Indonesia Hadapi Ledakan Kehamilan, Bagaimana Ber-KB di Tengah Pandemi?

Konten dari Pengguna
19 September 2020 11:56 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi kehamilan. Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kehamilan. Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Di tengah tekanan pandemi yang tidak kunjung mereda, Indonesia dihadapkan pada fenomena ledakan kehamilan. Pada Mei silam, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), mencatat ada lebih dari 400.000 kehamilan tak direncanakan selama pandemi.
ADVERTISEMENT
Koordinator Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Jawa Barat, Siti Hannifah, mengatakan bahwa salah satu penyebab ledakan kehamilan selama pandemi adalah adanya perubahan pola penggunaan alat kontrasepsi selama masa pandemi. Dari riset yang telah dilakukan oleh PKBI terhadap keluarga-keluarga di Jawa Barat, ditemukan beberapa persoalan selama pandemi yang mengakibatkan sulitnya memperoleh alat kontrasepsi.
Masalah pertama yaitu adanya kenaikan harga alat kontrasepsi. Karena klinik-klinik yang tetap beroperasi selama pandemi membutuhkan sejumlah fasilitas keamanan pendukung seperti APD dan fasilitas-fasilitas lain sesuai standar protokol kesehatan, mengakibatkan biaya operasional mereka lebih besar.
“Hal itu membuat harganya (alat kontrasepsi) agak naik sedikit,” ujar Siti Hannifah dalam webinar daring yang diadakan oleh Institut Kesehatan Rajawali, Selasa (15/9).
ADVERTISEMENT
Masalah lain adalah keterbatasan akses untuk mendapatkan alat kontrasepsi. Sebab, selain banyak klinik yang tutup, pandemi juga membatasi orang-orang untuk keluar rumah, terutama di daerah-daerah yang memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
“Jadi klinik itu hanya menerima layanan-layanan yang darurat atau melalui janji. Kemudian untuk pengguna IUD itu disarankan untuk menunda kontrol kecuali betul-betul mengalami keluhan yang berat,” lanjutnya.
Mekanisme baru dimana akseptor KB harus membuat janji dulu sebelum datang ke bidan menurut Hannifah menyumbang masalah cukup besar. Pasalnya, tidak semua keluarga memiliki kemampuan teknologi komunikasi yang memadai. Ditambah dengan adanya pandemi, membuat sebagian orang menjadi takut untuk datang ke layanan kesehatan.
Agar Program KB Tetap Berjalan Ketika Pandemi
Ada beberapa strategi menurut Siti Hannifah yang bisa dilakukan agar program KB bisa tetap berjalan selama masa pandemi. Karena pandemi membuat kegiatan tatap muka dibuat seminimal mungkin, maka konsultasi online menjadi salah satu pilihan yang layak diperhitungkan.
ADVERTISEMENT
Karena itu, bidan atau klinik sebisa mungkin mengaktifkan semua perangkat pelayanan daring, dari medsos sampai menyediakan hotline khusus. Jika keperluan benar-benar mendesak harus dilakukan melalui tatap muka, baru akseptor KB bisa datang ke klinik. Situasi yang berkembang sekarang juga sudah memungkinkan untuk dibukanya klinik-klinik kesehatan dengan menerapkan protokol kesehatan.
Supaya tidak terjadi penumpukan pengunjung, menurut Siti Hannifah, klinik maupun bidan perlu menerapkan sistem janji temu. Sehingga, sebelum datang ke klinik akseptor KB harus membuat janji dulu sehingga jadwalnya bisa diatur. Dengan begitu, penumpukan pengunjung bisa dihindari.
“Jadi itu akan jauh lebih baik dibanding jika si ibu langsung datang ke klinik, karena kita jadi bisa mengatur mobilitas ibu-ibu yang datang ke klinik,” ujar Siti Hannifah.
ADVERTISEMENT
Strategi lain yang bisa dilakukan adalah dengan menerapkan kunjungan rumah. Misalkan akseptor tidak mungkin datang ke klinik, sedangkan klinik mempunyai tenaga medis lebih. Dengan tenaga lebih itu, klinik bisa membuka layanan kunjungan rumah atau home visit.
“Tapi itu juga harus hati-hati, karena kita enggak tahu yang ada di rumah itu apakah dia OTG atau positif dan sebagainya. Jadi kunjungan rumah kalau tidak penting banget kita abaikan dulu,” ujarnya.
Dari jenis kontrasepsinya, akseptor KB juga perlu diarahkan untuk menggunakan metode jangka panjang. Misalnya metode jangka panjang itu adalah implant dan IUD. Untuk keluarga yang sudah memiliki anak tiga atau lebih, usia sudah 35 tahun ke atas, serta metode kontrasepsi lainnya tidak cocok, akseptor bisa ditawarkan metode operasi wanita atau pria (MOW/MOP).
ADVERTISEMENT
Penggunaan Kontrasepsi Jangka Panjang Masih Rendah
Intan Karlina, Pakar Kesehatan Reproduksi dari Institut Kesehatan Rajawali mengatakan bahwa jumlah pasangan usia subur (PUS) yang menggunakan Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) masih sangat rendah. Persentase PUS yang menggunakan MKJP pada 2019 dari catatan BKKBN, baru mencapai angka 17,98 persen.
Ada beberapa faktor menurut Intan yang membuat penggunaan MKJP oleh PUS di Indonesia masih sangat rendah. Pertama, karena rendahnya pengetahuan masyarakat tentang kelebihan MKJP.
“Jadi dari data yang didapat, masyarakat itu masih enggak ngerti, emang MKJP itu apa? Kelebihannya apa?” ujar Intan Karlina.
Karena itu, klinik-klinik dan tenaga medis menurutnya perlu berusaha lebih keras untuk mendorong para akseptor untuk menggunakan MKJP. Di sejumlah tempat, sarana yang terbatas juga menjadi salah satu penyebab masih banyaknya PUS yang tidak menggunakan MKJP.
ADVERTISEMENT
Selain persoalan pengetahuan di tengah masyarakat dan sarana kesehatan yang memadai, terbatasnya tenaga terlatih untuk memberikan layanan MKJP juga menjadi masalah yang perlu menjadi perhatian serius.
“Karena kita tahu, pemasangan IUD maupun implant memang butuh keterampilan yang lebih,” lanjutnya.
Padahal, ada banyak keuntungan dari penggunaan MKJP menurut Intan, baik dari segi program maupun akseptor. Selain mempercepat penurunan TFR,pengguna MKJP juga lebih efisien karena dapat dipakai dalam jangka waktu yang lama serta lebih aman. Hal ini sangat membantu proses KB ketika masa pandemi ini, sebab dengan menggunakan MKJP jadwal akseptor datang ke klinik menjadi lebih jarang.
Apalagi angka kegagalan MKJP yang dilaporkan jauh lebih rendah ketimbang non MKJP. Angka kegagalan pada MKJP hanya sebesar 0,2 per 1.000 pengguna, sementara kegagalan pada metode non MKJP lebih dari 10 per 1.000 pengguna.
ADVERTISEMENT
“Dari situ terlihat bahwa MKJP memang lebih efektif daripada kotrasepsi non MKJP,” ujar Intan. (Widi Erha Pradana / YK-1)