Kemendikbud Ingin Sekolah Katolik Ikuti Jejak Ki Hadjar Dewantara

Konten dari Pengguna
10 Januari 2020 19:55 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Suasana Konferensi Sekolah Katolik 2020 di USD Yogyakarta. Foto : Widi Erha
zoom-in-whitePerbesar
Suasana Konferensi Sekolah Katolik 2020 di USD Yogyakarta. Foto : Widi Erha
ADVERTISEMENT
Kebudayaan tidak bisa dipisahkan dari pendidikan, mengutip pernyataan Ki Hadjar Dewantara, Staf Khusus Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Iwan Syahril, mengatakan bahwa pendidikan merupakan tempat persemaian benih-benih kebudayaan.
ADVERTISEMENT
Kebudayaan yang dimaksud bukanlah kebudayaan dalam arti sempit seperti tari-tarian, musik, dan sebagainya, namun kebudayaan dalam arti luas dalam konteks peradaban.
“Apa yang kita lakukan di dunia pendidikan itu sebenarnya adalah mimpi peradaban, jadi kebudayaan atau peradaban seperti apa yang ingin kita cita-citakan itu pondasinya kita letakan di pendidikan,” kata Iwan ketika menjadi pemateri dalam Konferensi Sekolah Katolik 2020 yang digelar oleh Universitas Sanata Dharma (USD) Yogyakarta, Jumat (10/1).
Pemerintahan Joko Widodo memiliki tujuan, pada 2045 kelak Indonesia menjadi negara maju. Untuk mencapai tujuan itu, kunci utama yang harus dimiliki oleh bangsa Indonesia kata Iwan adalah percaya diri dan optimisme. Tapi itu saja belum cukup, bangsa Indonesia juga harus memiliki budaya kerja keras, kerja cepat, dan kerja produktif yang orientasinya bukan lagi fokus pada proses melainkan pada outcome atau hasil.
ADVERTISEMENT
“Jadi kerja keras kita itu jangan hanya sibuk heboh-hebohnya saja, budget terserap habis, tapi outcome-nya tidak tercapai,” lanjutnya.
Dalam konteks pendidikan, hasil utama yang harus diingat selalu dan menjadi prioritas adalah siswa dan kualitas pembelajarannya. Selain itu, inovasi, kata Iwan juga harus menjadi budaya. Cara-cara kerja lama yang tidak membuahkan hasil yang efektif dan efisien perlu diubah. Hal ini kemudian dimanifestasikan oleh Kemendikbud menjadi Merdeka Belajar, yakni memerdekakan unit-unit pendidikan, satuan pendidikan, guru, dan siswa agar bisa menumbuhkan budaya inovasi. Kemerdekaan di sini, kata Iwan, bukan berarti bebas tanpa ada juntrungannya, tapi berdaya dan memberdayakan.
“Karena budaya inovasi tidak mungkin akan muncul tanpa adanya kemerdekaan. Sekolah katolik musti bisa menjadi contoh dalam perubahan ini, sekolah jadi pusat menyemai peradaban Indonesia masa depan,” jelasnya.
ADVERTISEMENT
Semua pemangku kepentingan harus selalu berorientasi pada siswa, bagaimana siswa bisa mendapatkan ruang pelayanan dengan baik. Adanya kebijakan RPP satu halaman misalnya, hal itu menjadi simbol bahwa jangan sampai guru terbebani oleh tugas-tugas administratif sehingga mengurangi waktunya untuk melayani siswa.
Penekanan pendidikan juga perlu diubah, dari penguasaan konten menjadi kemampuan bernalar dan pendidikan karakter. Kepala sekolah juga memegang peran penting untuk menciptakan atmosfer ekosistem yang berbudaya inovasi. Atmosfer itu tentu disesuaikan dengan konteks masing-masing sekolah.
“Jadi tidak bisa distandarisasi, standar boleh tapi nggak standarisasi,” lanjut Iwan.
Pendidikan Sebagai Agenda Politik
Rektor Universitas Sanata Dharma, Eka Priyatma, mengatakan bahwa pendidikan bukan hanya peristiwa budaya saja, melainkan juga peristiwa politik. Politik yang dimaksud adalah sebagai pendidikan pendukung agenda besar pembangunan bangsa.
ADVERTISEMENT
“Meskipun politik juga bagian dari budaya, tetapi sejak awal harus jelas bagi pengelola, bagi siapapun yang terlibat, bahwa sekolah, pendidikan, haruslah mempunyai agenda politik yang jelas,” kata Eka Priyatma.
Karena itu, persoalan sekolah menurutnya tidak bisa dibatasi sekadar sebagai perkara teknis manajemen, tetapi sebagai perkara membangun peradaban. Perkara mendidik bukan sekadar perkara mengajar, tapi juga perkara menumbuhkan idealisme sekolah.
“Karena saya merasa sekolah tanpa idealisme hanya akan kering dan akhirnya menjadi beban di tengah perubahan zaman yang sangat berat ini,” lanjutnya.
Penyeragaman Bukan Solusi
Tantangan pokok dunia pendidikan kita saat ini bukan hanya mewujudkan sekolah yang mampu mendorong siswa untuk merdeka berpikir, tapi juga mandiri berpikir. Sayangnya, sekarang ini sekolah bahkan belum mampu membuat guru berani berpikir menurut pemikiran sendiri, apalagi siswanya.
ADVERTISEMENT
“Penyeragaman itu, juklak (petunjuk pelaksanaan) itu, petunjuk teknis itu, sudah sedemikian membelenggu. Maka arah merdeka sungguh kami dukung, karena di situlah inti persoalannya,” kata Eka Priyatma.
Realitas Indonesia yang sangat beragam merupakan sebuah potensi besar jika mampu dikelola dengan strategi yang tepat. Strategi pengembangan ekosistem pendidikan di Indonesia, paling tepat juga menggunakan paradigma beragam.
“Karena selama ini terbukti, pendekatan seragam itu tidak berhasil,” lanjutnya.
Pemerintah diharapkan dapat memberikan sedikit kebebasan bagi lahirnya model-model tata kelola pendidikan yang lebih kontekstual sesuai dengan kapasitas masing-masing sekolah. Pemerintah semestinya tak lagi membuat penyeragaman, cukup menjadi fasilitator. (Widi Erha Pradana / YK-1)