Hari Zoonosis Sedunia, Mengelola Interaksi Manusia dan Satwa

Konten dari Pengguna
6 Juli 2020 19:24 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Hari zoonosis sedunia yang jatuh pada 6 Juli ini cukup istimewa, karena jatuh berbarengan ketika masyarakat dunia sedang berjuang melawan pandemi global COVID-19. Momentum ini memberikan pelajaran kepada manusia, betapa pentingnya hidup bersanding dan selaras dengan alam.
ADVERTISEMENT
Pakar Mikrobiologi Medis dari Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FKKMK) UGM, Tri Wibawa mengatakan bahwa selain mengingatkan masyarakat untuk menerapkan pola hidup sehat, momentum ini juga mengingatkan kepada manusia untuk senantiasa menjaga lingkungan.
“Agar lingkungan itu memfasilitasi kita untuk tetap bisa hidup sehat juga,” kata Tri Wibawa yang juga seorang Guru Besar di FKKMK UGM itu, Minggu (5/7).
Dalam lima dekade terakhir, sedikitnya ada lima wabah zoonosis yang paling mematikan, di antaranya adalah H1N1 atau flu babi pada 2009 yang menewaskan 284.500 orang, Ebola yang pertama kali ditemukan di Afrika pada 1976 dan menewaskan 13.562 orang. Selanjutnya ada SARS yang pertama kali ditemukan di China pada 2002 dan telah menewaskan sedikitnya 774 orang, serta MERS pertama kali diidentifikasi di Arab Saudi pada 2012 dan telah membunuh sedikitnya 858 orang.
ADVERTISEMENT
Dan saat ini, dunia kembali harus berjuang menghadapi pandemi global COVID-19 yang diduga disebabkan oleh virus SARS-CoV-2 dari kelelawar dan telah menewaskan setengah juta lebih penduduk bumi.
Zoonosis tidak melulu terkait dengan wabah-wabah mematikan, sebab pada dasarnya zoonosis adalah penyakit dari hewan yang bisa menular ke manusia atau sebaliknya. Yang paling ringan sebut saja penyakit jamur pada binatang peliharaan yang juga sangat mudah menular ke manusia.
Dalam kasus zoonosis, binatang bisa berperan sebagai carrier maupun reservoir. Sebagai inang, artinya binatang berperan sebagai pembawa atau tempat persinggahan mikroorganisme penyebab infeksi yang kemudian menyebar ke manusia. Sementara sebagai reservoir, binatang menjadi tempat tumbuh dan berkembang biak organisme infeksius tersebut.
“Zoonosis itu tidak harus dari virus, bisa dari bakteri, bisa dari jamur, bisa dari parasit. Parasit protozoa misalnya, atau schistosomiasis seperti yang ada di danau lindu, di Sulawesi,” lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Hal serupa juga dikatakan oleh Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan DIY, Berty Murtiningsih. Hari zoonosis sedunia menurutnya adalah alarm supaya masyarakat makin waspada terhadap ancaman zoonosis. Kewaspadaan ini menurutnya harus disikapi dengan meningkatkan budaya hidup bersih dan sehat di semua bidang kehidupan.
“Baik pada diri sendiri, lingkungan, dan juga pada hewan,” ujar Berty Murtiningsih saat dihubungi, Senin (6/7).
Interaksi Manusia dengan Satwa
Kunci dari penularan zoonosis adalah pada interaksi manusia dengan satwa. Metode penularan zoonosis ada bermacam, tapi yang pasti selama ada interaksi antara satwa dengan manusia, potensi penularan zoonosis akan tetap ada.
Kerusakan lingkungan adalah salah satu penyebab utama semakin seringnya manusia berinteraksi dengan satwa, termasuk satwa liar. Kerusakan ini tidak bisa dilepaskan dari semakin besarnya populasi manusia. Untuk mendapatkan tempat tinggal dan bahan pangan yang cukup, maka manusia mulai membuka hutan atau area-area yang sebelumnya merupakan habitat satwa liar sebagai tempat tinggal maupun sebagai lahan pertanian.
ADVERTISEMENT
“Hasil akhirnya apa? Satwa-satwa liar yang sebelumnya berada di dalam hutan dan jarang berinteraksi dengan manusia, mereka semakin terdesak dari habitatnya sehingga interaksi dengan manusia jadi semakin intens,” ujar Tri Wibawa.
Selain dari satwa liar, zoonosis juga bisa menyebar dari hewan kesayangan dan hewan ternak. Terlebih tren memelihara hewan kesayangan saat ini semakin meningkat. Tapi bukan berarti memelihara hewan kesayangan harus dilarang. Yang terpenting adalah bagaimana memastikan hewan yang dipelihara sehat.
“Jadi jangan hanya memperhatikan kesehatan orangnya saja. Tapi peliharaan yang setiap kali disenggol-senggol itu juga harus divaksin, diobati kalau sakit, dan seterusnya,” lanjutnya.
Dalam webinar daring yang digelar oleh Badan Restorasi Gambut (BRG) pada 8 Juni silam, Dirjen Gakkum KLHK, Rasio Ridho Sani juga mengatakan hal yang sama. Selain meningkatkan intensitas interaksi manusia dengan satwa liar, kerusakan lingkungan juga bisa membuat satwa-satwa liar melepas bakteri maupun virus yang infeksius.
ADVERTISEMENT
“Karena terancam, maka satwa liar bisa stress dan menjadi mudah diserang patogen yang kemudian bisa menyebar ke manusia juga,” ujar Rasio Ridho Sani.
Di sektor peternakan, ancaman penularan zoonosis menurut Berty Murtiningsih masih akan terus terjadi. Untuk itu perlu dilakukan pencegahan dengan melakukan monitoring lalu lintas ternak antardaerah, kesehatan hewan, serta keseimbangan lingkungan di samping perilaku hidup sehat di tengah masyarakat.
Pengelolaan peternakan baik dalam skala perorangan maupun skala industri harus memperhatikan kebersihan dan kesehatan hewan ternak.
“(Di DIY) Monitoring oleh instansi terkait secara terintegrasi dalam konsep one health telah dilakukan antara Dinas Kesehatan, Dinas Peternakan, dan instansi terkait lainnya,” ujar Berty.
Pelajaran Penting dari Wabah demi Wabah
Tidak bisa dipungkiri, penyakit infeksi sampai sekarang masih mengancam manusia. Meski tren yang ada sekarang, penyakit yang dianggap paling mematikan adalah penyakit-penyakit tidak menular seperti kanker, serangan jantung, atau diabetes mellitus.
ADVERTISEMENT
“Tapi pada kenyataannya penyakit infeksi masih cukup signifikan berimbas pada manusia. Artinya kita tidak boleh menomorduakan kewaspadaan terhadap penyakit infeksi itu,” ujar Tri Wibawa.
Untuk meningkatkan kewaspadaan, maka aspek promotif dan preventif perlu ditingkatkan lagi, misalnya untuk menerapkan kebiasaan hidup sehat dan pengembangan vaksin. “Karena aspek preventif, promotif, dan kuratif penyakit infeksi menjadi andalan untuk bisa selamat dari zoonotic disease,” lanjutnya.
Pelajaran penting lain adalah, bahwa sudah bukan waktunya kita hanya berpikir tentang kesehatan manusia saja. Sudah saatnya, manusia menggunakan pendekatan one health supaya bisa terhindar dari zoonosis-zoonosis yang lebih mengerikan.
“Artinya kita tidak boleh ada ego sektoral, yang mengurusi kesehatan manusia sendiri, yang mengurusi kesehatan binatang sendiri, dan yang mengurusi kerusakan lingkungan sendiri. Tiga itu harus jadi satu,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Pendekatan one health merupakan strategi di seluruh dunia untuk memperluas kolaborasi interdisipliner dan komunikasi dalam semua aspek pelayanan kesehatan bagi manusia, hewan, dan lingkungan. Hal ini diwujudkan melalui percepatan penemuan penelitian biomedis, peningkatan upaya kesehatan masyarakat, perluasan basis pengetahuan ilmiah, serta peningkatan pendidikan medis dan perawatan klinis. Jika berhasil diterapkan dengan benar, Tri Wibawa mengatakan pendekatan ini akan melindungi dan menyelamatkan jutaan nyawa di generasi sekarang maupun di masa depan.
Berty Murtiningsih mengatakan bahwa dari berbagai wabah zoonosis yang pernah kita alami menunjukkan bahwa pola hidup bersih dan sehat di tengah masyarakat masih perlu ditingkatkan. Banyak kebiasaan-kebiasaan manusia juga yang tidak selaras dengan keseimbangan lingkungan.
Dari wabah zoonosis yang sedang kita alami sekarang: pandemi COVID-19, masyarakat kemudian dipaksa untuk lebih disiplin terhadap protokol kesehatan seperti menerapkan hidup bersih dan sehat dengan selalu mencuci tangan dengan sabun, menghindari penularan dengan jaga jarak aman dan menggunakan masker, serta menjaga imunitas melalui asupan gizi, berolahraga, serta kelola stress.
ADVERTISEMENT
“Intinya adalah bagaimana budaya hidup sehat menjauhkan kita dari penyakit, termasuk penyakit zoonosis,” ujar Berty menegaskan. (Widi Erha Pradana / YK-1)