Kala Bakpia Jogja Digembleng Corona Sampai Hancur Lebur jadi Pempek Palembang

Konten dari Pengguna
13 September 2020 12:33 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Menekuni bisnis bakpia sejak 2004, masa pandemi virus corona adalah masa-masa paling pelik yang pernah dihadapi oleh Tano Nazoeaggi, 34 tahun, pendiri brand bakpiapia. Foto: Widi Erha Pradana.
zoom-in-whitePerbesar
Menekuni bisnis bakpia sejak 2004, masa pandemi virus corona adalah masa-masa paling pelik yang pernah dihadapi oleh Tano Nazoeaggi, 34 tahun, pendiri brand bakpiapia. Foto: Widi Erha Pradana.
ADVERTISEMENT
Menekuni bisnis bakpia sejak 2004, masa pandemi virus corona adalah masa-masa paling pelik yang pernah dihadapi oleh Tano Nazoeaggi, 34 tahun. Dia adalah seorang pengusaha kuliner di Yogya, pemilik brand Bakpiapia. Badai corona membuat bisnis bakpianya porak poranda, sehingga memaksanya untuk jungkir balik dan memutar otak bagaimana supaya bisa tetap bertahan dari gempuran badai corona.
ADVERTISEMENT
Sektor pariwisata benar-benar dibuat lumpuh, sejak pemerintah memberlakukan status tanggap darurat COVID-19. Padahal, sektor pariwisata adalah ladang rezeki utama untuk Bakpiapia. Dengan semua pertimbangan, dengan berat hati Tano menutup sementara usaha bakpianya sejak Maret silam sampai saat ini.
“Sejak bulan Maret Bakpiapia diistirahatkan karena wisatawan yang menurun drastis,” ujar Tano ketika ditemui, Senin (31/8).
Setelah menghitung penghasilan dan biaya operasional yang harus ditanggung ketika usahanya tetap beroperasi di tengah pandemi ini, ternyata besar pasak dari tiang. Tano tidak ingin mengambil risiko terlalu besar, apalagi harus berutang demi menutup biaya operasional perusahaan. Cadangan keuangan perusahaan juga tidak cukup untuk menopang semua biaya yang harus dikeluarkan.
“Apalagi kita enggak tahu sampai kapan pandemi ini akan berlangsung, sebelum semua benar-benar hancur lebih baik kita tutup dulu sementara,” lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Menghadapi Dilema Badai PHK
Ilustrasi kesibukan di pabrik bakpia. Foto: Pixabay.
Total ada lima cabang Bakpiapia yang Tano istirahatkan selama pandemi ini. Akibatnya, sekitar 40 tenaga kerja yang selama ini menggantungkan hidup dari Bakpiapia kena imbasnya. Karena usaha tidak jalan, mereka terpaksa diistirahatkan, sampai nantinya Bakpiapia bisa berjalan seperti semula.
Pilihan ini menurut Tano adalah yang terbaik, ketimbang memaksakan semua tetap berjalan dengan modal utang yang biasanya justru akan bikin makin sulit di belakang. Berat baginya mengatakan hal ini kepada para karyawannya, antara tega dan tidak. Tapi di sisi lain, risiko yang terlalu besar sudah menanti jika dia nekat memaksakan perusahaannya tetap beroperasi.
“Kuncinya di transparansi sih. Kita buka semua, terutama bagaimana kondisi keuangan perusahaan, sehingga mereka juga ngerti,” ujar Tano.
ADVERTISEMENT
Alasan lain, perusahaan menurut Tano juga lebih mengutamakan keselamatan pekerja dari paparan COVID-19. Karena mengandalkan sektor pariwisata, kebanyakan pembeli bakpia adalah wisatawan dari luar yang tidak pernah diketahui bagaimana riwayat perjalanannya sebelum dia datang ke toko.
“Seperti yang kita ketahui, bahwa di awal-awal persebaran COVID-19 ini kan semua dari luar, dari pendatang. Karena buat apa kita mendapatkan uang tapi mengorbankan banyak orang,” lanjutnya.
Pemenuhan hak-hak karyawan selama bekerja menurutnya juga menjadi poin penting, supaya karyawan juga bisa memahami ketika perusahaan sedang berada di situasi sulit. Misalnya pembayaran gaji tepat waktu, jaminan kesehatan, dan sebagainya. Jaminan kesehatan, dalam hal ini BPJS.
Ketenagakerjaan juga cukup menyelamatkan dia. Pasalnya setelah pemutusan hubungan kerja, BPJS Ketenagakerjaan ini bisa dicairkan sebagai tambahan pesangon untuk bekal para karyawan selepas tidak bekerja lagi di perusahaan.
ADVERTISEMENT
“Besarannya juga lumayan, ada yang Rp 6 juta, Rp 7 juta, jadi cukup lah untuk bekal lebaran sambil mereka mencari sumber pendapatan baru,” ujar Tano.
Banting Setir Jualan Pempek Palembang
Pempek dengan brand Pak Jo yang sedang dikembangkan Tano Nazoeaggi. Foto: Maya P
Selepas memutuskan menutup sementara usaha bakpianya, Tano langsung mencoba produk-produk makanan lain untuk menggantikan bakpia. Jiwa pengusahanya justru kian tertantang. Sejak kecil, orangtuanya memang selalu mendorongnya untuk menjadi sorang pengusaha, alih-alih pekerja kantoran.
Berbagai produk mulai dia kembangkan dan diujikan ke pasar. Mulai dari lumpia, gudeg, sampai pempek.
“Pempek ini yang respons pasarnya paling bagus,” ujar Tano.
Dipilihlah pempek sebagai salah satu produk andalan baru, dengan resep yang ditemukan sendiri oleh ibunda Tano. Ibunya memang orang Palembang asli, yang sejak kecil sangat akrab dengan pempek. Lahirlah Pempek Pakjo, sebagai brand produknya yang baru.
ADVERTISEMENT
“Ibu saya memang hobi bikin pempek juga,” lanjutnya.
Karena fokus penjualannya adalah penjualan online, yang menjadi PR kemudian adalah bagaimana membuat pempek buatannya bisa bertahan lama. Pasalnya jika dalam keadaan normal, pempek paling lama hanya bisa bertahan satu bulan, itupun harus dibantu dengan mesin pendingin. Jika dikirim tanpa alat pendingin, sehari atau dua hari saja kondisinya sudah tidak bagus untuk dikonsumsi.
“Akhirnya kita terus belajar, bulan April kita sudah mulai realisasikan penggunaan vakum sterilisasi,” ujarnya.
Dengan teknologi ini, bahkan tanpa alat pendingin, Pempek Pakjo bisa bertahan sampai satu tahun, di suhu ruang. Seperti sosis kemasan, produk pempek buatannya juga tidak perlu dimasak lagi. Pempek buatannya bisa langsung dimakan bersama sambal atau cuko langsung setelah dibuka kemasannya.
ADVERTISEMENT
“Karena pempek buatan kita memang pempek Palembang, jadi dibuat semirip mungkin dengan yang ada di Palembang. Di Palembang itu, pempek tidak perlu digoreng lagi, tapi langsung diminum, terus cukonya diminum,” lanjutnya.
Mencari Manfaat yang Lebih Luas
Foto: Maya P
Sekitar empat bulan mengembangkan usaha pempek, sudah ada sekitar 130 reseller yang bermitra untuk menjual kembali Pempek Pakjo. Di awal, Tano mengatakan bahwa mereka memang fokus untuk memasarkan produknya secara B2B atau business to business. Mereka menjual produk kepada mitra mereka, untuk kemudian dijual kembali ke customer.
“Rencana bulan September ini kita bakal buka cabang di Semarang, cabang offline,” ujar Tano.
Bisnis menurut Tano bukan sekadar untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya. Baginya, bisnis adalah alat untuk memberikan manfaat seluas-luasnya. Ketika menjalankan bisnis bakpia, perusahaan hanya memberikan manfaat untuk sekitar 40an tenaga kerja. Tapi dengan produk pempek ini, perusahaan bisa memberikan manfaat untuk 130an reseller, ditambah beberapa karyawan lama yang kini sudah mulai ditarik lagi untuk menjalankan usaha pempek.
ADVERTISEMENT
Tano berusaha bagaimana supaya orang-orang yang ingin bermitra dengan perusahaannya sebagai reseller benar-benar dimudahkan. Mereka cukup membeli produk pempek seharga Rp 300 ribu di awal. Karena tidak produknya bisa bertahan lama, reseller juga tidak perlu mempunyai mesin pendingin atau freezer.
“Walaupun jujur, sampai sekarang kita belum untung. Jadi keuntungananya itu baru cukup untuk menutup biaya operasional dan gaji karyawan,” lanjutnya.
Perkembangan usaha pempek menurut Tano lebih cepat ketimbang bakpia. Pasalnya, pempek menurutnya tidak terlalu bergantung pada sektor pariwisata seperti bakpia. Sama halnya dengan mie ayam, martabak, soto, baso, dan lainnya, pempek adalah makanan atau jajan alternatif yang bisa dimakan kapanpun sehingga cakupan pasarnya menjadi lebih luas.
Sekarang, Tano masih fokus mengenalkan merek pempeknya ke publik. Menurutnya, itulah yang paling penting untuk dilakukan saat ini. Senjata utamanya untuk mengenalkan mereknya ke publik adalah media sosial, dia fokus melakukan promosi digital.
ADVERTISEMENT
“Kita lebih banyak pakai Facebook, digital marketing. Dan kita utamanya adalah tembak ke reseller. Mungkin karena pandemi juga, jadi banyak orang yang mencari sumber pendapatan alternatif,” lanjutnya.
Sebagai seorang pengusaha, Tano mendapatkan banyak pelajaran dari pandemi. Pandemi mengajarkan, bahwa utang dengan semua bunganya, sangat tidak sehat untuk perkembangan usaha. Sebab, tidak ada yang tahu bagaimana perkembangan bisnis ke depan, seperti tidak ada yang menduga bahwa akan ada badai pandemi yang menghantam.
Dia selamat, karena utang-utang perusahaannya sudah lunas sebelum pandemi. Sehingga meskipun perusahaan tidak mendapatkan pemasukan, dia tidak perlu menanggung pengeluaran angsuran demi angsuran. Kalaupun sangat perlu berutang, menurutnya lebih baik berutang pada orang-orang terdekat, itupun harus disepakati tidak ada bunga dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
“Kita juga harus sigap dengan semua situasi yang berubah, melakukan inovasi-inovasi yang sesuai dengan semua keadaan. Karena yang berhasil itu adalah yang bisa beradaptasi,” ujar Tano menegaskan. (Widi Erha Pradana / YK-1)