Ketika Utusan VOC Harus Jalan Jongkok di Hadapan Raja Mataram, Jogja

Konten Media Partner
23 September 2021 19:09 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Para utusan VOC juga harus melakukan laku dodok atau berjalan jongkok ketika akan menghadap Raja Mataram, Jogja, saat itu, yakni Sultan Agung.
Lukisan Sultan Agung sedang menunggang kuda. Foto: Dinas Kebudayaan DIY
Pada era awal Kerajaan Mataram Islam di Yogyakarta, tak sembarang orang bisa menemui raja. Bahkan, tamu-tamu dari manca negara pun harus ikut aturan kerajaan jika ingin menemui sang raja. Dan tidak jarang, utusan-utusan manca negara itu gagal menemui raja meski sudah menunggu berhari-hari. Kalau pun berhasil menghadap raja, para utusan itu juga mesti melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan orang Jawa ketika menemui rajanya.
ADVERTISEMENT
Sejarawan dari Universitas Gadjah Mada, Sri Margana, mengatakan bahwa ada catatan dari seorang utusan VOC, Rijcklof van Goens, yang mengatakan bahwa para utusan VOC juga harus melakukan laku dodok atau berjalan jongkok ketika akan menghadap Raja Mataram saat itu, yakni Sultan Agung atau Raden Mas Rangsang.
Untuk laku dodok pun, para utusan VOC itu harus dilatih dulu. Sebab, tak semua orang bisa melakukan laku dodok dengan benar. Tak pelak, para utusan VOC itu merasa perlakuan seperti itu sangat hina karena mereka tak punya tradisi seperti itu.
“Van Goens bilang, kami semua diperlakukan seperti orang yang tidak ada nilainya di Bumi ini, itu paling memalukan di dunia karena harus laku dodok,” kata Sri Margana dalam diskusi daring Dinas Kebudayaan DIY bertajuk Kisah Raja Mataram dan Para Utusan VOC, Selasa (21/9).
Sri Margana. Foto: Widi Erha Pradana
Sudah begitupun, para utusan VOC belum pasti bisa langsung berhadap-hadapan dengan Sultan Agung langsung. Sangat jarang raja menerima tamunya dengan berhadap-hadapan langsung dengan jarak yang dekat. Ketika berbicara, dia juga lebih sering melalui patih ataupun mantrinya.
ADVERTISEMENT
“Lagipula kan tidak bisa komunikasi langsung karena bahasanya kan beda, harus melalui penerjemahnya,” lanjutnya.
Sri Margana mengatakan bahwa protokoler kerajaan saat itu memang sangat ketat. Bahkan, beberapa hari sebelum melakukan pertemuan, mereka harus tinggal di kamp-kamp atau pemukiman sementara selama menunggu jadwal pertemuan dengan raja. Mereka akan menunggu di kamp itu sampai akhirnya dipanggil oleh raja untuk menghadap.
Seusai pertemuan, mereka juga tidak bisa langsung pulang begitu saja. Mereka baru boleh pulang setelah diizinkan pihak kerajaan. Dan protokol ini berlaku untuk semua tamu kerajaan, baik utusan kerajaan-kerajaan Nusantara maupun tamu-tamu dari Eropa.
“Semua diperlakukan sama, jadi meskipun orang Eropa mereka tidak mendapat perlakuan khusus. Kalau raja belum mau menerima, ya nunggu,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Cindera Mata sebagai Tanda Kekuasaan
Peringatan kenaikan tahta Sri Sultan Hamengku Bawono Ka10 ke-27 dan ulang tahun ke-70 pada tahun 2016. Sumber Foto: Tepas Tandha Yekti
Salah satu hal menarik lain dalam protokoler tersebut adalah tradisi tukar menukar hadiah atau cinderamata. Cinderamata yang diberikan kepada raja juga tidak sembarangan, kalau sampai raja tidak menyukai hadiah yang diberikan, maka bisa memicu masalah serius.
“Pernah terjadi seorang utusan Belanda yang memberi cinderamata kepada raja, tapi raja marah karena tidak sesuai yang dia mau,” kata Sri Margana.
Hal ini pernah terjadi pada masa pemerintahan Amangkurat I yang sangat menyukai kuda persia. Karena itu, ketika ada utusan VOC yang akan datang dia selalu minta cinderamata berupa kuda persia. Ketika VOC tidak mengirim utusan, raja akan mengirimkan surat supaya mereka mengirimkan utusan.
“Pertama ingin mengharapkan hadiahnya. Tapi yang kedua, hal itu juga sebagai tanda kekuasaan dia,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Ketika VOC mengirimkan utusan, itu berarti VOC mengakui otoritas Kerajaan Mataram. Sehingga ketika VOC lama tak mengirimkan utusan, akan muncul anggapan bahwa mereka sudah tidak mengakui kekuasaan Mataram. Dan ketika urusan dagang VOC ingin lancar, maka mereka harus mengirim utusan secara rutin.
Suatu saat, ketika utusan VOC datang ke Mataram membawa kuda persia sebagai hadiah, ternyata kudanya sudah loyo karena telah menempuh perjalanan jauh.
“Akhirnya terjadilah konflik yang tidak mengenakkan, dan Belanda takut kalau hubungannya terganggu karena ini,” ujarnya.
Saat Tawanan VOC Dipekerjakan untuk Memperkuat Kerajaan
Beberapa variasi seragam VOC di Hindia Belanda (Indonesia). Ilustrasi berasal dari tahun 1784. Foto: Nationaal Archief
Salah satu kecerdasan dari Sultan Agung adalah dengan memanfaatkan orang-orang VOC yang ditawan Mataram untuk memperkuat kerajaan. Saat itu, cukup banyak orang VOC yang ditawan di Mataram, hingga periode 1630-an, ada sekitar 85 tawanan.
ADVERTISEMENT
Kepada para tawanan itu, kerajaan memberikan tawaran-tawaran yang menarik, salah satunya mereka akan dibebaskan asal mau membantu memperkuat kerajaan. Mereka yang bersedia, akan diperlakukan secara layak, sementara yang menolak hanya bisa mendekam di dalam penjara.
Kerajaan Mataram saat itu memanfaatkan ilmu-ilmu yang dimiliki oleh para tawanan, seperti ilmu navigasi, strategi perang, pembuatan senjata api serta mesiu.
“Sehingga jangan heran ketika berperang ke Batavia melawan VOC, mereka sudah pakai mesiu dan senapan, tidak hanya bawa keris dan tombak saja,” kata Sri Margana.
Selain itu, para tawanan juga mendapatkan tawaran bebas jika mereka bersedia untuk masuk Islam dan dikhitan. Bahkan, mereka boleh menikahi perempuan-perempuan Jawa. Hasilnya, cukup banyak dari tawanan itu yang memilih untuk masuk Islam karena tergiur dengan tawaran tersebut.
ADVERTISEMENT