Keraton Jogja Jawab Alasan Adopsi Orkestra, Padahal Itu Musik Barat

Konten Media Partner
8 Maret 2022 20:03 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sri Sultan Hamengku Buwono X saat membuka peluncuran Jogja Royal Orchestra di Keraton Yogyakarta, Juni tahun lalu. Foto: Kratonjogja.id
zoom-in-whitePerbesar
Sri Sultan Hamengku Buwono X saat membuka peluncuran Jogja Royal Orchestra di Keraton Yogyakarta, Juni tahun lalu. Foto: Kratonjogja.id
ADVERTISEMENT
Juni tahun lalu, Sri Sultan Hamengku Buwono X meluncurkan Jogja Royal Orchestra di Keraton Yogyakarta. Hal itu menuai pertanyaan di tengah masyarakat, mengapa Keraton Yogya justru mengadopsi orkestra yang notabene dikenal sebagai musik barat.
ADVERTISEMENT
Kanjeng Pangeran Haryo (KPH) Notonegoro, mengatakan bahwa sebenarnya alat musik Barat masuk ke Keraton Yogyakarta sudah lama, bahkan sudah digunakan sejak era Sri Sultan Hamengku Buwono I. Sebab pada masa itu, Keraton Yogyakarta sudah menggunakan alat musik tiup sejenis terompet atau bugle untuk keperluan keprajuritan dan tambur.
“Kemudian terus berkembang hingga pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono V,” kata KPH Notonegoro dalam simposium internasional yang diadakan secara daring pada Selasa (8/3).
Pada era HB V, alat-alat musik Eropa semakin populer dan dibawa oleh kolonial ke Yogyakarta. HB V kemudian memerintahkan untuk mengasimilasikan penggunaan alat musik Eropa tersebut ke dalam musik tradisi.
Asimilasi ini dalam kebudayaan Jawa menurut dia bukan hal baru. Misalnya dalam musik gamelan, salah satu gamelan paling tua yakni gamelan Kiai Kebo Ganggang, itu juga mengalami perkembangan dari masa ke masa. Awalnya, alat musik dalam gamelan Kiai Kebo Ganggang menurutnya sangat terbatas, namun seiring berjalannya waktu, alat musik yang dipakai makin bertambah dan beragam.
ADVERTISEMENT
“Itu saya rasa juga ada pengaruh dari kebudayaan-kebudayaan lain, seperti masuknya rebab, masuknya suling, masuknya alat gamelan yang alusan,” lanjutnya.
KPH Notonegoro dalam simposium internasional yang diadakan secara daring pada Selasa (8/3)
Hal itu menunjukkan bahwa sejak zaman dulu budaya Jawa sudah melakukan asimilasi alat musik Barat karena kebutuhan harmoni yang makin kompleks. Karena itu, menurutnya tidak ada salahnya Keraton Yogyakarta juga mengasimilasi alat-alat musik seperti yang dipakai dalam Jogja Royal Orchestra.
Pada masa Sri Sultan HB VII menurutnya bahkan ada perintah khusus dari Raja untuk memasukkan alat musik string ke dalam sajian-sajian gending gamelan.
“Jadi ini sudah berlangsung lama, jadi saya rasa kita tidak perlu meributkan ini alat musik dari mana,” kata KPH Notonegoro.
Kebangkitan Orkestra Jogja
Jogya Royal Orchestra. Foto: Dok. Pemprov DIY
Selama masa kolonial, satu-satunya yang memiliki orkestra pribumi adalah Keraton Yogyakarta. Hingga akhirnya setelah Yogyakarta ikut berjuang mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia, orkestra di Keraton Yogyakarta secara resmi dibubarkan oleh HB IX.
ADVERTISEMENT
Saat itu, para musisi dari Keraton diberi bekal oleh HB IX berupa alat musik, dengan tujuan supaya mereka bisa tetap berkarya dan memiliki mata pencaharian. Kemudian, banyak dari musisi-musisi tersebut yang berkarya menciptakan lagu-lagu perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan Bangsa Indonesia.
“Yang paling jelas adalah banyak sekali pemusik-pemusik dari Keraton yang kemudian ikut mendirikan Sekolah Musik Indonesia atau SMIN, yang kemudian berkembang jadi SMM, hingga lahirlah Institut Seni Indonesia (ISI),” ujar Kanjeng Noto.
Bahkan sampai hari ini, musisi-musisi dari Jogja menurutnya masih mendominasi sejumlah kelompok orkestra terbaik di Indonesia. Sebutlah orkestra Addie MS, yang sebagian besar personelnya berasal dari Jogja atau lulusan sekolah seni Jogja seperti ISI.
Karena itulah, Keraton menurutnya perlu mendirikan Jogja Royal Orchestra yang bisa menjadi wadah para musisi, supaya jika ingin berkarya dan berkarier tidak harus keluar Jogja.
ADVERTISEMENT
“Orkestra-orkestra besar di Indonesia itu banyak menggunakan musisi-musisi dari Jogja atau yang bersekolah di Jogja termasuk arranger, composer, itu banyak dari ISI,” ujarnya.
Meski menggunakan alat-alat musik Barat, namun Jogja Royal Orchestra menurutnya tidak melepaskan budaya-budaya Jawa. Dalam konser terakhir akhir tahun lalu, semua repertoar yang dibawakan oleh Jogja Royal Orchestra justru repertoar lagu-lagu Jawa. Bahkan menurutnya Jogja Royal Orchestra juga sudah memulai kolaborasi lagu Jawa dengan Jogja Royal Orchestra ditambah alat musik Jawa berupa gender, siter, dan seorang sinden sebagai penyanyinya.
Menurutnya, mengintegrasikan lagu-lagu Jawa ke dalam orkestra memang butuh waktu, sebab tidak mudah dalam menyelaraskan tangga nada pentatonik dari alat musik Jawa dengan tangga nada diatonik dari alat musik Barat.
ADVERTISEMENT
“Tidak mudah menyelaraskan sistem gamelan yang tangga nadanya itu tidak standar dengan sistem musik barat yang sangat standar, frekuensi semuanya sudah fix, itu memang tidak mudah sehingga kita butuh berproses,” ujarnya.
Saat ini, Jogja Royal Orchestra menurutnya sedang menyiapkan rencana pentas internasional. Sebenarnya, hal ini sudah sempat dirancang, namun karena pandemi rencana tersebut tidak dapat dieksekusi. Namun saat ini Keraton Yogyakarta menurut dia sudah menjalin kerja sama dengan sejumlah pihak di luar negeri untuk menggelar tur atau pentas internasional.
“Dalam waktu dekat kita sudah menjalin kerja sama dengan Melbourne Symphony Orchestra,” kata KPH Notonegoro.