Kelelawar Stres Habitatnya Dirusak Manusia Diduga Jadi Penyebab Munculnya Corona

Konten dari Pengguna
1 April 2020 14:09 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi kelelawar. Foto : Doi.gov
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kelelawar. Foto : Doi.gov
ADVERTISEMENT
Binatang liar, terutama kelelawar menjadi terduga utama penyebar virus corona baru atau SARS-CoV-2, penyebab pandemi global COVID-19 yang tengah dihadapi masyarakat dunia saat ini. Sebagai hewan yang aktif di malam hari, kelelawar memang sangat mungkin menjadi sumber utama virus corona. Namun sejumlah ilmuwan sepakat, kelelawar tidak bisa disalahkan atas pandemi global yang telah mengubah segala lini kehidupan manusia saat ini.
ADVERTISEMENT
Meski sudah dianggap sebagai tersangka utama, namun para ilmuwan belum yakin sepenuhnya virus ini berasal dari kelelawar. Mereka harus mengisolasi virus yang hidup dalam spesies yang dicurigai untuk membuktikan bahwa virus ini benar-benar berasal dari kelelawar, sebuah tugas yang tak mudah.
Memang, SARS-CoV-2 sangat mirip dengan apa yang terdapat pada kelelawar tapak kuda China. Namun pertanyaan penting tentang bagaimana virus itu pindah dari kelelawar ke manusia hingga akhirnya menyebar ke seluruh bumi nyaris tak tersentuh. Untuk menjawab pertanyaan itu, pemikiran ulang dan menyeluruh tentang bagaimana manusia memperlakukan planet ini harus dilakukan.
Para pakar zoologi, dalam sebuah artikel yang dimuat CNN, mengatakan bahwa perilaku manusialah yang menyebabkan pandemi global ini. Penghancuran habitat alami serta mobilitas manusia yang kian cepat memungkinkan virus yang sejak dulu terkunci di alam kemudian hidup dan menyebar dari satu manusia ke manusia lainnya.
ADVERTISEMENT
Demam Saat Terbang
Kelelawar merupakan satu-satunya mamalia yang dapat terbang, sehingga memungkinkan untuk menyebar dalam jumlah besar dari satu komunitas di wilayah yang luas. Artinya, mereka dapat menampung banyak pathogen atau penyakit. Karena sebagian besar aktivitasnya adalah terbang, maka sistem kekebalan tubuh mereka juga menjadi istimewa.
“Ketika terbang, suhu tubuh kelelawar memuncak, yang menyerupai demam,” kata Andrew Cunningham, Profesor Epidemiologi Hewan Liar di Zoological Society, London seperti dikutip dari CNN.
“Hal itu terjadi setidaknya dua kali dalam sehari pada kelelawar, ketika mereka terbang mencari makan dan kembali ke sarang. Sejumlah patogen di tubuh kelelawar kemudian berevolusi untuk bertahan di tengah memuncaknya suhu tubuh itu,” lanjutnya.
Cunningham menambahkan, hal tersebut menimbulkan masalah ketika penyakit-penyakit itu menular ke spesies lain, misalnya manusia. Bagi manusia, demam merupakan mekanisme pertahanan tubuh yang dirancang untuk menaikkan suhu supaya bisa membunuh virus. Persoalannya, virus yang telah berevolusi dalam tubuh kelelawar kemungkinan tidak akan terpengaruh oleh suhu tubuh manusia meski sudah lebih tinggi saat demam.
ADVERTISEMENT
Namun kenapa virus ini bisa menular ke manusia? Menurut Cunningham, jawabannya adalah adanya limpahan zoonotik atau zoonotic spillover. “Penyebab mendasar zoonotic spillover dari kelelawar atau spesies liar lainnya, hampir selalu bahkan bisa dipastikan mengarah ke perilaku manusia,” kata dia. “Aktivitas manusia yang menjadi pemicunya,” tegasnya.
Stres Membuat Tubuh Kelelawar Dikuasai Patogen
Ketika kelelawar mengalami stres karena diburu atau rusaknya habitat aslinya akibat penggundulan hutan, sistem kekebalan tubuhnya akan menurun sehingga sulit untuk mengatasi patogen. Akibatnya, tubuh kelelawar dikuasai oleh patogen.
“Kami percaya bahwa dampak stres pada kelelawar akan sangat banyak seperti pada orang,” kata Cunningham.
Stres memungkinkan infeksi meningkat sehingga harus dibuang. Hal ini serupa ketika manusia mengalami radang dingin. “Ini bisa terjadi pada kelelawar juga,” lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Di pasar basah Wuhan yang disebut-sebut sebagai episentrum virus ini, tempat hewan liar ditahan bersama dan dijual untuk dijadikan makanan lezat maupun hewan peliharaan, hal mengerikan ini sangat mungkin terjadi.
Jika hewan-hewan liar ini dikirim atau ditampung di pasar, dekat dengan hawan lain maupun manusia, sangat mungkin virus itu ditumpahkan dalam jumlah besar. Di pasar basah seperti yang ada di Wuhan, hewan-hewan di dalamnya juga lebih rentan terhadap infeksi karena stres yang dialami.
Hal serupa juga dikatakan Kate Jones, Ketua Bidang Ekologi dan Keanekaragaman Hayati di University College London.
Menurutnya, saat ini tingkat eksploitasi hewan oleh manusia ada pada skala yang belum pernah terjadi sebelumnya. Tujuannya sangat beragam, baik untuk penelitian, medis, peliharaan, bahkan untuk dikonsumsi.
ADVERTISEMENT
“Kita juga menghancurkan habitat mereka menjadi lanskap yang didominasi manusia. Hewan-hewan campur aduk, dalam cara aneh yang belum pernah terjadi sebelumnya. Di pasar, misalnya, hewan-hewan dikurung dalam kandang dan ditumpuk satu sama lain,” ujarnya.
Kurang Mengenal Kelelawar
Cunningham dan Jones sama-sama menyebutkan mobilitas manusia yang kian cepat telah mengakibatkan limpahan zoonotik ini menjadi pandemi global seperti sekarang. Sebenarnya, limpahan zoonotik dari hewan-hewan liar sudah terjadi sepanjang sejarah.
“Namun dulu mereka yang terinfeksi mungkin meninggal dunia atau pulih sebelum kontak dengan orang lain,” kata Cunningham.
Namun saat ini, dengan transportasi yang kian canggih, mobilitas manusia menjadi semakin cepat. Malam ini seseorang mungkin sedang ada di hutan Afrika, tapi besok dia bisa saja sudah berada di Jakarta.
ADVERTISEMENT
Ada dua hal penting yang harus dijadikan pembelajaran oleh manusia dari pandemi global ini.
Pertama kita tidak bisa menyalahkan kelelawar, sebab hewan ini justru bisa menyediakan solusi bagi manusia.
“Adalah hal mudah menyalahkan spesies inang. Nyatanya cara kita berinteraksi dengan mereka (kelelawar) yang memicu pandemi dan penyebaran patogen,” lanjut Cunningham.
Menurutnya, sejauh ini sistem kekebalan tubuh kelelawar belum dipahami secara baik oleh manusia. Padahal dengan memahaminya, bisa menjadi sebuah petunjuk penting bagi manusia.
“Memahami bagaimana kelelawar mengatasi patogen ini dapat mengajari kita cara menghadapinya, jika mereka (patogen) menyebar ke manusia,” ujarnya.
Kerusakan Lingkungan Adalah Petaka Sebenarnya
Namun pada akhirnya pandemi COVID-19 sudah terjadi, ketika umat manusia tumbuh dan telah menyebar ke tempat-tempat yang sebelumnya tak terjamah. Cunningham dan Jones sepakat, memperbaiki perilaku manusia akan lebih efisien dalam mencegah penyebaran virus, ketimbang harus mengembangkan vaksin yang biayanya sangat mahal untuk setiap virus.
ADVERTISEMENT
Virus corona merupakan peringatan pertama yang jelas dan tak terbantahkan untuk umat manusia bahwa kerusakan lingkungan juga dapat membunuh mereka dengan cepat. Dan itu juga bisa terjadi lagi, dengan alasan yang sama.
“Ada puluhan ribu (virus) yang menunggu untuk ditemukan,” kata Cunningham. “Apa yang benar-benar perlu kita lakukan adalah memahami di mana titik-titik kontrol kritis untuk tumpahan zoonosis dari satwa liar, dan untuk menghentikannya terjadi di tempat-tempat itu. Itu akan menjadi cara yang paling hemat biaya untuk melindungi manusia,” lanjutnya.
Manusia dengan mobilitasnya yang kian tinggi dan saling terhubung membuat persebaran virus kian cepat. Hal ini diperparah dengan aktivitas manusia yang telah merusak habitat asli hewan-hewan liar.
“Menghancurkan habitat adalah penyebabnya, sehingga memulihkan habitat adalah solusi,” tegas Jones.
ADVERTISEMENT
Pelajaran utama yang bisa manusia ambil dari pandemi global ini adalah kerusakan bumi sangat mungkin menghancurkan umat manusia, bahkan lebih cepat dan dahsyat dari semua yang pernah terpikirkan manusia.
“Sama sekali bukan langkah yang bijak mengubah hutan menjadi pertanian tanpa memahami dampaknya pada iklim, penyimpanan karbon, munculnya penyakit, dan risiko banjir. Kamu tidak bisa mementingkan diri sendiri, tanpa memikirkan apa yang terjadi pada umat manusia,” tegas Jones. (Widi Erha Pradana / YK-1)