news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Industri Makanan DIY Babak Belur karena Pandemi, Insentif Pemerintah Diharapkan

Konten Media Partner
24 Februari 2021 19:49 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi industri makanan rumahan di DIY. Foto: Savita.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi industri makanan rumahan di DIY. Foto: Savita.
ADVERTISEMENT
Industri makanan menyumbang 50 persen dari total kontribusi sektor manufaktur di DIY. Sayangnya, saat situasi sulit di kala pandemi ini, insentif bagi pelaku industri ini sangat minim.
ADVERTISEMENT
Sektor industri pengolahan kembali menempati peringkat pertama dalam struktur Pendapatan Daerah Regional Bruto (PDRB) DIY dengan kontribusi sebesar 12,83 persen pada kuartal IV 2020.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) DIY, industri makanan dan minuman menyumbang kontribusi paling besar di sektor ini dengan kontribusi sekitar 50 persen, baru diikuti oleh industri tekstil dengan kontribusi sekitar 10 persen, dan industri furnitur sekitar 5 persen.
Pasar industri makanan dan minuman masih berupa pasar domestik, berbeda dengan pasar industri tekstil dan furnitur yang sudah merambah pasar ekspor. Kendati demikian, didongkrak oleh industri pariwisata, pendapatan dari industri makanan dan minuman masih lebih besar.
Tapi di balik tingginya kontribusi industri makanan dan minuman terhadap PDRB DIY, namun sebenarnya para pelaku industrinya dalam situasi sulit dan berdarah-darah selama pandemi.
ADVERTISEMENT
Ketua Perkumpulan Penyelenggara Jasaboga Indonesia (PPJI) DIY, Sri Wahyuni Dewi, mengatakan bahwa nasib pelaku industri makanan dan minuman tak kunjung membaik setelah nyaris setahun digempur pandemi, bahkan tak sedikit yang terus terpuruk.
“Memang benar, industri makanan dan minuman itu memberikan pendapatan tertinggi. Tapi nyatanya selama ini yang sampai ke saya kok hanya keluhan ya,” kata Sri Wahyuni Dewi saat dihubungi, beberapa waktu lalu.
Industri makanan dan minuman menurut dia sempat benar-benar ambruk pada awal pandemi dengan omzet tak sampai 10 persen. Pada periode Juli sampai September, industri makanan dan minuman mulai bangkit dan berhasil mendapatkan omzet 50 persen dari situasi normal. Tapi tak lama, industri makanan dan minuman kembali terpuruk dengan omzet hanya sekitar 10 sampai 15 persen saja.
ADVERTISEMENT
“Karena ada PSBB lanjutan yang Jawa-Bali itu,” ujarnya.
Terpuruknya industri makanan tidak lepas dari ambruknya sektor pariwisata. Industri makanan oleh-oleh seperti bakpia menjadi salah satu yang paling terdampak, dengan penurunan omzet hingga 90 persen. Beberapa memaksakan untuk tetap beroperasi, meski omzet yang didapatkan tak cukup untuk menutup biaya operasional.
Nasib industri katering tak jauh beda. Mendapat omzet 10 sampai 20 persen saja sudah pencapaian yang bagus.
“Untuk biaya operasionalnya juga tombok,” kata Sri Wahyuni Dewi.
Minim Insentif
Iustrasi gedung resepsi pernikahan. Foto: Pixabay
Ketika nasib usaha perhotelan dan restoran mendapatkan insentif berupa hibah dana segar, industri makanan dan minuman tidak merasakan itu. Bantuan yang ada baru berupa bansos atau bantuan langsung tunai untuk para pekerja.
“Gimana ya, padahal kami sudah coba mengajukan ke disnaker, dinas pariwisata,” ujar Sri Wahyuni Dewi.
ADVERTISEMENT
Kini, yang bisa dilakukan oleh industri makanan adalah tetap melakukan inovasi supaya bisa tetap bertahan. Misalnya industri katering, yang kini sedang menyiapkan konsep makanan dalam hampers untuk dibawa pulang. Dengan begitu, tamu tidak perlu makan di tempat.
PPJI juga mendorong supaya pemerintah mengeluarkan kebijakan yang jelas terkait penyelenggaraan event seperti hajatan. Dia meminta supaya pemerintah mengizinkan penyelenggaraan hajatan tanpa ada batas tamu undangan namun tetap dengan protokol kesehatan tingkat tinggi.
“Kalau sekarang kan enggak, hajatan boleh tapi tamu dibatasi maksimal 50 misalnya,” ujarnya.
Jika kebijakan seperti itu tidak segera diambil, menurutnya industri makanan bisa saja tidak akan bertahan lebih lama lagi. Ketika industri makanan banyak yang mati, maka DIY akan kehilangan salah satu sumber pendapatan terbesarnya.
ADVERTISEMENT
Dengan kondisi industri makanan yang berdarah-darah namun masih mendominasi struktur PDRB, artinya krisis di sektor lain juga tidak kalah parahnya.
“Kalau situasinya kayak gini terus, enggak tahu berapa lama lagi masih bisa bertahan,” ujar Sri Wahyuni Dewi.
Pemerintah Bisa Apa?
Disperindag DIY. Foto: dokumen Disperindag DIY.
Kepala Seksi Industri Makanan, Minuman, Tembakau, Hasil Laut, Perikanan, dan Bahan Penyegar, Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) DIY, Polintje Tandirante, mengamini bahwa situasi industri makanan di DIY memang sedang sangat terpuruk, terutama industri makanan yang basisnya adalah oleh-oleh.
Namun untuk industri makanan untuk dikonsumsi sehari-hari masih cenderung stabil. Masyarakat yang semakin hati-hati dalam membeli makanan serta enggan untuk keluar rumah, membuat penjualan makanan secara daring mengalami peningkatan.
“Seperti makanan siap saji, itu cenderung stabil,” ujar Polintje Tandirante.
ADVERTISEMENT
Untuk membina UKM-UKM baru di industri makanan, pemerintah menurut Polin melakukan program penumbuhan wirausaha baru. Anggota-anggotanya kebanyakan terdiri atas masyarakat yang tak memiliki pekerjaan, misalnya karena kena PHK. Sampai sekarang, ada hampir 200 orang yang tergabung dalam program tersebut untuk dibina memulai usaha.
UKM-UKM pemula, nantinya akan disediakan tes pasar, tujuannya untuk mengetahui seberapa besar produk mereka bisa diterima konsumen. Sedangkan bagi UKM-UKM yang sudah cukup besar akan dibantu melalui program kemitraan. Melalui program kemitraan ini, harapannya produk mereka bisa diterima di toko-toko modern.
“Karena sulit memberikan insentif berupa dana segar, melalui upaya-upaya pemberdayaan seperti itu harapannya bisa membantu mereka melewati masa sulit ini,” kata Polintje Tandirante. (Widi Erha Pradana / YK-1)
ADVERTISEMENT