Hanya 3 Persen Daratan Bumi yang Belum Dirusak Manusia, Sebagiannya di Indonesia

Konten Media Partner
18 April 2021 19:28 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi kerusakan lingkungan. Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kerusakan lingkungan. Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Sebagian besar daratan di Bumi sudah tidak lagi memenuhi syarat ekologis yang utuh. Dalam penelitian menyeluruh terhadap ekosistem Bumi yang dilaporkan pada 15 April di Frontiers in Forests and Global Change, hanya 3 persen daratan di Bumi yang belum dirusak oleh manusia. Selama 500 tahun terakhir, terlalu banyak spesies yang hilang, atau paling tidak jumlahnya berkurang.
ADVERTISEMENT
Dari sedikit yang tersisa itu, hanya 11 persen yang termasuk ke dalam kawasan lindung. Sebagian besar habitat asli ini ada di garis lintang utara, di hutan boreal Kanada atau tundra Greenland yang tidak kaya akan keanekaragaman hayati. Sementara sebagian kecil yang keanekaragaman hayatinya masih utuh ada di titik-titik kecil di hutan hujan yang kaya spesies seperti di Amazon, Kongo, serta di Indonesia.
“Ini adalah yang terbaik, tempat terakhir di Bumi yang tidak kehilangan satu spesiespun yang kami ketahui,” kata Oscar Venter, ilmuwan konservasi di University of Northern British Columbia di Prince George seperti dimuat oleh Nature baru-baru ini.
Menurutnya, mengidentifikasi tempat-tempat seperti itu sangat penting, terutama untuk wilayah yang terancam pembangunan dan membutuhkan perlindungan seperti hutan hujan Amazon dan hutan di Indonesia yang ada di Papua.
ADVERTISEMENT
Ilmuwan konservasi dari seluruh dunia telah lama mencoba memetakan berapa banyak bagian dari planet ini yang tidak terdegradasi oleh aktivitas manusia. Perkiraan sebelumnya menggunakan citra satelit atau data demografis mentah yang ditemukan di mana saja, dari 20 hingga 40 persen dunia bebas dari serbuan manusia yang jelas terlihat seperti jalan, polusi cahaya, atau bekas luka deforestasi yang menganga.
Namun, kanopi hutan dapat menyembunyikan ekosistem yang sebenarnya sudah kosong di bawahnya. Selain itu, banyak faktor perusak ekosistem lain yang sulit dideteksi oleh satelit, misalnya perburuan, dampak spesies invasif, serta perubahan iklim.
Ilustrasi ekosistem alami. Foto: Pixabay
Definisi ekosistem yang utuh dan berfungsi sepenuhnya sebenarnya masih terus menjadi perdebatan para ahli. Namun ahli biologi konservasi dari Universitas Cambridge, Andrew Plumptre dan rekan-rekannya telah mencoba mendefinisikannya lebih maju dengan cara mencari habitat yang mempertahankan ekosistem alami mereka seperti pada 1500 Masehi. Metode itu juga yang digunakan oleh IUCN untuk menilai kepunahan spesies meski manusia telah mengubah ekosistem dengan memusnahkan mamalia besar selama ribuan tahun.
ADVERTISEMENT
Dibutuhkan lahan yang luas untuk mendukung spesies yang berkeliaran, sehingga awalnya para peneliti mempertimbangkan area sekitar 10.000 kilometer persegi. Tim menggabungkan kumpulan data yang ada tentang keutuhan habitat dengan tiga penilaian berbeda tentang di mana spesies telah hilang yang mencakup sekitar 7.500 spesies hewan.
Hasilnya, 28,4 persen dari luas daratan atau lebih dari 10.000 kilometer persegi, masih relatif bebas dari gangguan manusia. Namun, hanya 2,9 persen daratan yang masih menampung semua spesies yang sama pada 500 tahun silam.
Sejumlah peneliti mempertanyakan apakah peneliti dalam studi ini mendefinisikan keutuhan ekologis terlalu ketat. Pertanyaan itu salah satunya datang dari Jedediah Brodie, seorang ahli ekologi konservasi di Universitas Montana di Missoula.
“Banyak ekosistem di seluruh dunia telah kehilangan satu atau dua spesies tetapi masih merupakan komunitas yang dinamis dan beragam,” kata Brodie.
ADVERTISEMENT
Menurut dia, penurunan beberapa spesies mungkin tidak berarti menjadi bencana bagi seluruh ekosistem. Sebab, spesies lain mungkin akan masuk untuk mengisi peran tersebut.
Namun bagaimanapun, penelitian ini merupakan titik awal yang berharga, yang berhasil menunjukkan kepada manusia, “di mana dunia terlihat seperti 500 tahun lalu dan memberi kita sesuatu untuk dituju,” kata Plumptre.
Ini juga telah mengidentifikasi area yang matang untuk restorasi. Restorasi dapat dilakukan dengan memasukkannya kembali beberapa spesies yang telah hilang dari sebuah ekosistem. Para peneliti menghitung, dengan memasukkannya lima spesies yang hilang dapat memulihkan 20 persen tanah ke kejayaannya.
Reintroduksi spesies telah berhasil dengan baik di tempat-tempat seperti Taman Nasional Yellowstone, di mana restorasi serigala telah mengembalikan keseimbangan ekosistem. Skema seperti ini mungkin tidak berhasil di semua tempat. Namun seiring dengan diskusi komunitas global tentang cara melindungi alam pada dekade berikutnya, Plumptre berharap studi ini akan mendorong pembuat kebijakan melakukan perbaikan.
ADVERTISEMENT
“Tidak hanya melindungi lahan yang ada, tetapi juga memikirkan untuk memulihkannya menjadi apa, bisa jadi,” kata dia.