Gadis Tunarungu & Tunawicara Jadi Satu-satunya Pewaris Wayang Asli Gunungkidul

Konten Media Partner
4 Oktober 2023 18:14 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Rofitasari Rahayu, gadis tunarungu dan tunawicara yang kini menjadi satu-satunya pewaris dan pelestari wayang sada, wayang khas Gunungkidul. Foto: Dok. Rofitasari Rahayu
zoom-in-whitePerbesar
Rofitasari Rahayu, gadis tunarungu dan tunawicara yang kini menjadi satu-satunya pewaris dan pelestari wayang sada, wayang khas Gunungkidul. Foto: Dok. Rofitasari Rahayu
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Gempa bumi di Yogya pada 2006 hampir merenggut semua yang dimiliki oleh Rofitasari Rahayu, 26 tahun. Sebelum akhirnya dia menjadi satu-satunya pewaris dan pelestari wayang sada, wayang khas Gunungkidul yang diciptakan oleh Mbah Marsono.
ADVERTISEMENT
Ayu, sapaan akrabnya, lahir di Bejiharjo, Karangmojo, Gunungkidul, dalam kondisi tunarungu dan tunawicara.
Saat terjadi gempa Yogya 2006, usaha mie ayam orang tuanya hancur. Usaha itu adalah satu-satunya tumpuan hidup keluarganya, sebagai penopang kebutuhan pangan, papan, sandang, juga pendidikannya.
“Keluarga Ayu tak punya penghasilan lagi, sehingga Ayu harus putus sekolah sampai kelas 3 SD karena tidak ada biaya,” kata pendamping Ayu, Eri Saktiawan, saat ditemui Pandangan Jogja di Creative Hub Fisipol UGM, Selasa (3/10).
Wayang sada yang dibuat oleh Rofitasari Rahayu. Foto: Dok. Rofitasari Rahayu
Eri adalah tetangga Ayu. Selama ini, dia menjadi pendamping dan penerjemah Ayu saat berkomunikasi dengan orang lain.
Sedih dan kecewa dirasakan Ayu karena tak bisa melanjutkan pendidikannya. Tapi dia tak punya pilihan, selain melanjutkan hidup dengan apa yang tersisa.
ADVERTISEMENT
Satu hal yang tersisa dalam hidup Ayu saat itu adalah kecintaannya pada seni, terutama lukis. Sejak putus sekolah, melukis menjadi aktivitas utama setiap hari-harinya.
“Karena Ayu ini tunarungu dan tunawicara, jadi dia agak susah berkomunikasi dengan orang lain. Sehingga melukis menjadi salah satu media dia untuk berkreasi, untuk mengungkapkan apa yang ingin dia ceritakan,” ujarnya.
Pertunjukan wayang sada, wayang khas Gunungkidul. Foto: Dok. Rofitasari Rahayu
Hingga tiba pada suatu hari di tahun 2017 saat Ayu mengikuti acara pelatihan kesenian yang diadakan oleh salah satu komunitas di Gunungkidul. Pada acara itu, Mbah Marsono, dalang yang juga pencipta wayang sada (wayang lidi) menjadi narasumbernya.
Wayang sada adalah wayang yang terbuat dari lidi. Wayang ini diciptakan oleh Mbah Marsono ketika dia ingin sekali menjadi dalang, tapi tak mampu membeli wayang kulit yang harganya mahal.
ADVERTISEMENT
Dia lalu teringat masa kecilnya sering membuat wayang dari tangkai daun singkong. Dari situlah Mbah Marsono kemudian memodifikasi wayang dari tangkai daun singkong itu menjadi wayang lidi sebagai pengganti wayang kulit yang tak mampu dia beli.
Pada pelatihan yang diikuti Ayu itu, usia Mbah Marsono sudah semakin tua. Namun, dia belum menemukan penerus wayang sada yang dia temukan dan dia tekuni selama ini. Bahkan, anak-anaknya juga tak ada yang mau menjadi pewaris dan pelestari wayang sadanya. Di saat bersamaan, pertunjukan wayang sada semakin jarang dilakukan. Eksistensi wayang sada makin terancam.
Eri Saktiawan (kiri) dan Rofitasari Rahayu (kanan) saat diwawancarai Pandangan Jogja di Creative Hub Fisipol UGM, Selasa (3/10). Foto: Arif UT/Pandangan Jogja
Mbah Marsono kemudian melihat Ayu sedang melukis wayang. Dari situlah ia mengetahui jika selain suka melukis, Ayu juga memiliki ketertarikan pada wayang.
ADVERTISEMENT
“Ketika itu langsung diajari bikin wayang sada, ternyata dari sekian banyak murid, yang paling cepat menangkap justru Ayu. Jadi sekarang Ayu jadi pewaris kedua wayang sada, dan sampai sekarang jadi satu-satunya pelestari wayang sada setelah Mbah Marsono,” jelas Eri.
Kini, selain melukis, membuat wayang sada menjadi kegiatan rutin Ayu. Ia bisa membuat semua karakter wayang kulit dalam bentuk wayang sada.
Wayang-wayang itu biasanya dijual melalui kegiatan-kegiatan pameran yang diikuti oleh Ayu. Satu wayang dengan ukuran terkecil dijual mulai dari harga Rp 50 ribu, Rp 75 ribu, sampai Rp 100 ribu. Untuk ukuran jumbo 1 meter, harganya antara Rp 250 ribu sampai Rp 300 ribu.
Rofitasari Rahayu saat memberikan pelatihan membuat wayang sada. Foto: Dok. Rofitasari Rahayu
Ayu juga menerima pesanan wayang sada untuk satu set yang bisa digunakan untuk pertunjukan, harganya antara Rp 1 juta sampai Rp 1,5 juta tergantung jumlahnya.
ADVERTISEMENT
“Di Gunungkidul masih ada pertunjukan wayang sada, tapi memang belum terlalu sering. Saat ini masih terus kami kenalkan ke masyarakat luas dengan harapan pertunjukan wayang sada bisa bersaing dengan hiburan-hiburan yang lain,” kata Eri Saktiawan.
Rofitasari Rahayu dan wayang sadanya mewakili Karang Taruna Bejiharjo, Karangmojo, dalam acara Pekan Inovasi Sosial yang diselenggarakan oleh Karang Taruna DIY. Dari 100 lebih peserta dari seluruh DIY, dia berhasil masuk sebagai 20 terbaik untuk mengikuti pendampingan dan bootcamp di Creative Hub Fisipol UGM pada Selasa (3/10).
Rofitasari Rahayu bahkan lolos sebagai 10 peserta terbaik dan akan melakukan pitching pada 14 Oktober mendatang dan berkesempatan untuk mendapatkan pendanaan dan pendampingan lebih lanjut demi melestarikan wayang sada ke generasi-generasi berikutnya.
ADVERTISEMENT