Kemarau 2019 Alarm Krisis Air di DIY

Konten dari Pengguna
16 Oktober 2019 1:54 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Selokan Mataram di Sleman yang di biasanya air mengalir tapi saat ini kering kerontang. Foto oleh : Widi Erha
zoom-in-whitePerbesar
Selokan Mataram di Sleman yang di biasanya air mengalir tapi saat ini kering kerontang. Foto oleh : Widi Erha
ADVERTISEMENT
Dalam beberapa pekan terakhir, beberapa warga di Kelurahan Sidoarum Godean Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) tengah sibuk memperdalam sumurnya. Sumur warga yang rata-rata sedalam 12 meter itu tak lagi mengeluarkan air.
ADVERTISEMENT
“Ini saya nambah 6 meter baru keluar air. Per meter biayanya Rp 250 ribu. Baru tahun ini kemarau kok sumur sampai tidak keluar air,” kata Sumarno, warga Jalan Camar Perumahan Sidoarum Blok 5, beberapa hari lalu.
Meski rumah warga di Jalan Camar tidak semuanya mengalami kekeringan sumur, namun sumur di depan rumah Sumarno juga mengalami hal yang sama. Total 25 rumah yang berada di Blok 5 Sidoarum, menurut Sumarno, kemungkinan lebih dari 10 persen memperdalam sumurnya.
Ian, warga jalan Nuri, di perumahan Sidoarum Blok 3 juga melakukan hal serupa. Meski, diakui oleh Ian bahwa tak semua rumah warga di Blok 3 perumahan Sidoarum yang berjumlah lebih dari 100 Kepala Keluarga (KK) mengalami hal yang sama, namun jumlah warga yang memperdalam sumurnya bisa dibilang juga tidak sedikit. Beberapa warga di Jalan Parkit di Blok 3 juga melaporkan hal serupa, sumur kering kerontang.
ADVERTISEMENT
Sumur di rumah Lilik Siswanto, warga jalan Durian Blok 2 Perumahan Sidoarum bahkan sudah 2 bulan lebih kering kerontang. “Keluar air 3 menit disedot sanyo sudah habis. Nunggu 2 jam nanti keluar air lagi. Belum diperdalam karena belum ada uang. Ya sabar dulu, sebentar lagi kan hujan,” kata Lilik, Selasa (15/10).
Sumur Pantai Dinas PU
Saluran irigasi perasawahan di Sidoarum sudah tak mengalirkan air dan dipenuhi sampah pada awal Oktober ini. Foto oleh : Maya P
Pakar Hidrologi UGM, Setyawan Purnama, mengatakan telah lama akademisi hidrologi mengingatkan kepada pemerintah, swasta, dan masyarakat bahwa ada ancaman nyata krisis air di DIY. Penyebabnya, tak lain karena penurunan muka air tanah, terutama di Kota Yogya dan Kabupaten Sleman rata-rata 30 sentimeter per tahun.
“Jumlah penduduk terus bertambah, rumah bertambah, hotel bertambah yang membuat penyedotan air tanah makin tinggi sekaligus mengurangi daerah resapan. Jadi, kalaupun hujan ya bablas ke laut, logika sederhana saja sebenarnya tapi sayang tidak ada yang peduli,” katanya awal pekan ini.
ADVERTISEMENT
Mengonfirmasi pendapat Setyawan Purnama, Analis Potensi Air Tanah Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan, dan Energi Sumber Daya Mineral Provinsi DIY, Jazuli, mengatakan bahwa sulit untuk merata-rata penurunan permukaan air tanah di seluruh wilayah di DIY. Namun, dia mengakui bahwa berdasarkan data sumur pantau di sejumlah titik di Kota Yogyakarta, Sleman, dan Bantul, penurunan muka air tanah di DIY terus terjadi setiap tahun.
Sumur pantau yang berada di kompleks Bank Indonesia di Titik Nol Yogya misalnya, pada puncak kemarau dalam tiga tahun terakhir muka air tanah mengalami penurunan rata-rata 65 sentimeter. Kedalaman muka air pada Oktober 2016 adalah 9,85 meter; 2017 10,51 meter; dan pada 2018 mencapai 11,16 meter.
Begitu juga dengan kondisi sumur pantau di Hotel Phoenix. Pada 2016, kedalaman muka air 13,92 meter; pada 2017 turun menjadi 14,57 meter; sedangkan pada 2018 mencapai 14,98 meter. Di Pandowoharjo, Sleman, pada 2016 kedalaman muka air tanah mencapai 9 meter. Pada 2017 turun drastis menjadi 11, 06 meter dan pada 2018 kedalaman muka air tanah mencapai 11,66 meter. Itu artinya, penurunan muka air tanah di daerah tersebut rata-rata mencapai 50 sentimeter tiap tahun.
ADVERTISEMENT
“Eksploitasi air tanah yang tidak diimbangi dengan resapan hasilnya, ya, permukaan air tanah terus turun. Jadi nanti jika musim hujan datang dan curah hujan tinggi namun karena daerah resapan air minim, maka air akan langsung mengalir ke sungai-sungai besar,” jelasnya.
Namun, Jazuli juga memberi catatan bahwa turunnya muka air tanah tersebut sulit dijadikan generalisasi untuk seluruh wilayah di DIY. Sebab, ada faktor alam yang turut mempengaruhinya, yakni struktur batuan di dalam tanah dan besarnya cadangan air di dalamnya.
Tak Lagi Bisa Berharap pada Air Tanah
Kolam lele yang dikelola warga di atas tanah kas dukuh Sidoarum tak lagi bisa digunakan karena tidak ada air sejak September lalu. Foto oleh : Maya P
Hal berbeda dinyatakan oleh Peneliti Pusat Studi Pembangunan dan Perencanaan Regional UGM, Prittaningtyas Ekartaji. Penelitan yang ia lakukan pada 2016 menunjukkan bahwa secara kuantitas volume air tanah, khususnya di Kota Yogyakarta sudah tidak bisa diharapkan bisa memenuhi kebutuhan konsumsi penduduk. Dia mengindikasikan, ada hubungan yang erat antara keberadaan hotel dengan menurunnya muka air tanah di Yogyakarta.
ADVERTISEMENT
“Dari peta kontur ada hubungannya antara keberadaan hotel dengan garis kontur air tanah. Di tempat yang banyak hotel terjadi penurunan air tanah,” kata Prittaningtyas, awal pekan ini.
Beruntung, tidak lama setelah itu, Pemkot Yogya memberlakukan moratorium pembangunan hotel. Prittaningyas pun menyambut baik inisiatif pemkot untuk memberlakukan moratorium. Namun, awal 2019, moratorium pembangunan hotel kembali dicabut. Pembukaan kembali moratorium itu berlaku untuk hotel bintang lima, bintang empat, serta guest house.
Meskipun sudah ada aturan pembatasan maksimal air tanah yang boleh disedot oleh hotel, namun menurutnya, saking banyaknya hotel membuat pembatasan itu tidak akan dapat memperbaiki kondisi.
“Meski sudah ada pembatasan, tapi (hotel) yang menyedot segitu banyaknya ya sama saja,” ujar Pritaningtyas.
ADVERTISEMENT
Terkait masalah ini, Setyawan Purnama menjelaskan bahwa mal, hotel, ataupun apartemen di Yogyakarta sebenarnya telah melakukan pengeboran air tanah dalam yang berada di bawah 40 sampai 110 meter. Namun, lapisan lempung yang berada di antara air tanah dangkal Yogyakarta dan Sleman ternyata tidak benar-benar kedap air. Akibatnya, terjadi kebocoran di lapisan lempung antara air tanah dangkal Yogyakarta yang disebut formasi Yogyakarta dan air tanah dangkal Sleman atau formasi Sleman. Hal itulah yang membuat sumur-sumur warga di sekitarnya turut terkena imbasnya. Kondisi ini juga memengaruhi penurunan air tanah di DIY secara global.
Namun, Jazuli menilai sebenarnya potensi air tanah di DIY masih masuk dalam kategori aman. Pasalnya, kedalaman air tanah di DIY masih berada di atas 20 meter dari permukaan tanah. Jika kedalaman muka mata air tanah antara 20 sampai 40 meter baru masuk tingkat rawan. Sementara, jika sudah lebih dari 40 meter maka sudah masuk tingkat kritis.
ADVERTISEMENT
“Jadi air tanah di Yogyakarta ini sebenarnya masih dalam tahap aman,” ujar Jazuli.
Resapan Buatan
Pembuatan daerah resapan air baik oleh pemerintah, swasta, maupun warga, menjadi kata kunci bagi pencegahan krisis air di DIY khususnya di Kota Yogya dan Sleman yang hanya memiliki 20 persen Ruang Terbuka Hijau (RTH) dari 30 persen yang diwajibkan oleh pemerintah.
Prittaningtyas mengatakan bukti nyata dampak positif resapan buatan itu di Yogyakarta. Menurutnya, permukaan air tanah di daerah Gondokusuman, Yogyakarta mengalami kenaikan setelah dibangunnya Embung Langensari.
“Jadi warga di sekitar Langensari itu, ketika kita tanyai, memang naik permukaan air sumurnya setelah ada embung itu,” kata Prittaningtyas. (Widi Erha Pradana / YK-1)