Hari Tuberkulosis Sedunia: Dalam Ancaman Tuberkulosis di Tengah Pandemi Corona

Konten dari Pengguna
24 Maret 2020 8:16 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilsutrasi TB. FOto everydayhealth.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilsutrasi TB. FOto everydayhealth.com
ADVERTISEMENT
Nyaris setahun lamanya, Farchan Riyadi batuk tak sembuh-sembuh. Tiga kali sudah dia memeriksakan kondisinya ke puskesmas, namun hasilnya nihil. Dokter mengatakan, Farchan hanya batuk biasa sehingga hanya diberi obat batuk dan penurun panas.
ADVERTISEMENT
Alih-alih sembuh, sakitnya justru makin parah. Batuknya jadi berdahak, demam, dan berat badannya turun jadi 45 kilogram dari yang tadinya 50 kilogram. Merasa semakin payah, akhirnya Farchan kembali ke puskesmas untuk yang keempat kalinya.
“Soalnya demam panas udah enggak ketahan,” katanya pekan lalu.
Di Puskesmas, Farchan melakukan cek dahak dan darah. Dari hasil laboratorium itu, Farchan dinyatakan positif terkena tuberkulosis (TB). Selama enam bulan, Farchan harus menjalani terapi obat. Tiga bulan pertama, Farchan harus meminum obat dua tablet sehari, sedangkan tiga bulan kedua dilanjut satu tablet per dua hari.
“Kalau sampai telat, atau berhenti minum obat, harus ngulang dari awal. Nanti kalau udah tiga bulan terapi rasanya kayak udah sembuh, tapi sebenarnya belum sembuh, itu seperti jebakan batman,” lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Beruntung TB yang diderita Farchan baru masuk kategori pertama, sehingga tak perlu rawat inap. Meski begitu, TB cukup mengganggu aktivitasnya, terlebih ketika divonis positif terkena TB pada Oktober 2011 silam, dia masih berstatus sebagai mahasiswa di dua kampus, Universitas Negeri Yogyakarta dan Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta.
Seminggu sekali dia harus rutin ke puskesmas untuk kontrol sekaligus mengambil obat. Setiap datang, ada buku laporan semacam rapor untuk mengetahui perkembangannya. Setelah minum obat sebenarnya kondisinya jauh lebih baik, namun ketika malam batuknya semakin menjadi, demam pula.
“TBC membunuh pelan-pelan, enggak kayak corona,” ujarnya.
Setelah menjalani pengobatan selama enam bulan, Farchan kembali melakukan cek dahak, dan akhirnya dia dinyatakan sembuh total. Dia juga sudah tidak batuk dan berdahak lagi.
ADVERTISEMENT
55 Persen Terduga TB di Yogyakarta Belum Ditemukan
Ilustrasi TB. Foto : erj.ersjournals.com
Kepala Seksi Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (P2P) Dinas Kesehatan Provinsi DIY, Veronika Nur Hardiati, mengatakan peringatan hari TB sedunia pada 24 Maret pada tahun ini benar-benar terasa berat. Sebab, Indonesia sebagai negara endemis TB menempati peringkat ketiga dengan jumlah penderita terbesar di dunia harus menghadapi ancaman virus corona. WHO, pada 2018 merilis jumlah penderita TB di Indonesia mencapai 840 ribu jiwa, di bawah India dengan jumlah penderita mencapai 2,7 juta jiwa dan China 889 ribu jiwa.
Di Provinsi Yogyakarta, berdasarkan data Dinkes DIY, angka estimasi atau perkiraan TB pada 2019 mencapai 9.064 jiwa, namun yang berhasil ditemukan atau case detection rate (CDR) baru 4.101 kasus atau sekitar 45,25 persen.
ADVERTISEMENT
“Artinya ada sekitar 55 persen yang belum ditemukan di DIY, bisa jadi mereka ada di sekitar kita, keluarga kita, atau orang di sebelah kita pas lagi makan di warung, itu kan mengerikan sekali,” kata Veronika.
Sleman memiliki jumlah penderita TB tertinggi, yakni 1.178, diikuti oleh Bantul 1.075 orang, Kota Jogja 1.048, Gunungkidul 481, serta Kulon Progo 319 orang.
Banyaknya kasus TB yang belum ditemukan membuat pencarian kasus TB harus semakin diintensifkan. Selain menemukan secara pasif, dalam arti pasien yang datang ke faskes, pemerintah juga perlu pro aktif untuk mencari penderita-penderita TB yang belum ditemukan. Sebenarnya pemerintah DIY sudah sangat gencar melakukan sosialisasi terkait TB dan melibatkan lintas program maupun sektoral untuk mencari kasus yang belum ditemukan.
ADVERTISEMENT
Setiap pasien TB, kontaknya akan dicek, dengan siapa saja dia berhubungan, baik di rumah, tempat kerja, maupun sekolahnya. Pemerintah juga menjalin kerja sama dengan komunitas-komunitas yang rentan seperti rutan, sekolah, atau perguruan tinggi yang pernah ditemukan kasus TB.
“Persis dengan penanganan pasien corona. Untuk kasus TB kita juga berkolaborasi dengan program HIV dan program DM (diabetes melitus). Itu salah satu upaya lintas program kami,” lanjutnya.
Penderita HIV dan diabetes melitus, kata Veronika akan mengalami penurunan imunitas, sehingga sangat rentan terserang berbagai penyakit, tak terkecuali TB. Karena merupakan negara endemis TB, sehingga semua penderita HIV dan DM yang ditemukan harus discreening TB.
“Satu lagi, ibu hamil. Sekarang kebijakan kita ibu hamil untuk pemeriksaan sebelum melahirkan harus discreening TB,” jelas Veronika.
ADVERTISEMENT
Kesamaan Corona dan TB
Veronika mengatakan ada dua masalah terbesar dalam mengatasi TB di Indonesia, yaitu masih banyak kasus yang belum ditemukan dan proses penyembuhan atau pengobatannya. Angka keberhasilan pengobatan atau success rate (SR) TB di DIY pada 2019 sebesar 84,2 dari total kasus yang ditemukan. Padahal untuk mencapai standar baik, SR TB di suatu daerah minimal mencapai 90 persen.
“Itu karena ada yang meninggal, kemudian ada yang putus obat, terus ada yang gagal,” kata Veronika.
Dekan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FKMKK) UGM, Ova Emilia, mengatakan putus obat menjadi masalah besar di Indonesia karena tingkat disiplin pasien dalam menyelesaikan masa pengobatannya.
Di Vietnam, untuk mendisiplinkan pasien, pemerintahnya melibatkan aparatur desa dari ketua RT sampai kepala desa. Aparat ini bertugas untuk mengawasi keluarga pasien dan pasien benar-benar disiplin dalam meminum obatnya.
ADVERTISEMENT
“Keluarga dihukum kalau sampai ketahuan si pasien tidak minum obat. Pak RT sampai kepala desa ngecek,” kata Ova yang pernah melakukan studi mengenai TB di Vietnam.
Penanganan TB menurut Ova sama persis dengan penanganan virus corona. Sejak dinyatakan ada yang menderita TB, satu kampung akan diperiksa adakah yang sudah tertular. Penanganan berbasis kampung tersebut dilanjutkan hingga masa pengobatan pasien selesai.
“Vietnam sukses tangani corona karena dia juga sukses tangani TB. Ini hampir mirip soalnya,” jelasnya.
Mengapa TB di Indonesia Sangat Mengerikan
Meski sudah disosialisasikan melalui berbagai media, Veronika juga tidak menampik ada masyarakat yang belum memahami gejala TB. Masih adanya stigma negatif terhadap penderita TB, meski sudah tidak sebesar beberapa tahun sebelumnya, membuat banyak terduga penderita TB yang menyangkal dirinya terkena TB.
ADVERTISEMENT
“Mungkin ada yang khawatir kalau dia akan dijauhi oleh orang-orang di sekitarnya. Tapi sudah tidak banyak yang seperti itu,” kata Veronika.
Ada beberapa gejala TB yang perlu diketahui, pertama batuk selama dua minggu atau lebih. Gejala lain adalah batuk disertai darah atau dahak, sesak napas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, serta demam. Jika seseorang merasakan gejala-gejala itu, maka sesegera mungkin memeriksakan dirinya ke dokter sebelum sakitnya semakin parah.
Beberapa faktor juga menjadikan TB menjadi sangat bandel dan mengerikan, pertama adalah pengobatan yang tidak sesuai prosedur. Standar pengobatan TB sudah ditetapkan oleh WHO, yakni selama enam bulan dengan obat-obatan yang sudah ditentukan juga.
Sekarang juga sudah ada yang namanya fixed dose combination (FDC) untuk mengobati TB yang di dalamnya terdiri lebih dari satu jenis obat. Sebab, jika hanya diobati dengan satu jenis obat, bakteri yang ada justru bisa menjadi kebal.
ADVERTISEMENT
“Nah mungkin ada yang memberikan pengobatan tidak sesuai standar, jadi kumannya malah menjadi kebal,” lanjutnya.
Persoalan lain juga terjadi ketika pasien tidak mematuhi anjuran dokter. Misal dia tidak mengonsumsi obat padahal seharusnya dia masih dalam proses pengobatan. Penyebab putus obat ini bermacam-macam, bisa karena sudah merasa sembuh sehingga tidak perlu minum obat lagi. Ada juga yang bosan meminum obat dalam jangka waktu lama, serta berhenti karena ada efek samping obat yang ditimbulkan.
“Jadi proses pengobatan itu harus dijelaskan betul oleh dokter atau tenaga kesehatan kepada pasien sebelum masa pengobatan,” tegasnya.
Menerapkan Etika Batuk
Agar tidak menular ke orang-orang di sekitarnya, pasien TB harus menerapkan etika batuk. Cara menutup mulut ketika batuk bukan dengan telapak tangan, melainkan dengan lengan tangan atau siku bagian dalam. Sebab, telapak tangan lebih banyak berpotensi menyentuh barang-barang dan orang di sekitarnya. Bisa juga menutupnya menggunakan tisu atau sapu tangan.
ADVERTISEMENT
“Jangan lupa terus cuci tangan. Atau paling gampang ya pakai masker,” ujar Veronika.
Namun penderita TB tidak perlu memakai masker terus selama enam bulan menjalani masa pengobatan. Penderita TB hanya dianjurkan memakai masker selama kumannya masih aktif atau infeksius, paling tidak dua bulan awal masa pengobatan.
“Sebenarnya penelitian menyebutkan dua minggu setelah minum obat itu sudah tidak infeksius, tapi biasanya kita menganjurkan sampai dua bulan agar benar-benar aman,” lanjutnya.
Namun etika batuk atau penggunaan masker akan sia-sia ketika pasien tidak meminum obat sesuai dengan anjuran dokter. Pola hidup sehat juga harus dijaga seperti makan makanan bergizi dan istirahat yang cukup. Lingkungan juga harus diperhatikan, misal ruangan harus ada ventilasi supaya ada sirkulasi udara dan sinar matahari bisa masuk.
ADVERTISEMENT
“Karena bakteri ini gampang mati kalau kena sinar matahari. Kalau bagi yang belum tertular, pola hidup sehat harus dijaga,” ujar dia.
Soal etika batuk, memakai masker, serta menjaga kebersihan, seharusnya semua sudah selesai anak berusia dini. Hal ini menurut Veronika merupakan pekerjaan rumah bagi semua elemen untuk mewujudkan budaya hidup bersih dan sehat. Proses edukasi untuk menerapkan budaya hidup sehat harus dilakukan di lingkup keluarga, masyarakat, juga sekolah.
“Jadi pendidikan juga memegang peran yang penting, tidak hanya (penanganan) TB, tapi juga semua penyakit lain,” ujar Veronika. (Widi Erha Pradana / YK-1)