Kenapa Malam 1 Suro Dirayakan dengan Hening, Sunyi, dan Bukan dengan Pesta?

Konten dari Pengguna
20 Agustus 2020 13:23 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Perayaan tahun baru Jawa 1 Suro justru dirayakan dengan topo bisu baik sendirian maupun mubeng (berjalan mengitari) Kraton Jogja. Foto: Istimewa.
zoom-in-whitePerbesar
Perayaan tahun baru Jawa 1 Suro justru dirayakan dengan topo bisu baik sendirian maupun mubeng (berjalan mengitari) Kraton Jogja. Foto: Istimewa.
ADVERTISEMENT
Tak seperti tahun-tahun baru pada umumnya yang dirayakan dengan pesta, tahun baru Jawa dirayakan dalam hening dan sunyi. Di Keraton Yogya, salah satu tradisi perayaan tahun baru suro adalah dengan cara mengitari benteng melawan jarum jam.
ADVERTISEMENT
Tidak ada kembang api, tidak ada beduk, tidak ada juga nyayian-nyanyian yang dikumandangkan selama mereka mengitari benteng. Semua dilakukan dalam senyap, bahkan tanpa ucapan sepatah katapun. Itu kenapa tradisi itu dikenal dengan istilah tapa bisu.
Seorang spiritualis Jawa, yang juga Direktur Lembaga Cahaya Nusantara (Yantra), Hango Hartono, mengatakan bahwa tapa bisu merupakan momen setiap manusia untuk introspeksi diri. Ekspresi kegembiraan menyambut tahun baru, tidak diwujudkan ke luar, melainkan ke dalam diri.
“Kegembiraan itu bukan ekspresi ke luar, tapi ekspresi ke dalam. Tahun barunya pasti dilakukan dengan cara prihatin, bukan dengan cara hura-hura,” ujar Hangno ketika ditemui saat pembukaan galeri wayangnya di daerah Pajangan, Bantul, Rabu (19/8).
Hangno Hartono (kiri) melayani permintaan wartawan Pandangan Jogja @Kumparan, Rabu (19/8) malam. Foto: Venzha Christ.
Yang menjadi pertanyaan menarik adalah, mengapa masyarakat Jawa justru merayakan tahun baru dengan cara prihatin. Padahal alam mereka memiliki kekayaan luar biasa, bisa saja mereka tinggal menikmati semuanya tanpa harus melakukan laku prihatin. Hangno mengatakan, laku prihatin tersebut merupakan upaya orang Jawa untuk semakin menyatu dengan alamnya.
ADVERTISEMENT
“Ini kaitannya dengan orang Jawa sebagai makhluk religius. Alam semesta yang sangat kaya ini, bukan malah menjadikan jumawa sombong dan sebagainya, tapi justru semakin menyadari akan kesatuan dirinya dengan alam, bahwa dirinya kecil tak berdaya di hadapan semesta luas jagat raya,” ujarnya.
Bagi orang Jawa, religiusitas bukan hanya sekadar hubungan vertikal antara manusia dengan tuhan, tapi juga relasi horizontal antara sesama makhluk. Salah satu untuk meningkatkan aspek religiusitas bagi orang Jawa adalah dengan laku prihatin, yang sangat bertentangan dengan kenikmatan yang sebenarnya sudah tersedia.
“Melihat diri ke dalam itu tidak akan ada habis-habisnya. Dalam bahasa sederhananya melihat ke dalam, tapi dalam bahasa spiritual, ke dalam itu lautan tak bertepi, seluas jagat raya besar juga,” lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Karena melakukan introspeksi ke dalam diri sendiri tidak ada habisnya, maka mereka akan selalu mengamati dan mendapatkan pengetahuan-pengetahuan baru. Dalam diri manusia, pada hakikatnya adalah kosmos atau jagat raya semesta.
“Jadi tidak harus jalan mengitari benteng, di dalam kamar juga bisa. Karena intinya adalah introspeksi ke dalam tadi, berkontemplasi,” ujar Hangno. (Widi Erha Pradana / YK-1)