news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Kenapa Manusia Tidak Memakan Hewan yang Memiliki Alis?

Konten Media Partner
30 April 2021 20:43 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Primata adalah mamalia cerdas dan memiliki alis yang jarang dikonsumsi oleh manusia. Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Primata adalah mamalia cerdas dan memiliki alis yang jarang dikonsumsi oleh manusia. Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Kebiasaan mengonsumsi hewan oleh manusia sudah terjadi sejak lama, yang tercatat sejak sekitar 35 ribu tahun yang lalu. Tapi, ada beberapa hewan yang sejak dulu jarang dimakan manusia yakni hewan yang pintar dan hewan yang memiliki alis. Kok bisa?
ADVERTISEMENT
Psikolog Sosial dari Komodo Survival Program, Puspita Kamil, mengatakan bahwa kebiasaan mengonsumsi satwa ini merupakan interaksi tertua antara manusia dan satwa. Kebiasaan mengonsumsi satwa itu terus berjalan secara turun-temurun secara budaya sampai sekarang.
“Itu juga yang menyebabkan banyak populasi satwa liar terus menurun karena perburuan,” kata Puspita Kamil dalam seminar daring yang diadakan Pusat Studi Komunikasi Lingkungan Universitas Padjadjaran (Unpad), Senin (26/4).
Ada tiga kategori konsumsi satwa menurutnya, yakni untuk kebutuhan dasar, kebutuhan budaya, dan kebutuhan pengalaman. Untuk kebutuhan dasar, satwa yang dikonsumsi adalah satwa yang telah didomestikasi dan biaya produksinya cukup murah seperti sapi, kambing, ayam, dan babi.
“Kenapa harus murah? Karena kita makan itu setiap hari,” ujarnya.
Untuk kebutuhan budaya, biasanya binatang yang dikonsumsi adalah satwa liar atau yang disucikan. Karena sulit untuk didomestikasi atau dibudidaya, perlahan manusia percaya bahwa ada kekuatan dalam satwa-satwa tersebut. Hewan-hewan yang dikonsumsi biasanya satwa liar berbahaya seperti ular, satwa albino, sirip hiu, menjangan, dan sejenisnya.
ADVERTISEMENT
“Hewan-hewan ini biasanya kalau dikonsumsi itu berdasarkan pada kebutuhan budaya,” ujarnya.
Konsumsi untuk kebutuhan pengalaman sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan manusia. Biasanya satwa yang dimanfaatkan adalah binatang domestikasi atau satwa liar dengan cara berburu atau masak tertentu dan langka. Misalnya adalah rusa, sannakji, fole gras, serta century egg.
Nah, ada beberapa hal yang menjadi alasan manusia tidak mengonsumsi satwa tertentu. Pertama, secara umum manusia tidak akan memakan binatang yang asing. Manusia juga relatif lebih menyukai daging yang familiar atau memang biasa mereka makan. Hal ini membuat kebiasaan mengonsumsi daging satwa liar di beberapa daerah menjadi hal biasa karena memang di sekitarnya banyak terdapat satwa tersebut.
Manusia secara umum juga tidak akan memakan binatang yang dia anggap pintar. Sebab, jika memakan daging satwa yang pintar, manusia akan cenderung merasa seperti menjadi kanibal.
ADVERTISEMENT
“Kita kayak makan diri sendiri, dan itu rasanya aneh karena ada moralitas norma dan lain-lain,” ujarnya.
Manusia juga cenderung tidak akan makan binatang yang emosional, salah satunya hewan yang memiliki alis. Hewan yang bisa menurunkan alis dapat menimbulkan ekspresi sedih, sehingga manusia akan merasa kasihan. Itu mengapa biasanya manusia tidak akan bisa memakan primate, selain pintar, binatang ini juga memiliki alis.
“Tapi kebiasaan masyarakat Sulawesi Utara memakan Yaki masih menjadi teka-teki yang besar, ini primata tapi manusia memakannya. Padahal primata ini paling dekat dengan manusia,” ujarnya.
Puspita Kamil mengatakan bahwa hubungan manusia dan satwa dalam konteks konsumsi akan terus berkembang. Bukan tidak mungkin, ketika ekosistem Bumi tak cukup lagi memenuhi kebutuhan manusia yang semakin besar, manusia akan mulai terbiasa untuk makan serangga.
ADVERTISEMENT
“Karena ternyata serangga ini paling efisien baik secara air, tanah, dan sebagainya. Dan ini sudah dimulai di beberapa negara,” kata Puspita Kamil.