Jarak Tempuh Burung Migran yang Singgah di Jogja Bisa Sejauh Jarak Bumi ke Bulan

Konten dari Pengguna
14 Oktober 2020 13:08 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Burung kedidi yang kerap singgah di Pantai Trisik, Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Sumber Foto: HBW Alive
zoom-in-whitePerbesar
Burung kedidi yang kerap singgah di Pantai Trisik, Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Sumber Foto: HBW Alive
ADVERTISEMENT
Puluhan jenis burung pantai yang sedang bermigrasi dari belahan bumi utara akan segera sampai di Yogyakarta bulan ini. Yogyakarta sangat beruntung, bukan hanya dilewati, tapi juga disinggahi oleh burung-burung pantai migran itu selama beberapa pekan. Ada banyak hal mengenai burung migran yang belum diketahui manusia, tapi pada tahun lalu peneliti Hong Kong menemukan fakta menarik bahwa burung migran dalam rentang usianya bisa telah menempuh jarak terbang sejauh bumi ke bulan.
ADVERTISEMENT
Di kota Jogja, burung migran yang paling banyak singgah adalah burung layang asia, burung sekepalan tangan yang dalam sekali migrasi menempuh ribuan kilometer. Sedangkan wilayah Jogja yang paling banyak dijadikan tempat persinggahan burung-burung pantai migran adalah muara sungai Progo di Pantai Trisik, Kulon Progo. Ribuan burung dari berbagai spesies burung pantai akan menetap di lokasi itu beberapa saat untuk istirahat dan mencari makan sebelum melanjutkan perjalanannya lagi.
Yus Rusila Noor, Kepala Program Yayasan Lahan Basah Indonesia sekaligus Pengarah Kemitraan Nasional Burung Air Bermigrasi dan Habitatnya mengatakan bahwa pada intinya burung migran hanya ada di suatu wilayah di saat-saat tertentu saja. Berbeda dengan burung penetap yang menetap dan berbiak di satu wilayah itu saja.
ADVERTISEMENT
“Konsep ini harus sangat dimengerti karena ini terkait dengan pengelolaan kawasan,” ujar Yus Rusila Noor dalam seminar daring yang diadakan oleh komunitas Burung Migrasi Indonesia akhir September lalu.
Migrasi burung menurut Yus adalah tentang siklus hidup tahunan mereka. Biasanya ini terkait dengan bagaimana burung tersebut melakukan perkembangbiakan di wilayah tertentu kemudian harus segera pergi ke wilayah lain karena kondisi alam yang tidak memungkinkan hidup.
Burung-burung pantai migran yang ditemui di Indonesia, kebanyakan berasal dari wilayah Siberia dan Alaska. Umumnya, di kampung halamannya mereka akan mencari pasangan pada Mei sampai Juni, kemudian melakukan perkembangbiakan hanya dalam waktu sekitar satu bulan saja.
Semua harus dilakukan serba cepat. Setelah itu, pada Agustus sampai September, mereka harus segera pergi. Jika tidak, sumber makanan akan habis, tempat mereka berbiak akan tertutup salju, sehingga tidak memungkinkan untuk mereka bertahan hidup.
ADVERTISEMENT
“Jadi mereka tidak punya pilihan. Harus segera pergi,” ujarnya.
Setelah itu, mereka akan melakukan perjalanan pada September sampai November. Di tempat bermigrasi, mereka akan bertahan beberapa waktu untuk mencari makan sebelum akhirnya pulang.
Waktu kembali ke kampung halaman juga tidak boleh terlambat. Jika sampai terlambat, maka mereka akan kehilangan waktu untuk mencari pasangan dan berkembang biak.
“Ini kaitannya dengan survival jenis mereka sendiri,” ujar Yus.
Teknologi Penelitian Burung Migran
Festival Burung Pantai di muara Kali Progo dekat dengan Pantai Pandansimo Bantul DIY pada Sabtu (26/10) dan Minggu (27/10) diikuti 50-an mahasiswa dari berbagai universitas di Yogyakarta. Foto oleh : Maya Vita
Pengamatan pola migrasi burung bukan hanya tentang burung itu sendiri, tapi juga habitatnya, makanannya, bahkan sampai penyakit yang biasa menyerang makanan burung tersebut.
“Jadi sampai tiga layer di bawahnya hanya untuk mengetahui bagaimana burung ini bermigrasi,” kata Yus Rusila Noor.
Sejauh ini, ada tiga metode yang dipakai untuk meneliti pola migrasi burung. Pertama dengan pencincinan, kemudian penandaan warna, telemetri radio, dan telemetri satelit. Metode pencincinan merupakan metode yang sudah paling lama digunakan.
ADVERTISEMENT
Metode ini dilakukan dengan memberi cincin di kaki burung migran yang di dalamnya terdapat kode-kode khusus seperti nama, tahun pencincinan, dan negara tempat pencincinan.
“Penggunaan cincin ada kekurangannya karena burungnya harus ditangkap baru bisa diketahui,” ujarnya.
Karena itu, mulai ada metode pemberian warna pada burung migran, dimana dengan warna tersebut kemudian dapat diketahui dari mana dan kapan burung tersebut diberi warna.
Kemudian untuk metode telemetri radio, burung akan dipasangi telemetri sehingga dapat diikuti kemana burung itu pergi. Sayangnya jarak pantaunya tidak bisa jauh, tidak sampai 5 kilometer.
“Yang berikutnya, yang lebih canggih dan sekarang cukup banyak dipakai adalah telemetri satelit,” lanjutnya.
Dengan pemasangan telemetri satelit, jarak pantau burung menjadi lebih jauh. Sayangnya, biaya yang dikeluarkan sangat mahal. Untuk memasang telemetri pada satu individu saja, dibutuhkan biaya sekitar 5 ribu dolar AS.
ADVERTISEMENT
Jarak Tempuh Melebihi Jarak Bumi dan Bulan
Burung migran Dara Laut Jambul memutihkan delta di tengah muara Sungai Progo. Foto oleh : Maya Vita
Dari kegiatan penelitian yang sudah dilakukan, para peneliti menemukan ada sembilan flyway atau jalur terbang dari tempat berbiak sampai mencari makan pada musim migrasi. Ada dua flyway yang melewati Indonesia, yakni East Asian - Australian Flayway (EAAF) dan West Pasific Flyway (WPF). Namun wilayah Indonesia yang dilewati oleh WPF hanya bagian timur saja, yakni Papua.
Sementara EAAF, membentang dari Siberia, kemudian turun ke Asia Timur, Indocina, Asia Tenggara termasuk Indonesia, Australia, sampai ke negara-negara Oceania.
Ada penemuan yang menarik dari para peneliti di Hong Kong pada 2019 kemarin. Mereka sempat menangkap burung Curlew Sandpiper yang ternyata sudah berusia 18 tahun setelah pencincinan. Dan setelah dihitung jarak yang sudah dia tempuh dari lokasi berbiak sampai lokasi mencari makan, burung tersebut sudah terbang sejauh lebih dari 400 kilometer.
ADVERTISEMENT
Hal itu membuat para peneliti terkejut, sebab jarak itu melebihi jarak antara Bumi dan bulan yang hanya 384.400 kilometer.
“Jadi selama 19 tahun burung yang besarnya hanya sekepalan tangan, bisa terbang lebih dari jarak Bumi ke bulan,” ujar Yus Rusila Noor.
Yus yakin, ada hal-hal menakjubkan lain yang belum diketahui manusia dari pola migrasi burung-burung migran ini. Karena itu, penelitian terkait burung migran harus terus ditingkatkan, terlebih penelitian di Indonesia menurutnya sejauh ini baru sampai permukaan saja, belum mendalam seperti di banyak negara lain.
“Sudah sangat banyak penelitian terkait dengan burung bermigrasi, terutama di luar negeri, seperti Eropa, Amerika, dan Afrika. Sayangnya, mungkin di Indonesia belum sampai sedemikian detail,” ujar Yus. (Widi Erha Pradana / YK-1)
ADVERTISEMENT