Hamil Duluan Penyebab 80 Persen Perkawinan Anak di DIY, Darurat Langkah Konkret

Konten dari Pengguna
13 Januari 2021 18:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi kehamilan. Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kehamilan. Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Kehamilan tidak diinginkan (KDT) menjadi penyebab hampir 80 persen perkawinan anak di DIY. Dispensasi pernikahan anak di DIY terpaksa diberikan karena telah terjadi kehamilan dan angkanya terus meningkat dalam 3 tahun terakhir.
ADVERTISEMENT
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk (DP3AP2) DIY, Erlina Hidayati Sumardi, mengatakan, data terakhir pada 2020, ada hampir 700 kasus dispensasi pernikahan anak atau usia dini yang terjadi di seluruh kabupaten dan kota di DIY, dengan penyebab utama adalah kehamilan di luar nikah atau KTD.
“KTD hampir di semua kabupaten dan kota menjadi penyebab utama pernikahan anak, angkanya hampir mencapai 80 persen dari total pernikahan usia anak-anak di DIY,” ujar Erlina dalam dialog daring DP3AP2 DIY dan TVRI dengan topik “Pendewasaan Usia Perkawinan/Perkawinan Usia Anak di DIY Melalui Peraturan Desa” pada Selasa (12/1).
Faktor lain penyebab pernikahan anak di usia dini di antaranya faktor ekonomi dan kemiskinan, nilai budaya, regulasi, globalisasi yang mempengaruhi perilaku remaja, serta ketidaksetaraan gender.
ADVERTISEMENT
“Artinya relasi kuasa, dimana kadang kala anak tidak memiliki kekuasaan untuk mengatakan tidak ketika orangtuanya meminta untuk segera menikah, juga menjadi penyebab perkawinan usia anak,” ujar Erlina Hidayati Sumardi.
Pernikahan untuk Selamatkan Kehormatan Keluarga
Karena penyebab utama pernikahan anak di usia dini adalah KTD, Ketua DPD LPM DIY, KPH Notonegoro, mengatakan bahwa dibutuhkan langkah-langkah yang lebih konkret dan mendasar daripada sekadar regulasi pembatasan usia minimal pernikahan.
Menurutnya, regulasi saja tidak cukup untuk menekan kasus pernikahan anak di usia dini. Pasalnya, ketika sudah terjadi KTD, regulasi seperti apapun akan sangat sulit mencegah pernikahan anak di usia dini. Sebab, yang berkembang di tengah masyarakat sekarang, pernikahan seolah menjadi satu-satunya solusi dan dianggap sebagai penyelamat kehormatan keluarga.
ADVERTISEMENT
“Karena bagi sebagian orang, terutama orang tua, melihat bahwa pernikahan ini akan menyelamatkan muka mereka,” ujar KPH Notonegoro.
Pengadilan agama pun akan sangat sulit untuk menolak permohonan dispensasi pernikahan anak di usia dini jika yang menjadi alasan adalah kehamilan di luar nikah. Akibatnya, meski sudah ada regulasi, sangat sedikit permohonan dispensasi pernikahan anak yang ditolak oleh pengadilan agama.
“Pada kenyataannya kan yang ditolak sangat sedikit, karena kalau sudah terjadi KTD seperti itu akan sangat kesulitan,” lanjutnya.
Menurutnya, solusi yang paling tepat dilakukan adalah dengan pendekatan sosio-kultural, alih-alih pendekatan legal konstitusional. Jikapun akan dibuat regulasi pencegahan perkawinan anak ini sampai di tingkat SD, perlu dipahami bahwa regulasi ini bukanlah elemen yang bisa berdiri sendiri.
ADVERTISEMENT
“Selama KTD ini tidak bisa kita cegah, pernikahan dini ini akan terus terjadi,” ujarnya.
Dalam permasalahan ini, LPM menurutnya dapat memainkan peran yang strategis mengingat di dalamnya terdapat biro pemberdayaan keluarga. Fungsi biro ini perlu dioptimalkan melalui program-program pemahaman kepada anak-anak muda di usia dini supaya tidak sampai terlibat dalam pergaulan yang berakhir kepada KTD.
Jikapun nanti ada alasan-alasan lain di luar KTD, kemungkinan besar ketika sampai di pengadilan agama untuk mengajukan dispensasi, pengadilan agama masih bisa menolak dan menyarankan supaya tidak perlu sampai terjadi pernikahan di usia dini.
“Tapi kalau penyebabnya itu KTD, pengadilan agama pun sudah kesulitan untuk memberi advice,” ujar KPH Notonegoro.
Aktivitas Anak Muda
Perkawinan anak menurut KPH Notonegoro tidak lepas dari bergesernya nilai-nilai yang dianut anak muda. Pergeseran ini disebabkan luasnya referensi mereka dibandingkan generasi sebelumnya. Di Internet, dengan mudahnya anak-anak mendapatkan akses yang tidak terbatas, bahkan yang tidak sesuai dengan mereka.
ADVERTISEMENT
“Ini yang menimbulkan pergeseran-pergeseran nilai,” ujarnya.
Satu-satunya cara yang bisa dilakukan untuk mencegah masuknya nilai-nilai yang tidak diinginkan menurutnya adalah dengan membentengi anak-anak muda dengan nilai-nilai warisan budaya leluhur.
Agama yang mestinya bisa membentengi benteng, terkadang justru dijadikan dalih untuk menikah dini dengan alasan menghindari zina. Padahal, jika nilai-nilai agama itu benar-benar diamalkan, maka tidak perlu ada ketakutan untuk melanggar nilai agama.
“Misalnya mereka mengugemi nilai-nilai yang diberikan oleh agama, sebenarnya tidak perlu ada ketakutan untuk segera menikah,” ujarnya.
Supaya anak-anak muda tidak tergesa-gesa berpacaran atau menjalin hubungan dengan lawan jenis, bisa juga dipikirkan program-program positif yang bisa mengalihkan perhatian dan energi mereka ke kegiatan-kegiatan yang lebih produktif.
“Berikan kesibukan mereka yang lebih bermanfaat supaya mereka tidak terjerumus ke pergaulan yang terlalu bebas,” ujar KPH Notonegoro.
ADVERTISEMENT
Kegiatan-kegiatan itu bisa saja berupa olahraga, musik, permainan tradisional, berkebun, membuat berbagai macam kerajinan, aktif di organisasi kepemudaan, atau kegiatan-kegiatan lain sesuai dengan bakat dan minat mereka.
Dampak Mengerikan
Perkawinan anak semestinya bisa dicegah oleh semua pihak karena dampaknya sangat berbahaya baik bagi keluarga maupun negara.
Fenomena perkawinan anak di usia dini menurut Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk (DP3AP2) DIY, Erlina Hidayati Sumardi,
adalah fenomena yang mengerikan karena akan berdampak panjang bagi keluarga baru yang terbentuk, baik dari segi kesehatan fisik maupun mental.
Belum matangnya organ-organ reproduksi pada anak, membuat mereka berpotensi mengalami komplikasi berbagai jenis penyakit baik pada proses kehamilan maupun ketika melahirkan.
ADVERTISEMENT
Tak hanya itu, bayi yang lahir dari seorang ibu yang usianya di bawah 20 tahun juga memiliki potensi meninggal dua kali lebih tinggi pada usia 28 hari pertama.
Kondisi mental anak-anak yang usianya masih di bawah 20 tahun juga belum matang untuk membangun rumah tangga karena emosi yang belum stabil. Ini akan berpotensi munculnya kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) serta meningkatnya angka perceraian.
“Keluarga yang baru terbentuk atau keluarga muda ini rentan sekali terhadap adanya kekerasan,” ujarnya.
Perkawinan anak di usia dini juga akan menghambat pertumbuhan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan SDGs sekaligus. Pasalnya, karena menikah ketika masih sekolah, maka mereka harus putus sekolah.
“Karena itu, perkawinan sama saja dengan membangun peradaban bangsa,” ujar Erlina. (Widi Erha Pradana / YK-1)
ADVERTISEMENT