Hari Pertama Sekolah Ajaran Baru di Masa Pandemi yang Mengharu Biru

Konten dari Pengguna
14 Juli 2020 15:16 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Lingga Hardian Kelas 4 dan Aufar Tsaqif Kelas 2, keduanya bersekolah diSD Muhammadiyah Wirobrajan 3 sedang melukan upacara bendera melalui aplikasi teleconference Zoom. Foto: Agung Hari Prastowo.
zoom-in-whitePerbesar
Lingga Hardian Kelas 4 dan Aufar Tsaqif Kelas 2, keduanya bersekolah diSD Muhammadiyah Wirobrajan 3 sedang melukan upacara bendera melalui aplikasi teleconference Zoom. Foto: Agung Hari Prastowo.
ADVERTISEMENT
Layaknya siswa baru lainnya, Ady Afran Izzuddin, 12 tahun, sudah mandi dan sarapan ketika jarum jam baru menunjukkan pukul enam pagi. Seragam sudah dicuci dan disetrika rapi, lengkap dengan dasi, sepatu hitam, dan kaos kaki putihnya. Bedanya, hari ini dia tidak berangkat ke sekolah barunya di SMP Negeri 4 Banyumas.
ADVERTISEMENT
Sebagai siswa baru, harusnya hari ini menjadi momentum menggembirakan yang bersejarah untuknya. Selain bertemu dan berkenalan dengan teman-teman baru, hari pertama masuk sekolah adalah momentum untuk memamerkan seragam baru.
Tapi karena pandemi, momen sekali seumur hidup itu tidak pernah dia alami. Keinginan untuk memakai seragam baru pun harus dikubur lagi, apalagi untuk memamerkannya kepada teman-temannya yang masih SD. Karena situasi belum menentu, uang yang sudah dibayarkan ke sekolah untuk membeli seragam bahkan dikembalikan lagi, menunggu sampai situasi benar-benar membaik.
Putri Marchella Yasmin, kakak Ady yang mendampingi proses sekolah hari pertama secara daring mengatakan bahwa adiknya sering mengeluh. Apalagi dia sudah sangat bosan karena sudah berbulan-bulan harus belajar dari rumah.
“Ya harusnya kan sekarang hari pertama masuk sekolah baru, harusnya bisa dapat teman-teman baru, terus merasakan sekolah di SMP kayak apa sih,” kata Putri Marchella Yasmin, kakak Ady yang mendampingi proses belajarnya, Senin (13/7).
ADVERTISEMENT
Hari pertama ini, Ady hanya membaca-baca materi Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) yang sudah dibagikan dalam bentuk berkas digital sejak pukul 07.00 WIB sampai 11.00 WIB. Berkas itu berisi berbagai materi seperti pengenalan lingkungan sekolah, cinta tanah air, bela negara, wawasan wiyata mandala, serta pembinaan mental agama di sekolah.
“Pakai seragam sekolah terus entar difoto terus dikirim ke grup kelas, baru dikasih materi MPLS,” lanjut Putri.
Setelah mendapat materi-materi itu, tugas Ady adalah menuliskan kembali di buku tulis. Ini juga yang kemudian dikeluhkan olehnya selain persoalan kuota internet yang boncos. Sebab, selama empat jam penuh dia harus mantengin layar gawai.
“Sekarang awal-awal masuk juga sudah ribet banget, apalagi nanti kalau sudah mulai pembelajaran,” ujar Putri dengan logat bahasa Jawa Banyumasan.
ADVERTISEMENT
Ada Kekosongan di Awal Tahun Ajaran Baru
Vito, Andre dan Ferdinand tetap pakai seragam sekolah meski belajar di rumah. Foto: Nur Agustinus
Ada kekosongan yang dirasakan Etik Triharjanti, guru kelas 1 di SD Kanisius Wirobrajan. Andai saja tidak ada pandemi, harusnya hari pertama tahun ajaran baru akan diisi dengan wajah-wajah baru anak-anak yang menggemaskan. Tingkah anak yang masih malu-malu di dalam kelas, bahkan untuk izin ke toilet. Tapi hari itu, wajah-wajah baru itu tidak ada di kelasnya.
“Kehilangan sekali, momentum ini (hari pertama sekolah) kan biasanya paling berkesan. Bagaimana kesan pertama siswa kan terbentuk di hari pertama ini,” ujar Etik Triharjanti.
Sebagai guru kelas 1, Etik juga kehilangan momentum bagaimana orangtua merasa khawatir atau tidak rela meninggalkan anaknya di hari pertamanya sekolah. Hal itu kata Etik selalu terjadi setiap tahun, tapi kali ini pemandangan itu tidak ada lagi.
ADVERTISEMENT
Tidak adanya anak-anak juga membuat dia kehilangan bahan untuk mengusir kejenuhan. Biasanya, tingkah-tingkah lucu dan polos anak-anak baru selalu berhasil membuatnya tertawa ketika beban pekerjaan benar-benar menjadi tekanan.
Susasana SD Kanisius Wirobrajan Yogyakarta. Foto: Widi Erha Pradana.
Meski sangat berbeda dengan yang sudah-sudah, namun pelaksanaan sekolah hari pertama secara daring ini bukan tanpa kesan sama sekali. Meski dengan situasi yang serba terbatas, perkenalan melalui video menurutnya cukup mengobati kerinduan atas momentum bertemu dengan anak-anak baru di kelasnya.
Karena tidak mungkin melakukan perkenalan secara tatap muka, teknis perkenalan dilakukan dengan cara siswa mengirimkan video perkenalan diri ke grup kelas. Setelah itu, guru membalas perkenalan itu dengan video perkenalan juga. Awalnya perkenalan akan dilakukan melalui aplikasi video konferensi, tapi karena situasi semua orangtua tidak memungkinkan, hal itu diurungkan untuk dilakukan.
ADVERTISEMENT
“Mereka (anak-anak) sangat gembira, karena hari ini mereka mengirimkan videonya itu memakai seragam. Mereka kan sudah pengin banget pakai seragam, keceriaan mereka itu kelihatan kalau sebetulnya sudah ingin banget sekolah,” lanjutnya.
Etik Triharjanti, guru kelas 1 di SD Kanisius Wirobrajan. Foto: Widi Erha Pradana
Tahun ini ada penurunan jumlah siswa baru yang cukup signifikan di SD Kanisius Wirobrajan. Dibandingkan tahun sebelumnya, siswa baru mencapai 80-an anak, tahun ini hanya ada 55 siswa baru. Etik mengatakan pandemi cukup menjadi faktor penting atas berkurangnya siswa baru ini.
“Karena banyak orangtua yang milih anaknya di TK dulu daripada dimasukkan ke SD tapi situasinya masih begini,” ujar Etik.
Dimulainya Peradaban Serba Daring
Hari pertama siswa baru suasana SMA Negeri 1 Yogya tampak sunyi. Foto: Widi Erha Pradana.
Untuk pertama kalinya, penyambutan siswa baru di SMA Negeri 1 Yogyakarta dilaksanakan secara daring. Jika tidak ada pandemi, harusnya ada PLS yang diikuti oleh 321 siswa baru. Tapi ritual itu harus ditiadakan karena pandemi, dan itu adalah sebuah sejarah.
ADVERTISEMENT
“Harusnya mereka semua hari ini berkumpul di aula, saling berkenalan dan mengenal lingkungan sekolah,” ujar guru sekaligus Humas SMA Negeri 1 Yogyakarta, Badiono.
Karena dihadapkan pada situasi baru, PLS kali ini tidak cukup menghadirkan pejabat sekolah maupun pejabat instansi pendidikan. Badiono mengatakan, sekolah juga menghadirkan psikolog untuk memotivasi siswa supaya siap menjalani proses pembelajaran dengan situasi baru ini: peradaban serba daring.
“Kita kan juga perlu mendorong, supaya meskipun dilaksanakan secara daring tapi harapannya siswa tetap bisa belajar dengan optimal,” lanjutnya.
Salah satu siswa baru SMP N 1 Yogya mengikuti hari pertama melalui gawai di teras rumahnya. Foto: dokumentasi sekolah.
Hal serupa terjadi juga di SMP Negeri 1 Yogyakarta, sekitar 250 siswa baru harus menjalani MPLS secara daring. Mestinya, orangtua siswa baru juga hadir dalam penyambutan siswa baru, tapi apalah daya, pandemi lagi-lagi memaksa PLS dilaksanakan secara daring.
ADVERTISEMENT
“Di tempat kami materi sudah di-record minggu lalu dan di-upload di channel Youtube sekolah,” ujar Wakil Kepala SMP Negeri 1 Yogyakarta bagian Kesiswaan, Maria Anggororini.
Sebelumnya, para siswa baru hanya melihat wali kelas mereka melalui laman sekolah. Tapi di PLS hari pertama itu, mereka berkesempatan untuk bertatap muka dengan wali kelasnya masing-masing meski hanya melalui layar laptop atau gawai.
“Mereka sangat terkesan ketika bertatap muka dengan para wali kelasnya yang sebelumnya hanya mereka lihat di profil sekolah,” lanjutnya.
Tidak Ada Waktu untuk Bersedih
Salah satu siswa SMP N 1 Yogyakarta mengikuti hari pertama sekolah didampingi orang tuanya. Foto: Dokumentasi sekolah.
Kehilangan momentum yang selalu ada setiap tahun adalah sesuatu yang menyedihkan. Melihat suasana sekolah yang sepi di hari pertama masuk sekolah bukanlah hal yang menyenangkan. Apalagi masuknya siswa baru merupakan salah satu momentum paling meriah yang selalu dirayakan setiap sekolah.
ADVERTISEMENT
Tapi bagi Badiono, sebagai guru di SMA 1 Yogya tidak ada waktu untuk larut dalam kesedihan. Sebab, tantangan besar ada di hadapan para guru: bagaimana bisa mendidik siswanya secara optimal di tengah situasi sulit seperti sekarang.
“Guru sekarang lebih cenderung menyiapkan materi-materi yang akan disampaikan secara online, enggak ada waktu buat larut dalam kesedihan terlalu lama,” ujar Badiono.
Daripada mengajar secara tatap muka, mengajar daring menurutnya jauh lebih sulit. Sebab, guru dituntut untuk melakukan lebih banyak hal, mulai dari membuat media pembelajaran dan materi, mengoperasikan perangkat, melakukan presentasi, sampai memastikan semua siswa bisa mengikuti pembelajaran dengan baik.
“Awalnya memang ada yang sedih karena tidak bisa ketemu siswanya, tapi setelah itu mereka fokus bagaimana menyiapkan pembelajaran lewat online,” lanjutnya.
Lingga Hardian Kelas 4 dan Aufar Tsaqif Kelas 2, keduanya bersekolah diSD Muhammadiyah Wirobrajan 3 sedang melukan upacara bendera melalui aplikasi teleconference Zoom. Foto: Agung Hari Prastowo.
Badiono tidak ingin situasi sekarang menjadi era atau peradaban baru, melainkan hanya era darurat saja yang besok akan kembali seperti sedia kala. Pasalnya, tujuan pendidikan menurutnya sangat musykil terwujud jika dilakukan secara daring. Jika sekadar mengajar dan memberikan materi, mungkin lambat laun bisa dilakukan secara optimal melalui daring. Tapi untuk mendidik, perlu interaksi langsung untuk melakukannya.
ADVERTISEMENT
Hal senada dikatakan oleh Etik Triharjanti, bahwa mengajar secara daring justru lebih berat ketimbang mengajar secara konvensional di dalam kelas. Mengajar secara daring artinya dia harus siap sedia kapanpun dengan gawainya, bahkan tidak jarang sampai tengah malam.
“Kan banyak juga orangtua siswa yang kerja dan baru bisa ngajari anaknya malam hari,” ujar Etik.
Bagi guru-guru muda, menatap layar laptop atau gawai berjam-jam mungkin bukan perkara sulit. Tapi bagi Etik dan guru senior lainnya, pekerjaan itu sangat menyiksa indera penglihatannya. Apalagi tidak semua tulisan siswa ramah untuk mata, membuat Etik harus bekerja lebih keras lagi untuk memeriksa setiap pekerjaan anak didiknya.
“Jadi kalau ada yang bilang WFH itu lebih enak, itu salah. Kita malah kayak kerja 24 jam, belum kalau ada masalah koneksi internet,” lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Cerita Ady, Etik, Badiono, dan Anggororini adalah sepenggal kisah kecil bagaimana peradaban baru ini dimulai. Mereka hanya bagian kecil dari beralihnya era fisik ke nonfisik yang tercatat sejarah. Peradaban baru ini tidak hanya dialami oleh mereka, tapi juga oleh siswa dan guru di seluruh Indonesia, atau bahkan di dunia.
Agung Hari Prastowo, dua anaknya, meski bukan siswa baru, merasa lucu sekaligus trenyuh melihat kedua anaknya melakukan upacara bendera di depan layar komputer. Sebagai orang yang berprofesi di dunia internet, tetap saja peristiwa yang dialami kedua anaknya adalah pengalaman yang baginya mendebarkan.
"Apalagi melihat mereka sungguh-sungguh mendengarkan dengan seksama pidato pembina upacara, rasanya benar-benar aneh, tapi inilah kenyataan, saya tidak tahu masa depan akan seperti apa, mendebarkan saja rasanya," kata Agung. (Widi Erha Pradana / YK-1)
ADVERTISEMENT