Imlek Bukan Perayaan Agama, tapi Perayaan Menyambut Musim Tanam

Konten Media Partner
9 Februari 2024 17:56 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi masyarakat Tionghoa sedang bersembahyang di Klenteng pada saat Imlek. Foto: Widi RH Pradana/Pandangan Jogja
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi masyarakat Tionghoa sedang bersembahyang di Klenteng pada saat Imlek. Foto: Widi RH Pradana/Pandangan Jogja
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tokoh masyarakat Tionghoa di Kampung Ketandan, Yogyakarta, Tjundaka Prabawa, menyebutkan bahwa Imlek bukanlah perayaan umat agama tertentu.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, selama ini banyak masyarakat yang menganggap Imlek sebagai perayaan agama. Bahkan ada yang memaknai Imlek sebagai tradisi untuk mengusir roh jahat.
Padahal, Imlek menurutnya adalah tradisi masyarakat Tionghoa yang mayoritas petani sejak sebelum Masehi untuk menyambut musim tanam setelah melewati musim dingin yang panjang.
“Imlek itu adalah perayaan dari musim dingin menjelang musim tanam, kenapa orang Tionghoa berdoa supaya hujan itu kan biar rezekinya banyak, sebetulnya hujan juga untuk musim tanam berikutnya itu bagus,” kata Tjundaka saat ditemui Pandangan Jogja di kediamannya, Rabu (7/2).
Tokoh masyarakat Tionghoa di Kampung Ketandan Yogyakarta, Tjundaka Prabawa. Foto: Rizky Arbasena/Pandangan Jogja
Karena itu, Imlek tak cuma dirayakan oleh umat agama tertentu saja. Imlek dirayakan oleh masyarakat Tionghoa, apapun agamanya.
Umat Buddha, Tao, dan Konghucu biasanya merayakan malam Imlek dengan bersembahyang leluhur di Klenteng. Sedangkan umat Katolik dan Kristen, biasanya cukup bersembahyang di rumah.
ADVERTISEMENT
Tapi yang selalu sama dalam perayaan Imlek adalah kumpul dan silaturahmi bersama keluarga. Mereka yang merantau akan mudik, pulang kampung.
Ilustrasi masyarakat Tionghoa sedang bersembahyang di Klenteng pada saat Imlek. Foto: Widi RH Pradana/Pandangan Jogja
Yang muda kemudian datang ke rumah kerabat yang lebih tua untuk silaturahmi. Yang lebih tua kemudian memberikan angpao kepada yang muda, terutama yang belum bekerja dan belum menikah. Persis seperti tradisi saat lebaran.
“Beberapa keluarga kerabat yang orang tuanya masih hidup, mereka pasti pulang ke rumah, pulang ke daerah untuk makan bareng, untuk sembahyang leluhur, kumpul bareng, makan bareng, persis kayak lebaran,” ujarnya.