeluhkan oleh 5,1 persen siswa SD, 6,1 persen siswa SMP, dan 7,9 persen siswa SMA. Dari hasil survei tersebut, Rizal mengatakan bahwa masalah kesulitan belajar dan demotivasi mesti menjadi prioritas utama yang perlu diselesaikan pemerintah. Namun sejauh ini, dia melihat belum ada fokus pemerintah, dalam hal ini Menteri Nadiem Makarim, yang berupaya menyelesaikan permasalahan ini sebagai masalah yang mendasar di dunia pendidikan sejak awal pandemi.
“Selama ini terlalu berfokus pada masalah jaringan,” ujarnya.
Jika situasi ini terus berlanjut, maka learning loss atau hilangnya kesempatan belajar yang dialami oleh para siswa akan semakin parah. Sebab, akses internet ternyata tidak mampu serta merta menutup kemungkinan terjadinya learning loss selama pembelajaran jarak jauh. Sehingga para siswa tidak hanya mengalami learning loss, tapi juga double learning loss.
ADVERTISEMENT
“Kalau terjadi terus menerus, tidak hanya terjadi learning loss terhadap akses internet tetapi juga learning loss terhadap pengalaman belajar yang positif dan meningkatkan kompetensi yang dibutuhkan di masa depan,” lanjutnya.
Terkait dengan keterampilan yang diperoleh siswa selama PJJ, keterampilan tertinggi merupakan keterampilan hidup dengan persentase siswa SD 29 persen, SMP 34 persen, dan SMA 13 persen. Yang mencengangkan adalah, peringkat kedua ditempati dengan jawaban tidak ada keterampilan yang diperoleh. Bahkan lebih dari 30 persen siswa SMA mengatakan bahwa mereka tidak memperoleh keterampilan apapun selama PJJ.
Artinya, semakin dewasa jenjang pendidikan, maka mereka semakin merasa tidak berguna karena merasa tidak produktif dan tidak mendapat hal baru selama menjalani PJJ.
“Hal ini menguatkan bahwa learning loss semakin menganga. Bukan karena rendahnya akses terhadap proses belajar, tetapi proses belajar itu sendiri tidak berkualitas,” kata Rizal.
ADVERTISEMENT
Kombinasi PJJ dan Tatap Langsung
Ilustrasi PJJ. Foto: Pexels
Namun bagaimanapun, dalam PJJ Rizal mengatakan ada beberapa hal baik yang mesti dipertahankan. Karena itu, ke depan langkah terbaik dalam pembelajaran bukanlah mengganti PJJ sepenuhnya dengan pembelajaran tatap muka, melainkan dengan menggabungkan keduanya.
“Kalau anak kita keinginannya tatap muka tetapi tidak ada narasi untuk untuk menjadi mixed, itu berarti kemunduran. Negara lain sudah maju dengan digital dan tatap muka, kita ingin tatap muka saja,” ujarnya.
Ada beberapa kelebihan dan manfaat dalam PJJ yang mesti dipertahankan sehingga tidak perlu menghapus seluruhnya. Manfaat itu di antaranya pembelajaran yang lebih fleksibel, pembelajaran tidak harus dilakukan di dalam kelas tetapi bisa melalui berbagai cara. Kemudian, ada sejumlah guru yang memberikan tantangan-tantangan berbeda di dalam proses pembelajaran jarak jauh.
ADVERTISEMENT
“Serta PJJ itu sebenarnya bisa memberikan peluang untuk melakukan interaksi secara massal, artinya akses pendidikan bisa ditingkatkan,” ujarnya.
Pandemi menurutnya harus dijadikan titik balik pembaharuan pendidikan. Sebab, masa depan merupakan era digital dimana teknologi bisa dimanfaatkan untuk membantu akses belajar serta meningkatkan mutu pembelajaran agar lebih fleksibel, penuh tantangan, dan interaktif secara massal.
Hal ini sesuai dengan filosofi pendidikan Ki Hadjar Dewantara, dimana pendidikan harus berbasis pada kebudayaan. Artinya, pendidikan harus bisa mengantisipasi perubahan dunia yang begitu cepat, termasuk era revolusi digital. Namun jika pandemi tak dijadikan sebagai titik balik pembaharuan pendidikan, yang terjadi justru pendidikan akan kembali pada pola lama.
“Pembaruan dalam kebijakan yang komprehensif dan sistematis harus segera dilakukan,” kata Muhammad Nur Rizal.
ADVERTISEMENT