Kaprodi Sastra Jawa UGM : Kartini Jaman Now, Raihlah Cita-cita dengan Kelembutan Hati

Konten dari Pengguna
22 April 2018 3:58 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kaprodi Sastra Jawa UGM : Kartini Jaman Now, Raihlah Cita-cita dengan Kelembutan Hati
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Berbeda dengan pandangan umum terkait perayaan hari Kartini, Kaprodi Sastra Jawa UGM, Sri Ratna Sakti Mulya justru membisikkan pentingnya kelembutan dan sikap sumarah untuk Kartini Jaman Now.
ADVERTISEMENT
Desember tahun lalu, Museum Sonobudyo Jogja menyelenggarakan pameran temporer dengan tema “Pengilon, Kisah Perempuan dalam Silang Budaya.” Pameran ini memajang 380 koleksi Museum Sonobudoyo yang terkait dengan cermin dan benda-benda lain yang digunakan perempuan Nusantara di masa lalu. Dan pameran dinyatakan sebagai ruang refleksi terhadap peran perempuan dalam sejarah peradaban Nusantara dan kenyataan perempuan Indonesia kontemporer. Bertindak sebagai kurator pameran, Greg Wuryanto, Sri Ratna Saktimulya, Suzie Handajani, DS Nugrahani, dan Ons Untoro.
Greg, dosen Arsitektur Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW), dalam catatan kuratorialnya memulai dengan konstruksi narasi perempuan melalui pemikir Perancis, Simone de Beauvoir. Dia juga menjelaskan tiga gelombang narasi feminism menurut filosof Bulgaria-Perancis, Julia Kristeva. Kurator lain menyusuri jalan nama-nama perempuan di masa lalu, seperti Srikandi dan Durga.
ADVERTISEMENT
Meski apa yang dipamerkan adalah benda-benda khas perempuan di masa lalu dari cermin hingga ratus vagina, catatan kuratorial rasa-rasanya menjadi dejavu dari setiap perayaan hari Kartini 21 April. Hal itu makin menegas saat lorong buatan dari kain hitam sebelum mencapai pintu masuk pameran terpampang foto beserta kutipan-kutipan dari tokoh-tokoh perempuan. Dimulai dari Kartini, menyusul Najwa Shihab, Menteri Susi hingga Dewi Lestari. Dan dejavu itu makin menguat pada saat ini, saat hari Kartini benar-benar datang.
Kaprodi Sastra Jawa UGM : Kartini Jaman Now, Raihlah Cita-cita dengan Kelembutan Hati (1)
zoom-in-whitePerbesar
Tapi sebenarnya ada satu catatan kuratorial pameran "Pengilon" yang menyusuri kisah perempuan dari jalur yang agak berbeda dari para kurator lain. Catatan ini tampak asyik sendiri, tidak ikut dalam genderang percakapan dikotomi perempuan laki-laki.
ADVERTISEMENT
Sama-sama membicarakan kisah perempuan di masa lalu, kurator lain memilih kisah karakter perempuan kuat yang mengalahkan laki-laki di medan laga, ada Srikandi ada Durga.
Kepala Program Studi (Kaprodi) Sastra Jawa Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Gadjah Mada (UGM), Sri Ratna Sakti Mulya, mengisahkan cerita yang tertera di dalam “Babad Matawis saha Candra Nata,” yang justru mengisahkan sosok perempuan tabah yang berbakti pada suami.
Dalam perang melelahkan Mataram dan Madiun, permaisuri Panembahan Senapati, Putri Adisari merelakan dirinya menjadi juru damai dengan meminang anak dari Adipati Madiun, Retno Dumilah untuk dipersunting suaminya. Pada masa lalu, jalan damai dua kerajaan selalu ditandai dengan pernikahan raja dengan anak raja yang sedang berkonflik.
ADVERTISEMENT
Bagi Ratna Sakti, baik Putri Adisari dan Retna Dumilah, adalah pesona yang menyejukkan hati di sebuah situasi perang yang melelahkan. Di Babad Matawis keduanya dicatat sebagai wujud dari keanggunan jiwa yang memunculkan kewibawaan.
“Selain diberkahi kecantikan dan kecerdasan, keduanya dilekati sikap sumarah, tulus, dan pemberani. Berani di sini dimaknai sebagai berani menempuh tantangan dan resiko demi tujuan mulia. Hal itu bisa terwujud berkat tekat yang mantap dan bakti kepada suami,” tulis Ratna Sakti.
Bagi konstruksi perempuan hari ini, sikap keduanya seperti susah diterima akal. Keduanya, menyediakan diri untuk dipoligami demi menyelesaikan peperangan, bukanlah pilihan yang relatif dikenal dalam konstruk kesadaran hari ini.
Untuk mengetahu lebih jauh pandangan Sri Ratna Sakti Mulya mengenai perempuan dan perayaan hari Kartini, pandangan jogja, mewancarai Sri Ratna Sakti Mulya, pada Sabtu (21/4) petang. Berikut petikannya.
ADVERTISEMENT
Bu Sakti, kenapa ibu dalam catatan kuratorial itu memilih sosok Putri Adisari dan Retno Dumilah, padahal tidak tergambar kekuatan atau pencapaian yang sejajar dengan laki-laki, dari keduanya?
Pilihan naskah apa yang akan dibaca atau bagaimana membaca sebuah naskah memang tergantung dari horizon atau bekal dari pembacanya sendiri. Terkait naskah itu, memang mayoritas naskah-naskah Jawa selalu melihat perempuan utama adalah perempuan yang memiliki ketulusan berdasar darma. Perempuan melakukan sesuatu, memberi yang terbaik, itu karena darma, dan bukan karena gejolak untuk menguasai dunia.
Dalam teks Matawis, Putri Adisari dengan kecantikan dan ketulusannya diceritakan bisa mengatasi masalah orang terkasihnya, yakni Panembahan Senopai yang sudah nglokro menghadapi peperangan. Rasa kasih pada suaminya, junjungannya, sebagai perempuan ia merasa dari lubuk hatinya, untuk dapat membantu. Begitupun Retno Dumilah, harus berpisah dengan ayah ibunya diboyong menjadi permaisuri Panembahan Senopati. Putri tercantik di antara para putri, mengabdikan dirinya dengan tulus untuk kepentingan yang jauh lebih besar.
ADVERTISEMENT
Jadi perempuan yang ideal menurut ibu adalah perempuan yang berhati tulus dan darma bakti pada suami?
Sebenarnya hal itu terkait dengan pandangan dunianya secara holistik. Melihat perempuan kita harus melihat dunia besar yang ingin dituju bagaimana. Pada intinya, perempuan yang kuat adalah perempuan yang bisa memandang dunianya secara adil. Saya dimana, laki-laki dimana, dan dunia macam apa yang mau dituju. Kalau yang dituju adalah penguasaan untuk dirinya sendiri, maka yang akan selalu terpancar adalah selalu aku yang benar.
Contohnya, dalam suluk batik, dimana pekerjaan membatik adalah pekerjaan para perempuan Jawa. Dalam membatik, kain batik yang ditorehkan malam itu musti dilakukan dengan pikiran yang berisi sembah nuwun Gusti Pangeran saya melakukan darmaku yang dalam hal ini membatik. Sehingga tidak terpengaruh hiruk pikuk kemarahan untuk pengusaaan, di sekitarnya.
Kaprodi Sastra Jawa UGM : Kartini Jaman Now, Raihlah Cita-cita dengan Kelembutan Hati (2)
zoom-in-whitePerbesar
Jadi darma itu musti dengan sikap penuh kelembutan dan menghindari kemarahan?
ADVERTISEMENT
Benar, kelembutan itu akan bisa muncul kalau di dalamnya kuat. Di dalam tarian Jawa, meski saya bukan ahli tari ya, ketika menari itu gerakannya penuh kelembutan. Namun, kalau kita perhatian, seluruh gerakan yang sangat lembut tidak mungkin bisa dilakukan kalau fisik dan batinnya kuat. Sikap mendak misalnya, posisi merendah dengan dengkul yang tertekuk sedikit yang menyangga seluruh berat badan, itu berat sekali.
Penari jawa, penglihatannya juga tidak liar ke kanan ke kiri, harus lurus beberapa depa ke depan. Itu menata hati, sama dengan puasa.
Di Jawa, wanito itu artinya wani ditoto, bagaimana itu?
Wani ditoto jangan diartikan yang noto adalah orang lain, tapi oleh diri sendiri. Artinya, jangan yang ditonjolkan itu selalu dikotomi laki-laki dan perempuan. Yang ditonjolkan dari wanito yang selama ini dipahami kan, wong wedok aku emoh ditoto wong lanang, emoh dijajah. Lha yang njajah itu siapa?. Jangan-jangan terjajah oleh keinginannya sendiri yang menggebu-gebu oleh nafsu menguasai. Makanya, mari kita bisa menata keinginan kita sendiri. Jadi wanito wani ditoto, sing noto yo awake dhewe manut aturane Gusti Allah, sing noto Gusti Allah dengan lantaran keinginan kuat kita sendiri untuk tidak merusak, tidak marah-marah.
ADVERTISEMENT
Kalau suaminya pemarah bagaimana bu, apakah istri tidak boleh melawan?
Tentu dimensinya banyak. Setiap peristiwa tentu banyak sekali sebab besar maupun kecilnya. Pada intinya emosi lah yang sering menjadi masalah. Maka salah satunya adalah menyebarkan jalan kelembutan.
Kalau laki-laki pemarah dihadapi oleh perempuan yang juga bicara dengan suara sama keras dan tajam, menunjuk-nunjuk dengan jari, menunjuk kelebihannya sendiri dan kekurangan orang lain, itu sebenarnya keduanya sama-sama lemah. Lemah karena tidak menguasai emosinya sendiri. Karena yang dipancarkan keduanya selalu akulah yang benar.
Pengalaman saya menghadapi mahasiswa nakal minta ampun, tapi kita menyapa dia dengan rasa terdalam mrene sedelo omong-omong sediluk, bocah koyo ngono garange malah iso nangis. Di balik kelembutan, saya meyakini ada kekuatan yang jauh lebih besar.
ADVERTISEMENT
Pandangan ibu sepertinya susah diterima oleh, misalnya orang Jakarta yang lingkungannya bergegas, laki-laki dan perempuan bekerja semua dan berebut tempat dan kuasa yang sama?
Lingkungan tempat hidup dan bacaan terhadap hidup, tentu sangat berpengaruh terhadap persepsi atas kenyataan. Jakarta mungkin berbeda nilainya. Tapi selalu ada yang bisa dipelajari dari pelajaran kelembutan wanita Jawa.
Misalnya saat ini semua saling keras, gontok-gontokkan rebutan kuasa, harus selalu ada yang terus mempercayai kekuatan kelembutan dan darma berserah pada Tuhan. Kalau semua sudah tidak percaya pada kelembutan, emosi semua yang dimaju-majukan, pada akhirnya kita semua akan mendapati hasil yang sama, yakni kehancuran.
Perempuan dimanapun berada mau di desa mau di kota besar seperti Jakarta, menurut saya tetap harus menyadari kodratnya sebagai perempuan. Kita, perempuan yang ingin berjuang, perempuan pejuang, pasti memiliki unsur kelembutan. Menyeru dengan lantang, bersikap keras, musti diimbangi dengan kesadaran bahwa kita hamba Tuhan yang diciptakan utuk menebar kasih dengan kelembutan.
ADVERTISEMENT
Tapi kalimat saya ini mungkin tidak akan disetujutui oleh perempuan metropolis ya, yang dituntut oleh lingkungan untuk harus begini harus begitu. Makanya jangan mau dituntut lingkungan, harus mengerti tujuannya mau kemana sebenarnya. Dalanku wes bener, wes pener, atau justru jalan yang keliru. Perempuan musti memulai bertanya pada dirinya sendiri, bercakap-cakap dengan batinnya, untuk mengetahui cita-citanya yang murni dan baik. Sehingga bisa menempuh perjalanan yang penuh sinar terang ilahi. Yang dengan ini perempuan bisa menyinari lingkungannya, dengan cahaya lembutnya tidak ikut-ikut membuat kisruh suasana, rumah tangga maupun bangsa.
Pesan khusus untuk peringatan Hari Kartini ?
Kita para perempuan, terutama para perempuan Kartini Jaman Now, semoga mampu mewujudkan harapan dan cita-cita dengan tetap berbekal sumarah, tulus, dan lembut hati sehingga dalam perjalanan menuju perbaikan situasi dari kondisi apapun akan tetap menerangi dan meneduhkan hati.
ADVERTISEMENT
(Selain menjadi Kaprodi Sastra Jawa UGM, Sri Ratna Sakti Mulya adalah juga abdi dalem pengelola perpusatakaan Widyapustaka, Pura Pakualaman Jogjakarta.)
-pandangan jogja 2018-