Industri Mebel Nasional Berjibaku di Tengah Terpuruknya Ekonomi Global

Konten dari Pengguna
17 Januari 2020 13:33 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi furniture. Foto : Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi furniture. Foto : Pixabay
ADVERTISEMENT
Sampai sekarang, China masih menjadi pengekspor utama produk mebel atau furniture. Vietnam, yang secara geografis maupun sosial politik dekat dengan China juga menjadi salah satu pengekspor produk furnitur utama ke Eropa dan Amerika. Di Asia Tenggara, Vietnam merupakan pesaing utama Indonesia dalam perdagangan produk furnitur ke pasar internasional.
ADVERTISEMENT
Ketua Forum Jogja International Furniture and Craft Fair Indonesia (Jiffina) Jawa Bali, Timbul Raharjo mengatakan negara-negara di bagian utara seperti China dan Vietnam memiliki keuntungan dalam hal distribusi. Mereka sudah memiliki jalur distribusi darat ke Eropa yang hanya memakan waktu dua pekan.
“Kita itu masih satu bulan,” tandas Timbul setelah acara peluncuran Jiffina 2020 di Royal Ambarrukmo, Yogyakarta, Rabu (15/1).
Industri furniture dalam negeri juga menghadapi berbagai persoalan yang membuat kian sulit bersaing dengan China dan Vietnam. Persoalan utama yang kini dihadapi adalah peralatan produksi yang belum memadai karena sebagian besar masih manual, sementara proses produksi di China sudah menggunakan mesin yang serba otomatis.
“Memang itu menjadi ciri khas tersendiri, dengan cara pembuatan manual orang jadi lebih menghargai. Tapi kalau sudah bentuknya massal, itu harus pakai mesin. Nah kita yang lemah di mesin itu,” lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Selain peralatan yang belum canggih, sumber daya manusia menjadi kendala lain. Saat ini, untuk mencari tenaga kerja yang kompeten, industri furnitur juga mengalami kesulitan.
“Bahkan untuk cari 30 orang saja susah sekarang,” ujarnya.
Ketua Komite Jiffina 2020, Endro Wardoyo, mengatakan industri furnitur domestik juga dihadapkan pada persoalan kelangkaan bahan baku. Senada dengan Timbul, dia juga mengatakan dunia industri furniture dalam negeri tengah bergelut dengan persoalan peralatan yang belum memadai dan sulitnya mencari tenaga kerja yang terampil. Hal ini semakin mempersulit meningkatkan nilai ekspor di sektor furnitur yang belakangan kinerjanya sedang tidak terlalu menggembirakan.
“Mesin-mesin kita ini kan mesin tua. Sekarang katanya era revolusi industri 4.0, tapi nyatanya kita masih 2.0, 3.0 saja belum. 4.0 ini kan sudah di atas otomasi, 3.0 ini sudah otomasi, nah kita ini belum otomasi, masih manual,” jelas Endro.
ADVERTISEMENT
Peran Pemerintah Daerah
Gubernur DIY Sri Sultan HB X saat membuka Jiffina 2020 di Yogya, Kamis (16/1)
Perhatian pemerintah, terutama pemerintah daerah dalam rangka mendukung industri furniture dinilai masih kurang. Misalnya masih sedikitnya daerah-daerah yang ikut serta dalam pameran Jiffina yang notabene merupakan satu-satunya pameran internasional di tingkat daerah di Indonesia.
“Jadi masih melihat, masih mempertimbangkan, gitu,” kata Timbul.
Padahal, pemerintah daerah memiliki peran besar untuk mengembangkan UMKM industri furniture. Di daerah-daerah juga belum memiliki gedung khusus yang digunakan untuk tempat display produk-produk furniture, sampai saat ini, fasilitas itu baru tersedia di Jakarta. Berbagai kendala itu membuat nilai ekspor Indonesia sampai saat ini baru sekitar 1,2 miliar dolar AS, jauh dari Vietnam yang sudah menyentuh angka 6 miliar dolar AS.
Padahal saat ini ada pasar-pasar baru yang potensial seperti beberapa negara di Afrika yang perekonomiannya tengah menguat. Juga India, yang belakangan juga cukup banyak membeli produk furnitur ke Indonesia. Adanya perang dagang China-Amerika juga harus dilihat sebagai peluang karena otomatis Amerika tidak akan membeli produk furnitur ke China.
ADVERTISEMENT
“Jadi potensi ini harus bisa dilihat dan menentukan langkah strategis, supaya pasar yang besar itu justru tidak diambil oleh negara lain,” lanjut Timbul.
Menguatkan Pasar Domestik
Mebel rustic dan daur ulang kini banyak digemari baik lokal maupun internasional. Foto : Pixabay
Selain segera membereskan regulasi-regulasi yang menghambat ekspor, Endro berharap agar pemerintah juga mulai menguatkan pasar domestik sebagai strategi jangka pendek. Besarnya jumlah penduduk Indonesia merupakan pasar yang besar untuk industri furniture.
“Jangan sampai pangsa pasar yang begitu besar ini diambil oleh negara-negara lain, di ASEAN kita paling besar penduduknya. Momentum ini yang harus kita manfaatkan,” kata Endro.
Endro juga mendorong agar pemerintah ikut mendukung dalam mengatasi berbagai persoalan seperti kelangkaan bahan baku, peralatan yang tidak memadai, serta sulitnya mencari tenaga kerja yang terampil. Selain memanfaatkan kayu daur ulang, perkebunan penyedia kayu bahan baku mebel juga perlu ditingkatkan.
ADVERTISEMENT
Mengatasi tertinggalnya teknologi produksi, sudah saatnya restrukturisasi mesin dilakukan, atau Indonesia akan semakin tertinggal dari China dan Vietnam. Itu semua adalah upaya untuk meningkatkan kapasitas produksi industri furniture dalam negeri.
“Kalau peremajaan mesin tidak dilakukan, bagaimana kapasitas produksi bisa naik?” ujarnya.
Tingginya bunga bank juga menjadi kendala, terutama bagi UMKM-UMKM furnitur untuk mengembangkan usahanya. Endro mendorong pemerintah untuk membuat mekanisme bantuan seperti pinjaman dengan bunga ringan agar industri furnitur, terutama pengusaha kecil bisa mengembangkan usahanya.
“Kalau pinjaman bunganya lunak, kita kan bisa membangun pabrik lagi, sehingga kapasitas produksi juga meningkat. Dari sini kan bisa naik ekspornya secara otomatis,” tegas Endro. (Widi Erha Pradana / YK-1)