Indonesia Ranking Tertinggi Negara Rawan Bencana, Ini Jawaban Kearifan Lokal

Konten Media Partner
3 Maret 2021 19:04 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Seba Baduy. (Foto: Antara/Weli Ayu Rejeki)
zoom-in-whitePerbesar
Seba Baduy. (Foto: Antara/Weli Ayu Rejeki)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tingginya intensitas bencana, mestinya tidak terjadi jika mitigasi dan kebijakan penanggulangan bencana didasarkan pada pengelolaan kearifan lokal di tiap daerah
ADVERTISEMENT
Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengungkapkan Indonesia menduduki ranking tertinggi dari 35 negara sebagai negara dengan risiko rawan bencana tertinggi di dunia. Bahkan selama tahun 2020, BNPB mencatat ada 3.253 kejadian bencana di Indonesia.
"Tadi Pak Doni Monardo telah menyampaikan setahun kemarin saja kita menghadapi 3.253 bencana. Per hari 9 bencana," kata Jokowi saat membuka Rapat Kerja Nasional Penanggulangan Bencana Tahun 2021 di Istana Negara, Rabu (3/3).
Hingga 26 Januari, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat telah terjadi 221 bencana alam di Indonesia sepanjang 2021. Bencana hidrometeorologi seperti banjir, tanah longsor, dan puting beliung, mendominasi bencana yang terjadi pada awal tahun ini. Berdasarkan catatan BNPB, banjir telah terjadi sebanyak 146 kasus, tanah longsor 35 kasus, dan puting beliung sebanyak 29 kasus.
ADVERTISEMENT
Tingginya intensitas bencana, mestinya tidak terjadi jika mitigasi dan kebijakan penanggulangan bencana didasarkan pada pengelolaan kearifan lokal di tiap daerah. Senior aktivis lingkungan di Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Memet Ahmad Surahman, atau yang akrab disapa Eyang Memet, mengatakan bahwa salah satu kearifan lokal yang mesti dipegang erat untuk mengantisipasi berbagai jenis bencana adalah pesan leluhur.
Eyang Mamet.
Menurutnya, leluhur kita sejak zaman dulu telah memiliki metode mitigasi bencana yang sudah terbukti ampuh selama puluhan bahkan ratusan tahun. Karena itu, pesan leluhur ini menurutnya harus tetap dijaga dan dikontekstualkan dengan kehidupan masa sekarang.
“Misalnya dalam pesan leluhur Sunda ada istilah gunung kaian, yang artinya gunung harus rimbun, memang kodratnya seperti itu,” kata Eyang Memet dalam seminar daring yang diadakan oleh KLHK, beberapa waktu lalu.
ADVERTISEMENT
Gunung kaian hanya satu dari banyak pesan leluhur Sunda terkait mitigasi bencana. Masih ada juga pesan pasir talunan, yang berarti bukit-bukit mesti digarap dengan sistem talun, gawir awian yang berarti tebing-tebing ditanai bambu, serta susukan calan yang berarti pelihara air di parit-parit untuk sumber mata air.
“Bagaimana membuat sistem terasering yang baik, sehingga kita sebagai negara agraris juga bisa melakukan kegiatan pertanian itu secara bijak, tidak hanya berorientasi pada profit,” ujarnya.
Ada juga pesan leluhur Sunda yang mengatakan walungan rawateun yang artinya sungai-sungai dan sempadannya harus dipelihara. Ada juga basisir jagaeun yang berarti pantai dan laut harus dijaga dan dilindungi.
“Ada gunung teu meunang dilebur atau gunung tidak boleh dihancurkan, dan masih sangat banyak pesan-pesan leluhur yang sudah banyak diabaikan saat ini,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Menurut Eyang Memet, butuh suatu kearifan untuk menghadapi bencana hari ini, tidak cukup hanya dengan kecerdasan. Dia merasa prihatin, pesan-pesan leluhur sebagai salah satu kearifan sudah banyak ditinggalkan, dan akibatnya kini bencana bertubi-tubi menghantam negeri ini.
Menurutnya, leluhur Sunda mengajarkan bahwa lingkungan alam memberikan manfaat yang maksimal kepada manusia jika dijaga kelestariannya, dirawat, serta dipelihara secara baik dan digunakan secukupnya.
“Tapi kalau alam digunakan secara berlebihan, apalagi kalau tidak dirawat dan tidak dijaga kelestariannya, maka akan timbul malapetaka dan kesengsaraan,” kata Eyang Memet sembari menahan tangis.
Gawir Awian, Legok Kulahan, Datar Parean di Sukabumi
Maman Suparman.
Alam beserta sumberdaya yang ada baik itu hutan, air, danau, sungai, tambang, laut, floradan fauna, bukanlah milik kita, melainkan titipan anak cucu yang mesti dijaga kelestariannya.
ADVERTISEMENT
Begitu kata Maman Suparman, Penyuluh Kehutanan Swadaya Masyarakat Sukabumi, Jawa Barat. Masyarakat Sukabumi memiliki kearifan lokal yang dikristalsasi dalam kata-kata mutiara, ‘gawir awian, legok kulahan, datar parean’.
Gawir awian memiliki arti, jika ada lahan yang miring atau curam, maka tanamlah bambu atau tanaman konservasi untuk mencegah longsor sekaligus penyimpan air hujan.
“Ini masyarakat sudah melakukan, dan tidak ada lagi yang namanya lahan-lahan gersang, tidak ada lagi mata-mata air yang kering kerontang,” ujar Maman Suparman.
Legok kulahan berarti jika ada lahan yang rendah tempat berkumpulnya air, maka buatlah kolam atau embung di tempat tersebut sebagai tempat penampungan air, sehingga tidak mengakibatkan banjir di daerah hilir. Kolam atau embung tersebut nantinya juga dapat meningkatkan perekonomian masyarakat.
ADVERTISEMENT
Sementara datar parean, artinya jika ada lahan yang datar, barulah di situ dapat dimanfaatkan untuk bercocok tanam padi, palawija, dan tanaman pangan semusim lainnya.
“Jangan bercocok tanam semusim pada lahan miring, apalagi tanpa terasering. Inilah yang menyebabkan longsor dan banjir, serta degradasi tanah subur menjadi marginal,” ujarnya.
Pola Tlahab di Temanggung
Agus Romadhon.
Temanggung dikenal sebagai kota penghasil tembakau terbaik di Indonesia, bahkan dunia. Bagi masyarakat Temanggung, menanam tembakau bukan hanya soal untung dan rugi, tetapi juga soal menjunjung niai leluhur.
Tembakau sudah seperti tanaman ideologis, yang mesti ditanam bagaimanapun caranya.
Sayangnya, sekitar lima tahun silam, tingkat erosi di lahan pertanian Temanggung mencapai 5,7 ton per hektar tiap tahunnya. Ini mengakibatkan hanya tanaman tembakau yang bisa hidup dalam kekeringan selama 8 bulan.
ADVERTISEMENT
“Tegakan suren yang ada di lahan pertanian, hanya jadi pemanis lahan yang yang dicampurkan dengan kopi dan tembakau,” kata Penyuluh Kehutanan Kabupaten Temanggung, Agus Romadhon.
Hingga akhirnya, pada 2014 para penyuluh dan masyarakat mencoba menerapkan pola pertanian yang sudah sejak dulu diterapkan oleh masyarakat Temanggung, khususnya di desa Tlahab, Temanggung. Pola itu bernama pola Tlahab.
Petani di Desa Tlahab, memadukan tanaman tembakau dan kopi arabika di lahan pertaniannya, sedangkan di tiap tepi lahan ditanami suren atau cemara. Kopi dipilih karena kopi bisa panen sebelum tembakau bisa dipanen.
“Sehingga bisa menjadi penghasilan sementara petani juga,” ujarnya.
Supaya petani mau menanam kopi sebagai salah satu upaya konservasi lahan, para penyuluh membantu pemasaran kopi dengan harga yang menguntungkan bagi petani. Petani juga dibimbing untuk meningkatkan kualitas produksi serta dicarikan sumber modal.
ADVERTISEMENT
Dari pendampingan-pendampingan yang dilakukan, merek-merek kopi di Temanggung semakin tumbuh, bahkan ada yang sudah menembus pasar ekspor. Saat ini, sedikitnya ada 445 produk kopi dari Temanggung yang tercatat oleh pemerintah.
Secara ekologi, pola pikir petani menjadi berubah dengan adanya rencana pendapatan tembakau sebagai jangka pendek, kopi sebagai jangka menengah, dan suren sebagai jangka panjang.
“Disadarinya tanaman penguat teras, terkendalinya erosi, dan adanya perbakan struktur tanah menhadi kunci penting dari manfaat agroforestri yang diharapkan” ujarnya. (Widi Erha Pradana / YK-1)