Jejak Spirit dalam Upacara 'Nyadran' di Gunungkidul, Yogyakarta

Konten dari Pengguna
14 November 2019 22:31 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Prosesi Nyadran dan Ubarampe Panggang Ayam sebagai sesajian wajib Upacara Nyadran Gedong Pulungsari di Desa Pundungsari Kecamatan Semin Kabupaten Gunungkidul. Foto oleh : Naratala
zoom-in-whitePerbesar
Prosesi Nyadran dan Ubarampe Panggang Ayam sebagai sesajian wajib Upacara Nyadran Gedong Pulungsari di Desa Pundungsari Kecamatan Semin Kabupaten Gunungkidul. Foto oleh : Naratala
ADVERTISEMENT
Sekarang adalah waktu antara, yaitu antara musim kemarau dan musim penghujan. Waktu-waktu seperti ini adalah waktu berakhirnya pelaksanaan upacara suci periodik tahunan sejenis Amerti-Bumi, Bersih-Dusun atau Bersih-Desa, Labuhan, Rasulan, dan Sadranan atau Nyadran.
ADVERTISEMENT
Upacara suci periodik tahunan semacam Sadranan atau Nyadran dirayakan oleh masyarakat Gunungkidul sepanjang bulan Juni-Oktober, yaitu waktu ketika berbagai hasil panen yang tergolong pala-palanan seperti gabah-pari (palawiji); jagung, kacang, dan kedelai (palawija) selesai ‘diawetkan’ untuk kemudian disimpan ke dalam lumbung.
Sementara, berbagai jenis palapendhem seperti: tela, uwi, gembili, tela-pendhem, dan palagantung, palakirna, serta pala-palanan lain sebagian disimpan dalam lumbung, sebagian dibiarkan saja tetap hidup di ladang sekitar sebagai cadangan pangan.
Selain untuk cadangan pangan, sebagian pala-palanan difungsikan sebagai benih untuk masa tanam berikutnya. Sebagian lagi juga diolah dan digunungkan sebagai ubarampe atau perlengkapan Upacara Nyadran. Berbagai jenis hasil pertanian berupa pala-palanan dan hasil peternakan seperti ayam dan kambing merupakan ubarampe makanan dalam prosesi Upacara Nyadran.
ADVERTISEMENT
Nyadran: Menghapus Hutang Kata-kata dan Menyajikan Makanan
Bongko Gudhe, sesajaian wajib sadranan Mbah Jobeh Desa Petir Kecamatan Rongko Kabupaten Gunungkidul
Merujuk penjelasan Juru Kunci Gedong Pulungsari di Desa Pundungsari Kecamatan Semin Kabupaten Gunungkidul, Kahono, nyadran adalah tindakan ngluwari punagi. Ngluwari-punagi merupakan tindakan menghilangkan keburukan. Caranya dengan melunasi hutang kata-kata yang pernah diucapkan.
Tindakan nyadran disaksikan oleh juru kunci dan leluhur yang bersemayam di Gedong Pulungsari, serta dimohonkan kepada Tuhan Yang Maha Pencipta.
“Nyadran menika kebatosan ingkang kedah dipunjumbuhaken kaliyan kasunyatan,” seperti ini Juru Kahono memaknai nyadran. Memang, omongan dalam nyadran biasanya bersifat kebatosan (hadirnya di wilayah batin).
Begini gambaran mudah Nyadran : Seseorang punya kaul atau nadar, jika olahan pertaniannya tidak terserang hama dan hasilnya berlimpah, maka akan nyadran ke Pesanggrahan Gedong Pulungsari dengan membawa panggang-tumpeng (ayam-panggang dan tumpeng). Kemudian benar, ketika tiba masa panen dan sukses, maka seseorang itu akan hadir untuk nyadran ke Gedong Pulungsari membawa sesajian berupa ayam-panggang dan tumpeng.
ADVERTISEMENT
Dalam definisi serupa, Juru Kunci Petilasan Mbah Jobeh di Desa Petir Kecamatan Rongkop Kabupaten Gunungkidul, Noto Sukamto, menerangkan bahwa Sadranan Mbah Jobeh itu seperti kaulan, atau memenuhi nadar.
Nadar diucapkan sembari meminta doa dari titah kang nora katon (yaitu Mbah Jobeh) agar orang yang bersangkutan luwar saka ujar ala (terbebas dari hal-hal buruk). Nyadran adalah laku untuk ngluwari (membebaskan) atau ngesahi (mengesahkan) kata-kata yang sudah diucapkan (kandha).
Dalam konteks Sadranan Mbah Jobeh, “ujar” bermakna niyat kang kawetu (niat yang muncul), baik lahir maupun batin. Ngluwari ujar, maka, bermakna ngrampungi (menyelesaikan), netepi (menetapi), atau mardikakake (membebaskan) kaul atau nadar atau punagi.
Pada intinya, tindakan suci nyadran disertai ubarampe atau sesajian makanan yang ‘harus’ diadakan oleh penyadran sebagai syarat-sah ujar-nyadran sesuai tradisi di wilayah masing-masing.
ADVERTISEMENT
Mong-mongi Unsur Alam
Legandha, makanan khas yang hadir kala Sadranan Mbah Jobeh Desa Petir Kecamatan Rongkop Kabupaten Gunungkidul
Masyarakat pendukung upacara periodik tahunan Sadranan atau Nyadran mayoritas adalah amongtani atau amongkisma. Kisma adalah tanah atau bumi. Para amongkisma mengolah tanah untuk menghasilkan pala (buah-kerja).
Nyadran, upacara suci ini, mengingatkan masyarakat tentang adanya tanah atau bumi di mana para amongkisma bercucuran-keringat dan “berdarah-darah” mengolahnya, kemudian berbagai jenis pala-palanan dapat tumbuh dan berkembang biak, kelak hasilnya digunakan untuk mencukupi kebutuhan pangan.
Tanah dipandang sebagai ruang proses produksi dan reproduksi tahunan untuk menghasilkan makanan. Tanah adalah tempat dimana prosesi kehidupan Ilahiyah bercocok-tanam berlangsung. Tanah adalah simbok (ibu), yaitu sumber kelangsungan hidup para amongkisma. Konsekuensinya: muncul upacara-upacara sejenis Nyadran dan dimaksudkan untuk menjaga kelestarian hubungan antara kehidupan manusia dengan denyut kehidupan di alam (bebrayan).
ADVERTISEMENT
Mong-mongi, yaitu membuatkan dan mempersembahkan sesajian makanan ditujukan kepada bumi atau unsur “adikodrati” kala upacara suci berlangsung, merupakan tatacara mengelola, mengatur, atau menyajikan kasih-sayang keluarga manusia ditujukan kepadanya.
Sebaliknya, bumi dan unsur adikodrati memberikan kasih sayangnya kepada keluarga manusia dengan memberi panen yang baik.
Mong-mongi lewat sesajian makanan merupakan usaha manusia untuk nyrateni bumi atau ngaten-ateni bumi. Ketika para keluarga among-kisma berkumpul pada waktu sakral untuk mengadakan upacara, makanan-makanan istimewa diolah, dihidangkan, dan disantap bersama.
Pariwisata Makanan
Gunungan Panggang Ayam kala Upacara Nyadran Gedong Pulungsari di Desa Pundungsari Kecamatan Semin Kabupaten Gunungkidul
Merujuk pada pandangan Mircea Eliade dalam bukunya yang berjudul, Mitos Gerak Kembali yang Abadi, (2002), manusia mengadakan reunifikasi pada “nol waktu”, yang tak lain adalah “waktu sakral sekarang” sebagai perulangan “waktu sakral mulabuka” (waktu awal). Upacara Sadranan atau Nyadran merupakan bentuk “rekreasi spiritual” ke kondisi waktu sakral mulabuka ini, yaitu waktu kemurnian dan kekosongan di mana para penyadran melalui ucapan nyadran yang dilakukan berharap tak memiliki utang kata-kata dan permasalahan lagi.
ADVERTISEMENT
Sepintas tampak kontras, di dalam laku kembali ke kemurnian dan kekosongan ini terkandung prosesi pariwisata dan pesta makanan. Pariwisata dalam hal ini adalah tindakan berwisata kepada hal yang romantik, yang awali, berhubungan dengan kegiatan bercocok tanam yang pada akhirnya menghasilkan produk-produk pertanian dan peternakan, kemudian dipersembahkan dan disuguhkan kala upacara suci berlangsung berupa makanan olahan.
Para pendukung upacara Nyadran yang notabene adalah para amongtani memiliki romantisme tentang laku menanam dan merawat bahan makanan, mengolah makanan, kemudian menyajikannya dalam berbagai bentuk olahan dan kemasan. Jika makanan-makanan yang disajikan dalam upacara suci dianggap merekam peristiwa sejarah dan pandangan hidup masyarakat pendukung upacara suci yang bersifat sangat mistik (kebatosan), maka masyarakat selalu ingin mengulangi menikmatinya di saat waktu sakral tahunan.
ADVERTISEMENT
Kenangan awali tentang sejarah masa lalu suatu masyarakat yang romantik bisa dirasakan ulang melalui laku yang berhubungan dengan teknologi makanan dari mendesain penanaman dan pengolahan hingga menyajikan sebagai ubarampe ketika Upacara Nyadran berlangsung.
Para pendukung upacara, para tamu undangan dan para pemerhati dari luar daerah, semua tergerak untuk mengetahui lebih dalam dan mencicipi makanan khas sebagai ubarampe upacara suci.
Aneka Sajian Makanan kala Nyadran
Gunungan Pala-palanan dipikul oleh warga menuju tempat upacara kala Upacara Nyadran Gedong Pulungsari di Desa Pundungsari Kecamatan Semin Kabupaten Gunungkidul DIY.
Di dalam buku “Sadranan Gunungkidul: Gunung Genthong, Alas Wonosadi, Sendang Logantung” (Disbud Gunungkidul, 2018), dituliskan beberapa golongan makanan yang digunakan sebagai ubarampe atau sesajian kala upacara suci dilaksanakan.
Sadranan Gunung Genthong di Desa Ngalang Kecamatan Pathuk menggunakan berbagai sesajian makanan, yaitu:
1) wohing-dami, berupa: sega-liwet, sambel-gepeng, jagung, kopat, lepet, jadah-ketan, jadah-woran, jadah-cathel, jadah-jawut, intip-sega, cengkaruk-gogik;
ADVERTISEMENT
2) palawija, berupa: kacang-srenthul godhog-goreng, dhele godhog, dhele goreng takir, jagung godhog, cabuk-wijen, dan brondong-jagung;
3) palapendhem, berupa: ketela godhog-bakar, uwi-gembili, gambol-tales godhog, kimpul, garut, lembong, kentang sabrang, tela-pendhem, gethuk, jadah-thiwul, thiwul gadhung, krecek tela, jenang grendul;
4) palagantung, yaitu: pisang-raja, pisang-ambon, pisang-gabu, pisang-kepok, pisang-uter, dll.;
5) lawuhan, berupa ayam-panggang, ikan sungai panggang, dan telur rebus;
6) kuluban pengalum-alum, berupa daun turi, daun apa-apa, dan daun dhadhap-serep.
Sadranan Gunung Genthong di Desa Ngalang Kecamatan Pathuk menggunakan berbagai sesajian makanan, yaitu: sega tumpeng sepaket dengan ayam panggang dan nasi liwet sepaket dengan lauk-pauk seperti: sambel gepeng, gudheg, pencok, jangan lombok, dan gudhangan. Dalam prosesi Sadranan Sendang Logantung di Desa Sumberharjo Kecamatan Semin terdapat: sega-wuduk, ingkung ayam, pisang raja, jajan-pasar, ketan, kolak, dan apem.
ADVERTISEMENT
Di lain tempat, seperti yang penulis saksikan beberapa waktu ini, dalam Upacara Nyadran Gedongpulungsari di Desa Pundungsari Kecamatan Semin terdapat sesajian makanan berupa: gunungan tumpeng, gunungan panggang ayam, dan pisang-raja. Sementara dalam Sadranan Mbah Jobeh di Desa Petir Kecamatan Rongkop ditemukan adanya bongko-gudhe dan sega-segiling sebagai sesajian wajib, serta legandha sebagai sajian khas upacara.
Dalam beberapa pelaksanaan Upacara Sadranan atau Nyadran yang disebutkan di atas, berbagai bahan makanan berupa pala-palanan diundungkan atau digunungkan berbentuk Gunungan Palawija, Gunungan Rajakaya (gunungan kekayaan bumi) atau Gununggan Rajapala (gunungan pala-palanan unggul).
Selain ubarampe makanan berupa pala-palanan dan aneka jejanganan, Upacara Nyadran juga menyajikan hewan kurban seperti kambing dan sapi. Rajakaya seperti kambing dan sapi, di satu sisi ditiru bentuknya oleh masyarakat untuk menciptakan gunungan yang nantinya diarak dalam kirab upacara, di sisi lain merupakan syarat kesuburan tanah pertanian pada (re)produksi berikutnya.
ADVERTISEMENT
Kucuran darah hewan kurban diyakini dapat menghubungkan batin masyarakat dengan pepundhen atau leluhur dimana Upacara Nyadran lahir dan hidup, sekaligus menghubungkan rasa-rumangsa para amongkisma dengan tanah yang diolahnya.
Mengutip apa yang dikatakan oleh F.W. Dillistone (The Power of Symbols, 2002), darah merupakan penghubung yang dramatis antara kehidupan dan kematian, antara dunia orang hidup dan dunia orang mati. Cucuran darah hewan kurban ditujukan untuk menjaga keseimbangan hidup. Mencurahkan darah demi sesuatu hal yang diyakini terhormat merupakan cara untuk mencapai jasa tertinggi: labuh-labet pepundhen-leluhur bagi pertumbuhan desa.
Simbol darah berkaitan erat dengan simbon bebanten (kurban). Kurban-kurban dipersembahkan terkadang bersamaan dengan hadirnya teknologi pertanian yang lebih terorganisasi, di kala para amongtani menabur benih lantas ditumbuhkan dengan aliran air atau jatuhnya air dari langit.
ADVERTISEMENT
Para pepundhen atau tokoh yang bersemayam di suatu tempat suci dimana Upacara Nyadran dilaksanakan tiap tahun (adikodrati) merupakan pihak yang diberi sesajian hewan kurban ini. Para pepundhen dan tanah-garapan adalah sumber banyubening, yaitu sumber ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan bagi para amongtani. Melalui persembahan hewan kurban, para pepundhen para leluhur diharapkan dapat memberikan berkah kepada keluarga para amongtani dan lingkungannya, sehingga aneka-warna makanan dari kerja among-bumi dapat dihasilkan.
Aneka sesajian makanan, hewan kurban, serta Gunungan Palawija atau Gunungan Rajakaya atau Gunungan Rajapala diarak dan dipersembahkan kepada pepundhen atau leluhur di suatu tempat sakral dimana Upacara Sadranan atau Nyadran dilangsungkan. Setelah diikrarkan dengan doa secara kolektif, berbagai sesajian makanan dan pala-palanan diperebutkan (rayahan, grebeg) oleh seluruh masyarakat yang hadir.
ADVERTISEMENT
Kembul Bujana Andrawina
Kembul adalah makan bersama. Terkadang wadah makanan (ajang) yang digunakan untuk kembul pun sama. Bujana adalah makanan. Andrawina adalah pesta besar yang sifatnya bergembira dan penuh makanan serba enak. Kembul bujana andrawina lazim dilaksanakan sebagai prosesi akhir suatu upacara suci tahunan seperti Sadranan atau Nyadran, yaitu pesta makan bersama dalam satu ruang bersama yang sifatnya bergembira-ria dan penuh makanan serba enak. Intinya, kembul bujana andrawina adalah pesta makanan.
Makanan-makanan yang diwujudkan dalam gunungan, setelah diikrarkan oleh kaum atau juru kunci atau tetua desa, kemudian diperebutkan oleh segenap masyarakat. Masyarakat pendukung upacara suci dan masyarakat penonton semua berdesakan hendak mendapatkan makanan yang digunungkan. Para pepundhen para leluhur beserta petilasan atau pesanggrahannya serta aneka makanan yang dipersembahkan atau disajikan ketika upacara suci berlangsung ini merupakan pusat orientasi dimana energi seluruh keluarga dipersembahkan sekaligus secara kosok-bali dimintakan berkah.
ADVERTISEMENT
Bagi siapa yang memperoleh makanan atau bahan makanan dari rayahan atau nggrebeg gunungan diyakini dapat memperoleh berkah kebaikan dan keselamatan. Bahan makanan yang diperoleh dari rayahan atau grebeg berupa pala-palanan akan diikutsertakan dalam proses reproduksi atau regenerasi olah pertanian di musim yang sebentar lagi datang.
Siklus Makanan, Upacara, dan Pertanian
Lahan pertanian tadah hujan di Kecamatan Semanu yang telah ditanami gabah (lebon ngawu-awu) menunggu datangnya hujan
Pesta kolektif mendapatkan justifikasi ritual dalam rangka membantu perkembangan vegetasi yang dilangsungkan pada periode tertentu (Mircea Eliade, 2002). Para among-tani setelah memberikan persembahan sesajian dan sedekahan nyadran sebagai buah dari olah-tani mereka lantas mempersiapkan beberapa benih untuk masa tanam berikutnya.
Pesta kolektif merupakan bagian dari regenerasi tahun tanam. Hasil dari nggrebeg gunungan, kemudian dijadikan satu dengan winih untuk periode tanam berikutnya. Berkah dari nggrebeg gunungan palawija, digunakan untuk menstimulan kelahiran pala-palanan baru.
ADVERTISEMENT
Aneka makanan dalam Upacara Sadranan atau Nyadran merupakan alih-ubah bentuk-bentuk pala dalam proses daur hidup pala. Awalnya pala, kemudian bergerak menjadi aneka bentuk makanan, akhirnya kembali ke pala lagi.
Makanan-makanan sebagai alih ubah pala-palanan dapat menghubungkan dimensi mistik (kebatosan) antara amongtani dengan tanah olahannya, antara simbol perjuangan dan pengorbanannya dengan pepundhen dan leluhur, lebih tinggi lagi dengan sesuatu yang diyakini sebagai Yang Ilahi.
Sumber-sumber makanan hewani dan nabati dihadirkan sebagai persembahan kepada sesuatu yang diyakini bernilai tinggi sesuai dengan penggolongan dan penderajatannya. Apalagi karena alasan ilmiah-empirik bahwa sumber-sumber makanan itu memang bernilai tinggi. Terkadang, kehadirannya memang hanya ada di waktu upacara suci yang telah ditentukan petungan-nya. Persembahan makanan yang bernilai tinggi (kodrati) memang untuk mundhi (menghormati) dan memule (menyatukan, mengikatkan) dengan unsur-unsur adikodrati (leluhur, pepundhen).
ADVERTISEMENT
Kecintaan kepada makanan-makanan yang dihasilkan oleh lahan pertanian dimana para amongtani atau amongkisma bekerja terkadang dihubungkan dengan penghormatan kepada Dewi Bumi, Dewi Sri.
Desain teknologi pertanian modern pada akhirnya (kembali) menerapkan sistem tanam SRI dan Jajarlegawa, dimana sorot (sri, cahaya) matahari dapat menembus tanah pertanian dengan leluasa, mengakibatkan tanaman pari dan palawija dapat tumbuh dengan baik. Hasilnya pun dikembalikan, disajikan, dan dipersembahkan kepada Dewi Sri (salah satu interpretasi Upacara Rasul berasal dari jarwa-dhosok “rasul”: “beras-wangsul”).
Sadranan atau Nyadran mangsulake (mengembalikan) para amongtani-amongkisma, para aparatur negara, para manusia wisata, para golongan manusia yang berpencar sebagai kelompok-kelompok lain di wilayah-wilayah lain (liyan), para keluarga besar anggota keluarga sendiri (trah), atau pihak-pihak siapapun, manapun, dan apapun yang ikut andil di dalamnya, untuk menghadiri, mengerubungi, dan mendoakan makanan-makanan (kupengan, kendhuri, atau kendhurenan).
ADVERTISEMENT
Meminjam penalaran Mircea Eliade (2002) di atas tadi: masyarakat berbagai golongan mengadakan reunifikasi pada waktu dan ruang sakral secara bersama-sama untuk merayakan, mendoakan, menikmati, serta membagi makanan-makanan khas istimewa.
Makanan-makanan yang secara teknologis direncanakan-ditanam, yang diolah penuh keikhlasan, yang dirayakan dan digunungkan, yang didoakan, yang dibagi dan dinikmati bersama-sama oleh seluruh golongan kehidupan kala upacara suci berlangsung diyakini merupakan jalan (re)unifikasi dengan apa yang dipercayai sebagai Yang Ilahi.
Bukan kah Yang Ilahi, dengan demikian dan telah demikian adanya, bertempat dan berada (mungguh) dalam kelembutan (kelungidan) aneka pala-palanan yang diolah sedemikian rupa menjadi makanan-makanan, terlebih makanan-makanan yang cenderung memiliki peran besar dan terikat secara batin dengan cerita suci atau ‘sejarah’ si manusia beserta keluarganya?
ADVERTISEMENT
Bukan kah makanan-makanan lah yang secara paradoks digambarkan sebagai “realitas kesurgaan” karena dapat membantu manusia mencapai ekstasi-katarsi?
Mari kita-lihati bersama-sama lain kali, kala Upacara Nyadran datang kembali!
[Teks dan foto oleh : Naratala]
----------------------------